Pertanyaan : Assalamu’alaikum, Bapak Profesor yang saya hormati, tak dapat dipungkiri akhir-akhir ini penyakit semakin aneh dan obatnya pun juga semakin aneh. Saya tahu itu karena ada tetangga saya yang menderita sebuah penyakit. Berbagai upaya medis telah ditempuhnya tetapi hasilnya tetap nihil. Dan katannya ada yang bilang kalau obatnya adalah air kencing. Lantas apa hukumnya berobat dengan air kencing tersebut?. Terima kasih.
Setia Ningrum Lampung
Jawaban :
Wa’alaikumsalam. Untuk membahas masalah ini, terlebih dulu perlu dijelaskan hal-hal yang terkait denga maqaashid asy-syarii’ah (tujuan pokok ajaran Islam), yakni terwujudnya adl-dlaruuriyyaat al-khams (lima hak asasi): agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (hak beragama, hak hidup, hak berpendapat, hak reproduksi dan hak memiliki). Jika eksistensi kelima hak tersebut terancam, maka untuk mempertahankannya boleh ditempuh “hampir” segala cara, sampai kalaupun harus melanggar hal-hal yang dilarang, karena dianggap dalam keadaan darurat. Hal ini didasarkan pada banyak dalil dan kaidah fiqhiyyah, antara lain makna firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 173: “Sungguh Allah SWT mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah SWT. Tetapi barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa (darurat) sedang ia tidak mengnginkannya dan juga tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh Allah SWT itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Dan kaidah fiqhiyyah yang amat popular: “Adl-Dlaruuraatu tubiichul machdhuuraat” (keadaan darurat itu menyebabkan bolehnya dilakukan hal-hal yang dilarang).
Nah terkait dengan pengobatan memakai air seni (kencing), maka hal ini dapat dikaitkan dengan menjaga eksistensi jiwa (nyawa), artinya orang yang sakit itu bisa terancam jiwanya, karena itu harus berobat sebagai upaya penyembuhan dalam rangka mempertahankan eksistensi jiwanya. Maka dari itu para ulama sepakat, bahwa berobat itu hukumnya wajib. Mengenai cara yang ditempuh untuk pengobatan suatu penyakit, maka boleh dengan cara apa saja asal tidak melanggar ketentuan pokok ajaran Islam, yakni tidak menempuh jalan syirik. Tetapi dalam pengobatan ini mestinya semua muslim mengerti dan pada dasarnya harus meyakini, bahwa Rasullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obatnya. Dan menjadikan obat pada setiap penyakit. Maka berobatlah kamu tetapi jangan berobat dengan yang haram” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidziy, an-Nasa-iy dan al-Baihaqiy dari Abu Darda’). Jadi prinsip ini yang harus dipedomani terlebih dulu. Tetapi jika ternyata ada penyakit yang belum ditemukan obatnya, dan baru diketahui “obat” yang justru dari barang yang haram, maka hal ini tentu masuk dalam kategori perkeculian.
Kebebasan cara tersebut tentu harus dengan tetap mematuhi prosedur pengobatan yang secara medis dianggap wajar. Artinya, siapapun muslim yang sakit maka harus berobat dengan cara-cara yang halal menurut ketentuan ajaran Islam. Tetapi apabila berbagai cara yang halal sudah ditempuh dan ternyata belum sembuh juga, maka jika ada cara lain yang diyakini dapat menjadi perantara kesembuhannya, walaupun cara itu haram seperti meminum air kencing sendiri atau bahkan jika perlu air kencing orang lain sekalipun maka diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada hadis yang menyatakan, bahwa ada seseorang yang sakit pada zaman Nabi SAW diperbolehkan meminum air kencing onta sebagai obat (HR. Ahmad dan AbuDawud). Tentu juga pada qaidah fiqhiyyah di atas: “Adl-Dlaruuraatu tubiichul machdhuuraat” (keadaan darurat itu menyebabkan bolehnya dilakukan hal-hal yang dilarang).
Tetapi jika cara penyembuhan itu mengandung syirik, maka apapun alasannya tetap tidak diperbolehkan. Lebih baik tetap sakit atau bahkan mati, daripada harus menukar agama atau mengotori aqidah dengan syirik karena Allah SWT tidak berkenan mengampuni dosa syirik, sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Nisa’ ayat 116 (yang maknanya): “Sungguh Allah SWT tidak berkenan mengampuni dosa karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan berkenan mengampuni dosa apa saja selain syirik tersebut, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya…”
Penggunaan air kencing untuk suplemen atau penyegar kondisi tubuh dan lain lain, jelas tidak diperkenankan karena tidak termasuk dalam kondisi darurat. Jadi jelasnya hanya keadaan daruratlah yang dapat “menghalalkan” sesuatu yang mestinya diharamkan.
Apabila suatu waktu ada penelitian akurat yang dilakukan oleh peneliti muslim dan diakui oleh dokter muslim, bahwa air kencing amat bermanfaat bagi kesehatan, kemudian diolah sedemikian rupa sehingga “hilang” identitasnya sebagai air kencing, maka menurut saya dapat dan boleh dijadikan suplemen karena keharaman air kencing masih interpretable dan memiliki kelenturan, tidak seberat dan seketat haramnya khamr, darah, bangkai dan babi. Mengenai najisnya substansi air kencing, secara fiqhiyyah tidak dapat ditawar, diapakanpun tetaplah najis.
Wallaahu a’lam