sumber gambar: https://bincangsyariah.com

Oleh: Ustadz Muhammad Idris*

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Saya niat mufaraqah dalam shalat jamaah pada rakaat kedua karena hati saya tidak puas hati dengan imam atas sebab-sebab ceramahnya yang meragukan dalam penilaian saya, bagaimana tuan yang saya lakukan?

Azman Adnan, Kuala Selangor

Wa’alaikumussalam, Wr. Wb

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Terima kasih kepada penanya, saudara Azman Adnan. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kemudahan dan rahmat kepada kita semua dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Amiin yaa rabbal ‘alamiin. Adapun jawabannya sebagai berikut ini:

Shalat jamaah merupakan shalat yang terdiri dari imam dan makmum. Bagi orang yang melaksanakan shalat berjamaah akan diganjar oleh-Nya 27 derajat. Hal ini berdasarkan redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim:

“صلاة الجماعة  اَفْضَلُ  مِنَ صلاة الفَذِّ بسبع وعشرين درجة”

“Shalat jamaah lebih utama dari shalat sendiri dengan dilipatkan mencapai dua puluh tujuh derajat.”

Dalam hadis itu dijelaskan bahwa shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian, dengan selisih dua puluh derajat. Padahal, shalat berjamaah lebih dari sekadar urusan mana yang lebih besar pahalannya: antara shalat sendirian atau bersama-sama. Berjamaah memuat hikmah dan pelajaran yang penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Perbandingan satu dan dua puluh tujuh yang diketengahkan oleh hadits justru memperkuat bahwa shalat berjamaah memuat “rahasia” yang spesial sehingga Allah begitu menganjurkannya. Lebih dari itu shalat jamaah merupakan cerminan dari kenyataam kehidupan bahwa manusia ialah makhluk sosial.

Dalam shalat berjamaah seorang makmum diharuskan mengikuti gerakan imam. Dalam artian, seorang makmum harus mengetahui rukun fi’ly (rukun gerakan) imam baik secara langsung melihat imam, ataupun dengan tidak langsung dengan melihat makmum lain atau mendengarkan suara imam. Dalam pelaksanaanya, terkadang ada makmum saat menjalankan jamaah tidak cocok kepada si imam, semisalnya karena bacaan imam yang kurang fasih, gerakannya terlalu cepat, dan sebagainya, yang nantinya akan berdampak keinginan mufaraqah pada imam tersebut.

Mufaraqah dalam fikih biasa diartikan memutus ikatan dalam shalat jamaah. Di saat mufaraqah seseorang diharuskan berniat supaya shalatnya tidak dianggap batal, meskipun terkadang bisa menggugurkan keutamaan berjamaah. Lebih dari itu, dalam mufaraqah terkadang dikenai hukum wajib, sunah, makruh, dan haram. Adapun perinciannya sebagai berikut: hukum mufaraqah itu makruh  dan bisa menghilangkan fadhilah (keutamaan) jamaah seperti mufaraqah dengan tanpa udzur. Akan tetapi bisa menjadi wajib seperti melihat imam melakukan hal yang membatalkan shalat. Selain itu juga bisa menjadi mubah dan tidak menggugurkan fadhilah jamaah apabila makmum mufaraqah dikarenakan imamnya meninggalkan sunnah maqsudah seperti tasyahud awal, qunut, membaca surat sunnah atau imam yang memanjangkan bacaan shalatnya. Bahkan bisa menjadi haram apabila syi’ar islam terhenti karenannya atau termasuk shalat jamaah yang diwajibkan seperti shalat Jumat. Keterangan tersebut berdasarkan fathul muin halaman 174. Dalam redaksi lain, dijelaskan dalam kitab Bughyatul Murtasyidin mengenai hukum-hukum mufaraqah

فائدة : قال في كشف النقاب : والحاصل أن قطع القدوة تعتريه الأحكام الخمسة واجباً ، كأن رأى إمامه متلبساً بمبطل وسنة لترك الإمام سنة مقصودة ، ومباحاً كأن طوّل الإمام ، ومكروهاً مفوتاً لفضيلة الجماعة إن كان لغير عذر ، وحراماً إن توقف الشعار عليه أو وجبت الجماعة كالجمعة اهـ

“Kesimpulannya bahwa memutus jama’ah dengan imam terdapat lima hukum, yakni wajib seperti melihat imam melakukan hal yang membatalkan shalat, sunah: imam meninggalkan pada sunnah maqsudah, mubah seperti imam memanjangkan bacaannya, makruh yang dapat menghilangkan fadhilah (keutamaan) jamaah seperti mufaraqah dengan tanpa udzur dan haram apabila syi’ar Islam terhenti karenannya atau termasuk shalat jamaah yang diwajibkan seperti shalat Jum’at.”

Lalu, bagaimana permasalahan di atas. Apakah diperbolehkan niat mufaraqah dengan sebab demikian? Bisa ditarik kesimpulan, apabila seseorang mufaraqah karena tidak suka dengan imam atau kurang puas dengan imamnya maka ini hukum mufaraqahnya makruh dan dapat menghilangkan keutamaan berjamaah. Karena ia mufaraqah dengan tanpa adanya udzur. Seperti halnya hukum berjamaah dengan imam yang tidak disukai adalah boleh (keterangan dalam kitab Hasyiyatul Jamal).

ومن تغلب على إمامة الصلاة ولا يستحقها أو لا يتحرز عن النجاسة أو يمحو هيئات الصلاة أو يتعاطى معيشة مذمومة أو يعاشر الفساق ونحوهم وكرهه الكل لذلك كما في الروضة ونص عليه الشافعي – الى ان قال- إنما هي في حقه أما المقتدون الذين يكرهونه فلا تكره لهم الصلاة خلفه انتهت

“Seseorang yang menjadi imam shalat dan dia tidak memperhatikan masalah najis atau kurang dalam memperhatikan kesunahan dalam shalat atau melakukan gaya hidup yang jelek atau bergaul dengan orang-orang fasiq dan selainnya. Maka bagi makmum yang tidak suka padanya tidak dimakruhkan untuk shalat dengannya.”

Sekian jawaban dari tim redaksi kami. Mudah-mudahan dengan melaksanakan shalat berjamaah terjalin ikatan persaudaraan, merajut kasih sayang, dan memperkokoh barisan muslim satu dengan lainnya. Amiin yaa rabbal ‘alamiin. Wallahu ‘alam bisshowab.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.