Daging kurban saat dibagi-bagikan (sumber: dombadorsip)

Ibadah kurban merupakan salah satu syiar Islam yang memiliki nilai spiritual dan sosial yang tinggi. Dalam pelaksanaannya, penyembelihan hewan kurban menjadi bagian yang sangat penting dan sering kali melibatkan jasa para pejagal atau tukang sembelih. Namun, di tengah masyarakat banyak sekali yang memberikan bagian dari daging kurban sebagai upah bagi para pejagal tersebut, sehingga menimbulkan pertanyaan atas kebolehannya.

Pertanyaan ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi menyentuh aspek hukum fikih yang perlu dikaji secara mendalam. Dalam uraian singkat kali ini, penulis akan membahas hukum menjadikan daging kurban sebagai upah pejagal menurut pandangan para ulama dan dalil-dalil yang mendasarinya, serta solusi dari praktek tersebut, guna memberikan pemahaman yang benar dan menghindari kekeliruan dalam pelaksanaan ibadah kurban.

Mengenai kasus ini terdapat sebuah hadis yang berkaitan, yakni hadis riwayat Al-Hakim;

مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ

“Barang siapa yang menjual kulit hewan kurbannya, maka tidak kurban baginya.” (HR. Al-Hakim)

Baca Juga: 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Memilih Hewan yang Baik untuk Kurban
Adab Menyembelih Hewan Kurban
Hewan Kurban Merasakan Sakit saat Disembelih?

Dari hadis ini ulama mengambil kesimpulan berupa larangan untuk menjual segala hal dari hewan kurban baik itu berupa daging, lemak, tanduk, rambut, kulit, dan lain-lain.[1] Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hewan yang dimiliki seseorang, apabila dikurbankan maka keluar dari kepemilikannya dan menjadi milik orang-orang fakir, sehingga menjualnya kembali termasuk bagian dari merampas hak orang lain. Lebih jelasnya Ibnu Hajar berkata;

أَنَّهُ بِالْأُضْحِيَّةِ خَرَجَ عَنْ مِلْكِهِ وَصَارَ مِلْكًا لِلْفُقَرَاءِ، فَإِذَا اسْتَوْلَى عَلَيْهِ وَبَاعَهُ كَانَ كَالْغَاصِبِ لِحَقِّ الْغَيْرِ

“Sesungguhnya dengan berkurban, hewan kurban telah keluar dari kepemilikannya dan menjadikannya milik para fakir miskin. Maka jika ia menguasainya kembali dan menjualnya, ia seperti orang yang merampas hak milik orang lain.”[2]

Nah, hal yang sama hukumnya menurut para ulama adalah memberikan sesuatu dari hewan kurban sebagai upah kepada penyembelih karenakan dianggap searti dengan jual-beli.

وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ شَيْءٍ مِنْ الْأُضْحِيَّةِ وَلَوْ كَانَتْ تَطَوُّعًا سَوَاءٌ اللَّحْمُ، وَالشَّحْمُ، وَالْجِلْدُ وَالْقَرْنُ، وَالصُّوفُ، وَغَيْرُهَا، وَلَيْسَ لَهُ جَعْلُ الْجِلْدِ أَوْ غَيْرِهِ أُجْرَةً لِلْجَزَّارِ

“Tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan kurban, meskipun kurban itu sunnah (tidak wajib), baik itu daging, lemak, kulit, tanduk, wol, maupun bagian lainnya. Dan tidak boleh pula menjadikan kulit atau bagian lainnya sebagai upah bagi tukang jagal.”[3]

Ibnu Hajar juga menambahkan bahwa sebagaimana dalam jual-beli hal ini terdapat unsur merampas hak orang lain, begitu juga memberikannya sebagai upah juga terdapat unsur demikian.[4] Di sisi lain, memang terdapat sebuah hadis yang secara khusus melarang pemberian upah penyembelih dari hewan kurban;

أَنَّ عَلِيًّا أَخْبَرَهُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا شَيْئًا

“Dari Ali bin Abi Thalib r.a., Nabi Muhammad Saw., memerintahkan agar dia berada (menyaksikan hewan qurbannya). Dan Beliau memerintahkan untuk membagi semua daging qurbannya, kulitnya, dan pelananya. Dan tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun dari bagian qurban itu kepada tukang jagalnya.” (HR. Bukhari 1717)

Ibnu Qudamah menjelaskan dalam kitab Al-Mughni, bahwa hadis ini dijadikan landasan oleh para ulama akan larangan pemberian bagian apapun dari kurban sebagai upaha tukang jagal atau penyembelih. Adapun apabila diberikan dalam rangka sedekah atau hadiah maka boleh-boleh saja.[5]

Baca Juga: Meningkatkan Kualitas Iman dari Keikhlasan Berkurban

Hal senada juga disampaikan oleh Al-Muhaddits Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari fi Syarhi Shahih Al-Bukhari, bahwa memberikannya sebagai upah kepada penjagal tidak diperbolehkan karena hal itu bersifat transaksional, bedahalnya apabila diberikan dalam rangka hadiah, sedekah, atau tambahan dari upah yang telah diberikan maka hukumnya boleh. Lebih lengkapnya ia berkata;

إِعْطَاءُ الْجَزَّارِ عَلَى سَبِيلِ الْأُجْرَةِ مَمْنُوعٌ لِكَوْنِهِ مُعَاوَضَةً وَأَمَّا إِعْطَاؤُهُ صَدَقَةً أَوْ هَدِيَّةً أَوْ زِيَادَةً عَلَى حَقِّهِ فَالْقِيَاسُ الْجَوَازُ

“Memberikan (bagian dari kurban) kepada tukang jagal sebagai bentuk upah adalah dilarang karena termasuk dalam bentuk transaksi (mu‘āwaḍah). Adapun memberikannya sebagai sedekah, hadiah, atau tambahan dari haknya, maka menurut qiyas (analogi) hukumnya boleh.”[6]

Dari uraian singkat di atas, dapat kita simpulkan bahwa kebiasaan yang terjadi di masyarakat dengan memberikan bagian dari hewan kurban sebagai upah kepada tukang jagal atau penyembelih hukumnya tidak boleh. Sebagai solusinya, dapat dengan memberikan terlebih dahulu uang yang menjadi upah tukang jagal baru kemudian diberikan daging kurbannya, atau cara paling mudah tukang jagal menyembelih hewan kurban secara cuma-cuma, tetapi setelah penyembelihan, pemilik kurban memberikan daging kurban kepadanya dalam rangka sedekah atau hadiah.



Penulis: Moh Wildan Husin
Editor: Rara  Zarary

 

 

 

[1] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, An-Nawawi, 8/420

[2] Az-Zawajir An Iqtirafil Kabair, Ibnu Hajar Al-Haitami, 1/346

[3] Al-Ghurar Al-Bahiyyah, Zakariya Al-Anshari, 5/171

[4] Az-Zawajir An Iqtirafil Kabair, Ibnu Hajar Al-Haitami, 1/346

[5] Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 9/450

[6] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani, 3/556