Hukum muslim taqlid

Oleh: Rif’atuz Zuhro

Terbuka luasnya media internet membuat masyarakat memilih “instan” dalam belajar hukum Islam. Generasi milenial lebih senang berseluncur ke dunia maya (dunia internet) dari pada harus membuka kitab atau buku sumber hukum Islam. Oleh karena itu pegiat konten keislaman (moderat) harus gencar memberikan sajian tulisan termasuk tentang mengambil hukum Islam seperti ijtihad, ittiba’, dan taqlid.

Ijtihad adalah cara beragama dengan mengetahui dalil dan dapat mengolah dalil tersebut. Ittiba’ adalah cara beragama dengan mengetahui dalil namun tidak bisa mengolah dalil tersebut. Sedangkan taqlid adalah mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa tahu dalil-dalilnya atau hujjahnya.

Alasannya jelas, pertama, manusia memang diciptakan dalam sosiologis yang berbeda sehingga pemahamannya pun tidak dapat dipukul rata. Kedua, adanya perintah bertakwa sekuat orang tersebut. Orang yang mampu ijtihad dianjurkan untuk ijtihad sedangkan orang yang tidak mampu berijtihad maka dianjurkan ittiba’, jika tidak mampu maka diwajibkan taqlid. Ketiga, tidak ada pembebanan (taklif) di luar kemampuan manusia.

Lebih jauh soal taqlid, Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas kesahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui kesahihan hujjah taqlid itu sendiri (Al-Buthi, Al-Lamadzahabiyah Akhtaru Bid’ah Tuhaddid al-Syari’ah al-Islamiyah, hal 69).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Taqlid adalah sesuatu yang pasti dilakukan oleh setiap muslim. Seperti orang ketika melakukan takbiratul ihram dalam shalat tentu akan melakukannya meskipun belum mengetahui dalilnya sahih atau tidak. Jika kemudian ia tahu dalilnya, maka ia telah keluar dari taqlid a’ma (taqlid buta).

Selain dalam bidang agama, taqlid juga biasa dilakukan dalam berbagai persoalan lainnya. Misal seorang dokter ketika memberikan resep kepada pasiennya, tentu ia akan mengambil obat di apotek bukan mendapatkan obat dari temuannya sendiri.

Membebani masyarakat awam dengan melakukan ijtihad sendiri jelas memberatkan, sebab minat dan kemampuan setiap orang yang beragam. Bagi yang “tidak sempat” mempelajari ilmu agama, ia harus bertanya kepada orang yang lebih paham terkait agama. Atau misalkan mengikuti kemajuan informasi teknologi saat ini pembaca (muslim) bisa memanfaatkan media internet untuk mencari sumber-sumber kajian keagamaan yang kredibel.

Hanya saja, dalam bertaqlid ada beberapa hal yang harus diperhatikan bahwa bertaqlid harus kepada madzhab empat yang dijadikan pedoman umat Islam. Namun dengan adanya kebolehan taqlid tidak berarti menggugurkan kewajiban muslim untuk menjadi muslim yang berwawasan luas dan mendalam. Dalam beberapa hal yang tidak dimungkinkan muslim tidak bisa melakukan ijtihad dan ittiba’, maka boleh melakukan taqlid.


Penulis adalah Alumni STIT UW Jombang dan Aktivis PMII Jombang.