syaraf-otak
Sumber Gambar: https://www.smkn57jkt.sch.id

Oleh: Dr. Abdul Kadir Riyadi

Sebagaimana sudah kita katakan pada tulisan yang telah lalu, al-Imam al-Ghazali tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh filsafat yang pernah ia geluti selama bertahun-tahun. Sekalipun berbicara tentang keyakinan atau akidah, ia tetap saja menyelipkan sentuhan-sentuhan filsosofis ke dalamnya dan karena sentuhan filosofisnya itulah pandangan al-Ghazali tentang akidah terasa begitu menarik, penuh warna, renyah, dan mengalir.

Perhatikan pandangannya tentang Tuhan. al-Ghazali menegaskan bahwa pandangan dan bahkan keyakinan manusia tentang apapun termasuk tentang Tuhan adalah produk dari sebuah prespektif (i’tibarat). Ini sungguh mengejutkan bagi sebagian orang terutama karena al-Ghazali adalah seorang sufi yang kekeh dengan kesufiannya, dan seorang ahlus sunnah wa al-jama’ah yang teguh dengan akidahnya. Biasanya, hanya seorang filsuf rasionalis yang meyakini bahwa ada peran filsafat dalam soal keyakinan, atau bahwa keyakinan kepada Tuhan itu tunduk dan asumsi-asumsi filosofis.

Perspektif adalah ciri khas dari sebuah filsafat yang rasional. Rasionalisme mengajarkan bahwa pengertian sesuatu tergantung pada bagaimana cara kita melihatnya. Setiap orang memiliki perpektif sendiri-sendiri tentang apapun termasuk Tuhan dan agama. Dalam wilayah filsafat yang rasional, wahyu seringkali tidak mendapat tempat dan tunduk oleh perspektif-perspektif yang merupakan hasil dari pemikiran atau abstraksi seorang filusuf. Dampak dari cara pandang yang rasional semacam ini, segala hal dapat dikembangkan sesuai dengan pandangan dan kecenderungan masing-masing orang.

Di dunia Barat, kecenderungan semacam inni sangat kental. Pada satu sisi, hal itu membawa dampak yang sangat posisitf karena kajian tntang beragam ilmu menjadi berkembang begitu pesat. Kajian tentang agama contohnya, berkembang pesat karena setiap peneliti dan ilmuan merasa leluasa dan bebas menyuguhkan gagasannya, teori dan paradigmanya tentang agama sesuai dengan cara dan corak pemikirannya. Akibatnya, beragam perspektif dan ilmu pengetahuan bermunculan seperti sosiaologi, antropologi, antropologi sosial dan yang sejenisnya. Beragam ilmu ini memiliki asumsinya sendiri-sendiri tentang berbagai hal termasuk Tuhan seringkali tanpa landasan-landasan keagamaan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dengan demikian ada sisi negatif yang diakibatkan oleh pendekatan rasional semacam ini; agama terpinggirkan dan wahyu menjadi sebatas legenda. Pemikiran yang lahir dari semangat rasionalisme jauh lebih mengedepankan perspektif individu yang subjektif ketimbang wahyu tuhan yang mutlak. Akibatnya, dalam kajian tentang agama di Barat, seringkali Tuhan justru tidak mendapatkan tempat dan bahkan sering dianggap sudah mati.

Mengatakan bahwa Tuhan adalah produk dari perspektif sama saja dengan mengatakan bahwa kita bebas dan leluasa untuk menilai tuhan dari sudut pandang dan kaca mata kita masing-masing. Ini bahaya karena bisa saja kemudian ada yang berpendapat bahwa tuhan itu tidak ada, atau tidak esa. Itu adalah makna kata “perspektif” dalam tradisi filsafat barat.

Dalam pemikiran al-Ghazalli beda lagi. Pandangan al-Ghazali yang filosofis tentang Tuhan tidak serta merta melupakan wujud yang mutlak ini, dan tidak kosong dari muatan atau peran agama. Al-Ghazali jelas bukan seorang ateis atau agnostik. Menelusuri lebih jauh pandangannya tentang makna perspektif akan memahamkan kita bahwa maksud al-Ghazali tidak naif. Satu sisi ia bermaksud menghormati filsafat yang agung dan berguna dalam beragama, dan sisi lain ia ingin membatasi bahwa yang ia maksudkan dengan filsafat adalah beragama dengan cahaya akal.

Al-Ghazali tidak pernah bosan mengingatkan kita bahwa keselamatan manusia di akhirat nanti apakah ia akan masuk surga atau neraka- sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh ia menggunakan akalnya. Perhatikan firman Allah dalam surat al-Mulk/10 yang berbunyi, “dan mereka mengatakan jika saja kami mendengarkan dan berakal maka niscaya kami tidak berada di kalangan para penghuni neraka”.

Penggunaan akal dalam menjelaskan wujud tuhan dan keterkaitannya dengan manusia memungkinkan al-Ghazali untuk tidak saja mengutip ayat-ayat Qur’an tapi juga bermanuver ke sana dan kemari seolah ingin menggoyang siapapun yang hendak menentangnya.

Garis besar teori al-Ghazli adalah bahwa semua pandangan atau perspektif tentang wujud-wujud yang ada di jagad raya ini harus senantiasa dikaitkan dengan wujud yang mutlak, yaitu Tuhan. maknanya, sebuah perspektif akan berguna dan sah jika dikaitkan atau dilandasi oleh konsep tauhid. Al-Ghazali menggunakan analogi tentang relasi organ-organ tubuh bagi kesatuan tubuh. Telinga, mata, hidung, tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh membentuk satu kesatuannya yang bernama manusia. Seseorang yang mempunyai pemikiran yang sangat mendalam dan berwawasan luas tentang anatomi manusia, melihat keragaman bagian-bagian tubuh ini dengan membayangkan bahwa itu semua sejatinya adalah satu. Rasul juga mensabdakan bahwa, “perumpamaan seorang mukmin dengan mukmin yang lain adalah seperti satu jasad, jika yang satu sakit maka yang lain ikut merasa sakit”.

Orang lain boleh jadi melihat bahwa keragaman anggota-anggota tubuh itu bukan sebagai keunikan dari suatu wujud yang terintegrasi dan menyatu. Setiap organ itu mandiri dan tidak terkait dengan yang lain. namun, hampir dapat dipastikan bahwa pandangan seperti ini lemah dan tidak mendapat dukungan dari kebanyakan orang. Oleh karena itu kiranya dapat dibenarkan bahwa kebanyakan orang memandang manusia itu tersusun dari berbagai macam organ dan anggota tubuh yang saling terhubung, bukan sebuah kumpulan dari anggota-anggota tubuh yang tidak saling terkait.

Demikian pula, kata Ghazali, segala sesuatu dalam kehiduapn ini, dari Sang Pencipta hingga makhluk merupakan satu kesatuan yang saling terkait, dan itu kadangkala terlihat secara kasat mata. Kebersatuan wujud itu pernah dicontohkan oleh Jalaluddin Rumi sebagai hujan yang berasal dari laut, kemudian melalui proses yang dibantu oleh suhu panas, air laut itu menapa ke atas menggumpal menjadi awan, dan gumpalan itu kemudian menjadi mendung, yang lalu turun menjadi hujan. Hujan itu pada akhirnya akan kembali menjadi air laut dan nantinya menjadi hujan lagi. Demikian seterusnya metamorfose air dari satu tahap ke tahap lain; sebuah metamorfose yang juga dialami oleh manusia dan setiap wujud-wujud yang ada di jagad raya ini. Di sinilah letak pentingnya memahami wujud tuhan tidak hanya melalui ayat-ayat suci yang diwahyukan tapi juga melalui sebuah perenungan dan pemikiran. Menariknya, al-Ghazali sering berbicara tentang perenungan itu sebagai musyahadah. Artinya musyahadah bukanlah keadaan menyaksikan Tuhan tapi keadaan merenung mencari tuhan.

Berbicara kepada orang-orang yang ragu akan keyakinannya, al-Ghazali meperingatkan bahwa orang-orang awam menuntut agar kita tidak mengingkari keberadaan sesuatu hanya karena kita tidak mengetahuinya atau belum memahaminya. Dia suka mengutip pernyataan khalifah Abu Bakar bahwa, “mengakui ketidakmampuan untuk memahami sesuatu dengan sendirinya adalah sebuah bentuk pemahaman”. Persisnya adalah ketika seseorang mengakui ketidakmampuannya untuk memahami sesuatu yang sangat mendalam seperti kesatuan Tuhan dengan semua makhluk-Nya, ia terdorong untuk menerima keimanan apa adanya tanpa sebuah pertanyaan atau bahkan tanpa melalui pembuktian. Orang seperti ini (awam) tidak butuh filsafat dan bahkan tidak butuh berpikir dalam bentuk apapun.

Tapi jalan yang paling baik untuk beriman kepada tuhan bukanlah jalan orang awam, melainkan jalan para ahli ilmu yang walau sudah beriman –tapi terus mencari dan mencari hingga menemukan kebenaran yang absolut. Kisah Nabi Ibrahim yang dituturkan dalam Surat Al-Baqarah/260, atau kisah Nabi Musa dalam Surat Al-A’raf/143 menjadi contoh betapa sebuah pencarian itu tidak boleh berhenti walau seseorang telah mencapai tahap kepastian yang tak terbahkan. Jika nabi saja terus mencari, maka manusia biasa seperti kita tentu harus pula terus mencari.

Pada sebuah kesempatan al-Ghazalli menceritakan bahwa para guru sufipun terus mencari lewat riyadhah atau cara yang lain. Konon, dalam sebuah percakapan antara Manshur Al-Hallaj dengan Ibrahim Khawash (w.903/291), Al-Hallaj bertanya, “Anda dalam kondisi apa sekarang ini?”, “Ini pertanyaan apa?”Khawash balik bertanya. Ia kemudian melanjutkan, “Aku menempuh perjalanan-perjalanan spiritual sehingga dapat memperbaiki keadaan takwaku kepada tuhan. “Al-Hallaj memotong jawabannya dan berkata,”anda telah menyia-nyiakan hidup padahal anda telah menjadi seorang sufi arif”.

Mengomentari percakapann ini, al-Ghazali mencermati bahwa Khawash telah masuk ke dalam tingkat tertinggi dalam keimanannya, sedang al-Hallaj masih dalam proses pendakian menuju puncak.

Pencarian akan kebenaran adalah perjalanan yang menyenangkan, dan mencapai puncak keimanan adalah keadaan yang amat membahagiakan. Ketika seseorang sudah dekat dengan tahap iman yang paling tinggi, ia akan melampaui persepsi tentang tuhan. Maksudnya, Tuhan tidak lagi menjadi bahan persepsi, tapi sudah menyatu menjadi darah dan daging dan membentuk kepribadian serta keyakinan seseorang. Dalam keadaan semacam ini kehidupan seseorang akan disinari oleh cahaya Ilahi, dan perjalanan hidupnya akan dituntun oleh Rahmat dan Hidayah-Nya. Pendek kata, orang semacam ini akan berjalan dengan “kaki” tuhan, berbicara dengan “lidah-Nya”, mendengar dengan “telinga-Nya”, dan melihat dengan “mata-Nya”

Dalam hal berperilaku secara khusus, al-Ghazali pernah mengatakan bahwa ciri khas orang yang sudah matang keimanan dan keyakinannya seperti ini adalah memiliki tingkat kepasrahan (tawakal) yang sangat itnggi. Bentuk nyata dari berjalan dengan “kaki-nya” dan seterusnya adalah kepasrahan.

Dalam ungkapan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani sebagaimana beliau jelaskan dalam kitab al-fath al-rabbani, orang semacam itu memiliki tiga sifat, yaitu ridha, pendek angan, dan zuhud.

Orang yang beriman dan tawakal tidak akan meragukan bahwa Tuhan adalah penyebab utama bagi tumbuhnya tanaman; bahwa dia bukan angin -Adalah sebab bagi pergerakan awan; bahwa dia bukan kita- adalah yang mendatangkan rizki bagi keluarga dan anak-anak kita.

Al-Ghazali mengajak kita membayangkan seorang raja yang menuliskan sebuah perintah untuk menangguhkan hukuman mati kepada seorang narapidana. Akan sangat menyesatkan jika kemudian ada yang menyatakan bahwa bukan raja yang menulis perintah itu melainkan gesekan pena diatas kertas. Jika ada yang menyatakan itu, maka dia secara sengaja menafikan kuasa Sang Raja. Jika pengingkaran semacam ini terasa menyakitkan hati bagi manusia, maka itu juga akan terasa menyakitkan bagi Tuhan. Tuhan murka jika peran dan kuasa-Nya diingkari dan tidak diakui oleh manusia. Tuhan lebih murka jika ada orang yang menghambah kepada wujud-wujud lain selain diri-Nya. Karena itu marilah kita mantapkan iman kita dengan memastikan bahwa hanya kepada-Nya kita menghambah, dan hanya kepada-Nya pula kita memohon pertolongan.


Oleh     : Dr. Abdul Kadir Riyadi, pakar tasawuf dan maqashid syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya

Publisher  : M. Ali Ridho

Sumber  : Majalah Tebuireng Edisi 27