Sebuah sore di Bengawan. (sumber: flickr)

Sore di Bengawan (I)

Perahu bersandar
Penambang pasir memeras
Lap keringat menjadi dolar
Untuk menegakkan badan
Istri & anak-anak yang jadi tanggungan

Di penghujung bulan
Sayang, dolar belum termakan
Harus menunggu matahari terbit
Dari balik jembatan
Untuk memakan dolar

Esok…., yang dinanti
Awal bulan menghampiri
Tagihan menghantui sana dan sini
Tak perlu ada yang ditangisi

Selama riak gelombang
Air bengawan masih melambai
Pasir bengawan tersimpan harapan
Berlayar di kehidupan

Bogor Selatan, 30 November 2024


Sore di Bengawan (II)

Selain kisah penambang pasir
Ada kisah penambang lain
Tentang penambang kehidupan
Menikmati senja di bengawan

Mengadukan keluh dan kesah
Kepada pasir bengawan
Bercengkrama bersama matahari
Yang akan bersembunyi

Penambang kehidupan
Menembangkan memorabilia
Di gisik bengawan
Tentang pedagang yang kakinya
Lebih dari lima

Tentang truk-truk besar
Yang melintasi jalan pulang
Hingga, kisah-kisah
Anak bengawan yang tidak mau
Berpisah dengan air, pasir, dan segala sesuatu yang ada di bengawan

Sayang, sore sekarang
Jarang ditemui pedagang
Yang kakinya lebih dari lima
Suara diesel penambang pasir

Dan anak-anak bengawan
Karena, senjakala bengawan.

Bogor Selatan, 30 November 2024


Malam di Bengawan

 

Terang…
Meskipun malam menyapa
Bengawan tetap bersahaja
Apalagi ketika ramadhan tiba

Terang…
Dengan keceriaan
Anak-anak bengawan
Beradu petasan
Di padang gurun
Bengawan

Terang…
Dengan kisah-kisah
Pemotor
Yang berjalan di atas bengawan
Dengan jembatan

Terang…
Oleh lentera kehidupan
Penambang pasir
Dan para pencari ikan
Untuk menghadirkan kebahagiaan
Di hari raya kemenangan

Penghujung November, 2024


Bengawan: Dulu dan Kini

Ada kisah di balik air bengawan
Dulu, bengawan jadi kendaraan
Mengantarkan cahaya-cahaya
Untuk membangun peradaban

Lalu-lalang manusia-manusia
Menghiasi bengawan
Alirannya, mengantarkan cinta

Karena, muaranya bernama cinta
Dan pangkalnya juga cinta

Kini, bengawan
Tersimpan kerinduan
Kerinduan tersampaikan
Melalui angin pegunungan

Namun,
Sekarang
Air bengawan, menjadi prasasti
Angin bengawan, tidak lagi menyampaikan

Kerinduanku kepadanya
Pasir bengawan, terlahap oleh air bengawan
Memakan memorabilia
Memahatkan kemuraman

22:41

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online


Penulis: Yogi Abdul Gofur
Santri di Pondok Pesantren Ma’had Aly Raudhatul Muhibbin Bogor (takhassus tasawuf dan tarekatnya).