Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي الدَّرَاوَرْدِيَّ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan kepada kami Abdul aziz Ad Darawardi dari Al ‘Ala` dari ayahnya dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (H.R. Imam Muslim no 5256).
Hadis di atas secara tekstual memberi arti bahwa kehidupan di dunia ini bagi orang Islam ialah laksana penjara sedangkan bagi orang kafir ialah laksana surga. Hadis tersebut memang sahih statusnya karena diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya yang tekenal menghimpun hadis-hadis sahih, tapi yang menjadi pertanyaan apakah hadis tersebut memang hanya sebatas dipahami maknanya secara tekstual atau ada makna implisit yang terkandung dalam teks hadis tersebut?.
Imam Nawawi dalam kitabnya al-Minhaj Syarah Sohih Muslim al-Hajjaj beliau menjelaskan apa yang dimaksud dari hadis nabi diatas
قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ) مَعْنَاهُ أَنَّ كُلَّ مُؤْمِنٍ مَسْجُونٌ مَمْنُوعٌ فِي الدُّنْيَا مِنَ الشَّهَوَاتِ الْمُحَرَّمَةِ وَالْمَكْرُوهَةِ مُكَلَّفٌ بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ الشَّاقَّةِ فَإِذَا مَاتَ اسْتَرَاحَ مِنْ هَذَا وَانْقَلَبَ إِلَى مَا أَعَدَّ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ مِنَ النَّعِيمِ الدَّائِمِ وَالرَّاحَةُ الْخَالِصَةُ مِنَ النُّقْصَانِ وَأَمَّا الْكَافِرُ فَإِنَّمَا لَهُ مِنْ ذَلِكَ مَا حَصَّلَ فِي الدُّنْيَا مَعَ قِلَّتِهِ وَتَكْدِيرِهِ بِالْمُنَغِّصَاتِ فَإِذَا مَاتَ صَارَ إِلَى الْعَذَابِ الدَّائِمِ وَشَقَاءِ الْأَبَدِ
(النووي ,شرح النووي على مسلم ,18/93)
Arti dari perkataan Rasululloh adalah setiap mukmin dipenjara dan dilarang (diharamkan) di dunia ini dari syahwat yang diharamkan dan dibenci serta wajib menunaikan amalan ketaatan yang berat, maka ketika dia meninggal dunia, dia akan terbebas dari hal tersebut dan dia akan kembali kepada apa yang dijanjikan oleh Allah SWT yaitu kebahagiaan abadi dan kenyamanan bebas dari kekurangan. Adapun bagi orang kafir, bagiannya hanyalah apa yang terjadi di dunia, meskipun dia miskin dan kesusahan, maka jika dia mati, dia akan mendapat siksa dan kesengsaraan abadi.
Dalam kitab syarah hadis lain disebutkan tentang arti dari hadis diatas
(الدنيا) أي الحياة الدنيا (سجن المؤمن) بالنسبة لما أعد له في الآخرة من النعيم المقيم (وجنة الكافر) بالنسبة لما أمامه من عذاب الجحيم وعما قريب يحصل في السجن المستدام نسأل الله السلام يوم القيامة وقيل المؤمن صرف نفسه عن لذاتها فكأنه في السجن لمنع الملاذ عنه والكافر سرحها في الشهوات فهي له كالجنة
(زين الدين محمد المدعو بعبد الرؤوف بن تاج العارفين بن علي بن زين العابدين الحدادي ثم المناوي القاهري، فيض القدير شرح الجامع الصغير، 3/546)
(Dunia), yaitu kehidupan dunia (penjara orang beriman) dalam kaitannya dengan kebahagiaan abadi yang disediakan baginya di akhirat. (Dan surga bagi orang-orang kafir) sehubungan dengan siksa neraka yang akan menimpanya dan apa yang akan terjadi di dalam penjara untuk selama-lamanya. Kami mohon kepada Allah agar diberi ketenangan pada hari kiamat. Dikatakan bahwa orang beriman memalingkan dirinya dari dirinya sendiri, seolah-olah dia berada di penjara, untuk mencegah perlindungan darinya. Dan orang kafir menyia-nyiakannya untuk hawa nafsunya, baginya hal itu seperti surga
Hadis di atas seharusnya tidak hanya dimaknai secara tekstual karena akan menimbulkan kejumudan berpikir dan berargumentasi. Lagi pula jika hadis itu dipahami tekstualnya saja dikahwatirkan akan menimbulkan keputusasaan bagi orang muslim untuk berusaha dan bekerja keras didunia padahal dunia adalah wasilah atau jembatan menuju kehidupan akhirat.
Dari penjelasan Imam Nawawi dan Imam Munawi di atas berkesimpulan bahwa hadis nabi tentang dunia ialah penjara bagi orang Islam dan surga bagi orang kafir adalah tidak semata-mata dimaknai secara leterlek. Ada kandungan makna hadis/ma’ani al-hadis di dalamnya, yang harus digali karena jika hanya menggunakan tekstual saja dalam memahami hadis maka konsekuensinya hanya akan menemukan satu konklusi hukum.
Baca Juga: Dua Hikmah Ujian dari Allah
Ditulis oleh Nurdiansyah Fikri Alfani, Santri Tebuireng