Sebuah gambaran pasangan. (sumber: Ist)

Di sudut ruangan berukuran 5×5, seorang gadis duduk terdiam sambil menangis. Matanya sayu, air matanya mengalir deras. Tatapannya kosong, wajahnya pucat. Pikirannya benar-benar kalut, entah karena restu orang tua atau karena memilih menyelamatkan mentalnya dari kesedihan yang mengganggu.

Namanya Aisyah. Aisyah adalah anak seorang petani di desanya. Saat ini, ia harus meninggalkan pondok pesantren untuk melaksanakan perintah mamak dan bapaknya: menikah dengan anak juragan teh yang ada di desa mereka. Jujur, Aisyah sangat ingin memberontak. “Takdir apa ini?” pikirnya. Takdir yang sangat menyakitkan bagi dirinya. Dipaksa menikah dengan orang yang awam tentang pengetahuan agama, sementara dirinya seorang santri putri dengan banyak prestasi. Aisyah merasa benar-benar hancur; ternyata uang benar-benar membutakan kedua orang tuanya.

Hari ini, pernikahan itu akan dilaksanakan. Semua persiapan sudah siap, mulai dari vendor, katering, MUA, hingga WO. Semua keluarga hadir dan terlihat bahagia, namun tidak dengan Aisyah. Air matanya terus mengalir deras.

“Ndik, maafkan orang tuamu, ya, Ndik. Abah dan umi nggak bisa bantu apa-apa. Yang kemarin abah dan umi sampaikan ke orang tuamu rupanya tidak dihiraukan. Bismillah, ikhlas, ya, Ndik. Insya Allah berkah,” ujar Umi Hayya, istri pengasuh Pondok Pesantren Al-Jabbar, tempat Aisyah menimba ilmu. Dari yang awalnya tidak tahu apa-apa, kini Aisyah bisa melakukan segalanya.

Aisyah menangis dan memeluk erat Umi Hayya. Tubuhnya sangat lemas, matanya memanas, namun mau tidak mau, ia harus hadir di acara akad nikah hari ini.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Umi, tolong doakan saya, Mi. Sepintar atau sealimnya saya, kalau imam saya kurang paham, saya mau dibawa ke mana, Mi?” Nada suara Aisyah bergetar. Mendengar itu, akad nikah pun selesai, dan Aisyah resmi menjadi istri dari anak juragan teh tersebut. Aisyah kembali menangis dan memeluk Umi Hayya, berharap ada ketenangan yang bisa ia rasakan.

Aisyah pun dijemput untuk duduk di kursi akad dan menandatangani berkas-berkas pernikahan. Setelah itu, ia duduk di kursi pelaminan, dan satu per satu, tamu undangan memberikan selamat dan doa kepada Aisyah dan Jaden.

Keesokan harinya, Aisyah dan Jaden langsung pindah ke rumah mereka sendiri, karena sebelum menikah, Jaden sudah disiapkan rumah oleh orang tuanya. Semakin jauh dari orang tua, semakin membuat Aisyah merasa gundah gulana.

“Mas, karena kamu sudah menjadi suamiku, tolong bimbing aku, ya, sebagai istri. Bimbing dan bawa aku menuju surganya Allah dan menjalani perintah-Nya,” ujar Aisyah.

Jaden, yang sibuk bermain game, hanya menjawab singkat tanpa menoleh ke arah Aisyah. Acara dan doa bersama untuk rumah baru pun selesai. Kini, hanya tinggal Aisyah dan Jaden yang berada di rumah besar dua lantai itu.

Hari-hari pun berlalu. Aisyah menjalani perannya sebagai istri dengan khidmah dan ikhlas. Ia benar-benar memberikan apa pun yang dibutuhkan suaminya, dan Aisyah tidak pernah meninggalkan ibadah, kecuali saat haid. Detik demi detik, menit demi menit, hari demi hari, bahkan bulan demi bulan, Aisyah tetap berusaha menjalani peran istri dengan sebaik mungkin. Namun, ternyata dengan berbuat baik, suaminya, Jaden, malah menyalahgunakan kesempatan. Akhir-akhir ini, Aisyah sering kali berada di rumah sendirian, ditinggal suaminya yang tidak pernah menemani.

“Kamu ke mana aja, Mas? Kadang seminggu baru balik. Bukannya pekerjaanmu dekat, ya? Apa kamu pulang ke rumah mamamu?” tanya Aisyah.

“Aku kan fokus kerja buat kamu, buat orang tua. Kalau aku capek, ya, pulang ke rumah mamah,” jawab Jaden ketus sembari meninggalkan meja makan.

“Kalau capek, kan pulang ke rumah, Mas. Ada aku di sini. Aku kan istrimu. Aku berhak merawatmu. Nggak apa-apa, meskipun aku capek, aku tetap mau kok menjaga kamu,” kata Aisyah.

Jaden tetap melangkah pergi dan masuk ke kamar tanpa menjawab.

Adzan Maghrib pun berkumandang. Aisyah bersiap untuk sholat Maghrib. Saat ia ingin meminta suaminya menjadi imam, Jaden malah pergi tanpa sepatah kata pun. Aisyah hanya terdiam dan bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Setelah itu, Aisyah pun melaksanakan sholat. Selesai sholat, Aisyah berdoa dan menangis sejadi-jadinya. Ia ingat ucapan Abah Kyai sebelum akad nikah bahwa jodoh itu bukan hanya cerminan dan pelengkap hidup, tetapi juga bisa menjadi cobaan. Cobaan bagi dirinya yang shalihah untuk bisa membawa dan menemani suaminya menjadi lebih baik. Aisyah menangis sejadi-jadinya, berdoa, dan memohon agar diberikan kesabaran serta kelapangan hati untuk menerima takdir ini.

Saat sedang berdoa, ponsel Aisyah berbunyi menandakan ada yang menelepon. Namun, Aisyah tetap melanjutkan doanya. Begitu selesai berdoa, ia langsung melangkah menuju handphone-nya dan terkejut luar biasa. Ia mendapat kabar bahwa suaminya kecelakaan dan meninggal di tempat.



Penulis: Wan Nurlaila Putri