Oleh: Nur Indah*

Hak seorang anak adalah tumbuh dan berkembang dalam tanggung jawab orang tua yang utuh, sehingga ia menjadi pribadi yang baik dan matang. Orang tua adalah awal mula terbentuknya sebuah keluarga yang didasari oleh kebutuhan dasar setiap individu untuk hidup saling ketergantungan. “Keluarga adalah sebuah sistem kesatuan yang terdiri dari tiga struktur utama yaitu bapak/suami, ibu/istri dan anak-anak yang memiliki peran dalam sistem social”.[1]

Keluarga memiliki fungsi utama pemeliharaan secara harmonis dan merupakan kelompok kecil yang terstruktur. Hampir setiap keluarga mendambakan keharmonisan dan keutuhan keluarga, serta terhindar dari pertengkaran atau pertikaian dari masing-masing anggotanya. Lalu bagaimana apabila terdapat sebuah pertikaian di dalam keluarga tersebut? Langkah apa yang harus diambil oleh orang tua sebagai pemeran utama dalam keluarga tersebut?.

Hidup dalam keluarga broken home bukanlah sebuah pilihan, hal tersebut terjadi karena sebuah hubungan antara suami dan istri tidak bisa dipersatukan kembali sehingga anak menjadi bagian yang harus menerpa kisah hidup dari perpisahan kedua orang tuanya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tidak banyak paradigma masyarakat yang mengatakan bahwa 80% seorang anak, utamanya remaja broken home, akan gagal dalam menjalani kehidupanya. Entah itu dalam perjalanan bersama keluarganya, temannya atau bahkan pendidikannya.

Mengapa bisa demikian? Karena seorang anak yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang broken home akan berdampak pada perkembangan psikologinya. Itulah yang membuat kesulitan hidup seorang anak yang menyandang status broken home dalam menjalani hari-harinya.

Tidak hanya itu, permasalahan-permasalahan yang ada dalam keluarga dapat memicu depresi pada sang anak. Depresi sangat umum muncul dari korban broken home dan pada kondisi depresi ini hal-hal negatif sangat mungkin untuk dilakukan, seperti melukai diri sendiri atau melakukan hal lain yang dirasa mampu untuk mengusir rasa sedih dan sakit.

Tapi di sini penulis akan menempis semua paradigma-paradigma tersebut. Broken home bukan hanya berkaitan dengan perceraian atau perpecahan dalam keluarga, namun juga keluarga yang tidak utuh, dalam hal ini ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orang tua yang sebenarnya.

Berdasarkan pengertian tersebut maka diketahui bahwa pengertian keluarga secara transaksional tidak terbentuk dan keluarga tidak dapat melakukan fungsinya dengan baik. Sebuah persoalan dalam keluarga terkadang sering kali akan berpengaruh besar terhadap anak, akan tetapi hal tersebut sifatnya tidak secara otomatis berpengaruh terhadap seorang anak.

Karena sejatinya orang tua yang hebat akan paham betul dalam meminimalisir sebuah persoalan agar tidak sampai pada kondisi psikis anak. Hal yang dapat diupayakan adalah dengan menjalin komitmen di antara kedua orang tua tersebut terkait pengasuhan seorang anak. Hal tersebut sangat penting dilakukan oleh sebuah keluarga yang sedang mengalami perpecahan dalam rumah tangganya.

Terciptanya iklim yang saling menghormati, menerima, menghargai, mempercayai, dan mencintai adalah bentuk keharnomisan dalam keluarga, sehingga masing-masing dapat menjalankan perannya dengan penuh kematangan sikap, serta dapat tercipta kepuasan batin dengan tujuan terbentuknya keluarga yang bahagia.

Tidak semua keluarga bisa menjadi keluarga yang ideal, akibatnya bermacam-macam sikap individu dalam menghadapi keluarga yang tidak sesuai harapannya. Maka kesimpulannya adalah ketika memang sebuah keluarga tersebut tidak dapat diutuhkan kembali maka hal penting yang harus diselamatkan adalah kepengasuhan seorang anak dengan tetap menjalin komitmen baik di antara kedua pihak tersebut.


[1] Megawangi, R, Membiarkan Berbeda, Mizan,Bandung, 1999, p 66


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari