32. ishom hadzikOleh: Pipit Maulidiya*

Tidak hanya dalam urusan ilmu agama, Gus Ishom cukup memahami tentang masalah sosial, budaya, serta politik. Sering kali tulisannya menghiasi berbagai halaman media massa Nasional semisal Harian Surya, Jawa Pos, Republika dan lain-lain. Pengalaman menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jombang membuat pengalaman politiknya semakin tajam. Selain menulis kitab dan beberapa artikel di media massa, Gus Ishom juga merupakan seorang muballigh yang handal. Lisan yang fasih, bahasa yang lugas, serta ilmu yang tinggi, membuat setiap ceramah yang disampaikan olehnya selalu menarik untuk disimak.

Gus Ishom mempunyai mobilitas tinggi di dalam ataupun di luar aktifitas pesantren, misalnya kapasitas beliau sebagai salah satu pengurus Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, peninggalan kakeknya Hadratus Syaikh KH. Moh. Hasyim Asy’ari, juga pengasuh Pondok Pesantren Al Masruriyah (khusus putri) Tebuireng Jombang. Beliau aktif mengajarkan Kitab Kuning dan kitab lainnya, terlebih mengajarkan ajaran yang disampaikan oleh KH. Hasyim Asy’ari yang sedang beliau kumpulkan.

Di luar pesantren, Beliau seorang politisi PPP meneruskan karir ibunya. Dan bahkan pernah menjadi anggorta DPRD Jombang Jawa Timur. Aktif juga dengan tulisan-tulisan yang menggugah dalam media massa Nasional. Dengan bahasa yang khas, dan sentuhan spiritualitas membuat sastra Gus Ishom bernilai tinggi. Kemampuan sastra Gus Ishom ini dilatarbelakangi oleh kesenangannya dalam bidang balaghoh, terutama bab badi’ yang bermuatan sastra tinggi.

Pernah suatu kali dalam sebuah tulisannya yang dimuat dalam media massa Republika, Gus Ishom menggambarkan kondisi Kiai atau Gus yang kurang perhatian terhadap karya sastra, atau kemenulisan. “Belakangan ini cenderung kering dari sentuhan sastra, karena para kiai dan ustadz tak lagi produktif menulis karya sastra, terutama puisi seperti dilakukan para pendahulunya.[1] Sampai sekarang pun, tokoh agama masih kurang dalam tradisi menulis. Menulis sebuah kitab atau karya sastra yang berbentuk puisi, cerpen, atau bahkan novel. Di Indonesia ini ada beberapa nama tokoh agama yang menulis sastra seperti Gus Mus, KH. D. Zawawi Imron, Ainun Najib dan lainnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kembali Hidup Damai Disisi Nya

Ditengah padatnya kegiatan yang dijalaninya, tidak terasa Gus Ishom kurang perhatian terhadap kondisi kesehatan tubuhnya. Akhirnya beliau jatuh sakit. Salah satu penyakitnya adalah asam urat. Ketika sudah kelihatan sembuh, beliau kembali beraktivitas lagi yang memerlukan kesehatan fisik prima. Kemudian beliau jatuh sakit lagi, akhirnya dengan takdir Allah setelah berobat lama, Allah mengambil ruh suci dari raga kiai muda, sang penerus estafet keilmuan sang kakek KH. Hasyim Asy’ari, pada hari sabtu 26 Juli 2003 sekitar pukul 06.30 WIB di Rumah Sakit William Bunk Surabaya. Gus Ishom pergi meninggalkan keluarga dan masyarakat yang mencintainya di usia yang relatif masih sangat muda, 37 tahun.

Ketika beliau wafat, halaman Pondok Pesantren Tebuireng sesak dengan peziarah dari berbagai penjuru Jawa Timur, mulai para kiai, santri, murid, birokrasi, politisi dan masyarakat umum. Gus Dur pula yang menshalati pertama kali jenazahnya di komplek makam keluarga Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Ishomudin Hadziq dipersiapkan dengan matang oleh KH. Mahrus Ali agar menjadi penerus NU yang matang dan siap, tetapi sungguh telah amat sangat disayangkan, kita kehilangan sosok yang tidak diragukan lagi keilmuannya itu.

Saat pemakaman, turun hujan sebagai tanda bahwa Gus Ishom adalah hamba-Nya yang dicintai dan disayangi-Nya. Semoga ruh Gus Ishom diterima disisi Allah, ditinggikan derajatnya, diampuni dosanya, dan mendapatkan balasan yang berlipat-lipat dari amal perbuatan yang dilakukannya di dunia, berupa benih-benih kebaikan di masyarakat.

**Staff Produksi eastjavatraveler.com, alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya


(1) Lihat lebih lengkap di Sumber: https://www.republika.co.id/koran_detail.asp id=83548&kat_id=102&kat_ (Diakses pada tanggal 16 Nopember 2013)