“Kitab kuning meski terbuka lebar tak semua orang bisa membacanya. Seterbuka apapun tak mudah di mengerti karena kata-kata, ataupun kalimat-kalimat didalamnya, tak di sertai tanda baca. Pembacanya harus berjuang keras menemukan sebuah makna sebuah kata tidak terdiri dari kata itu sendiri melainkan dari konteks kalimat yang panjang.” Sobari, Budayawan
Kitab kuning yang berisi muatan ajaran agama, seperti fiqh, tasawuf, hadits, dll merupakan sebuah kitab yang tercetak dengan kertas berwarna kuning. Salah satu alasan mengapa dinamakan kuning, tidak putih atau lainnya adalah karena industri percetakan saat itu tak banyak memiliki aneka ragam jenis kertas seperti sekarang ini. Walaupun toh demikian, kitab-kitab agama dengan beragam warna kertas selama di pesantren sekarang ini tetap melekat dengan penamaan kitab kuning.
Penggunaan kitab kuning di pesantren dilakukan sejak nama lembaga pesantren terkenal. Ikhtiar para ulama dalam membangun budaya lokal dalam hal ini nampak sekali. Lembaran kitab kuning yang di desain, matan dan syarah yang semula gundul ’tak memiliki harokat dan makna’ lantas coba diberikan wajah berjenggot ’diharakati dan dimaknai’ oleh para santri. Bahkan, di sebagian pesantren besar kegiatan menghiasi isi kitab kuning menjadi suatu hal yang wajib saat kenaikan kelas.
Bagi sebagian santri bisa membaca kitab kuning merupakan syarat mutlak. Tanpa mempelajari dengan giat isi pengetahuan agama tak dapat di kuasai. Maka dari itulah, materi ilmu alat menjadi salah satu kunci yang harus dikuasai oleh para santri. Dengan ilmu alat, kitab kuning dapat dibaca, dipahami, dan diterjemahkan dengan mudah. Lantas, berapa lama untuk bisa menguasai ilmu alat? Tergantung seberapa giat seorang santri dalam menggelutinya
Sebagai seorang santri pesantren yang unggul budi pekerti dan budayanya terus mengkaji kitab kuning tanpa bosan merupakan hal terbaik. Tak perlu malu dalam berpendapat selalu merujuk kitab kuning. Persoalan yang paling utama adalah bagaimana mengembangkan kajian yang termuat didalamnya. Begitu banyak para santri yang merasa sudah bisa membaca kitab lantas menutup begitu saja tanpa mau menelaah kembali. Merasa kecanggihan dunia tekhnologi dan informasi seperti internet memudahkan pembacanya menemukan banyak informasi pengetahuan.
Diakui maupun tidak, kini banyak orang belajar ilmu khususnya ilmu agama lewat internet yang kebenaran kandungannya tidak ada yang bisa menjamin. Internet menjadi sumber pengetahuan agama. Bukan menjadi alat untuk mengecek kebenarannya. Tentunya amat mengenaskan, jika seorang santri kini ikut terseret didalamnya tanpa mau berproses panjang. Terus berjuang untuk menggeluti kitab kuning merupakan hal yang patut dilakukan. Strategi membaca dan memahami kitab kuning. Yang biasanya dilakukan adalah dengan menggunakan panduan ilmu alat dan sharaf. Dua ilmu ini menjadi penting untuk dijadikan pijakan. Meskipun kitab kuning kini banyak yang di maknai oleh para santri-santri kreatif, jika tak memiliki bekal kedua ilmu diatas tetap akan ikut bingung juga.
Hasil survei pengajaran kitab kuning yang dilakukan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan tahun 2011 menunjukkan bahwa frekuensi pengajaran kitab kuning di pesantren dalam beragam bidang keilmuannya tergolong rendah, baik dilihat dari kitab-kitab pilihan kiai maupun santri. Salah satu faktornya, disebabkan oleh pergeseran orientasi pendidikan pesantren, yang cenderung mengadopsi kebutuhan-kebutuhan dalam konteks kekinian, misalnya memodernisasi pelajaran pesantren dengan memasukan pelajaran-pelajaran umum, sehingga pengajaran kitab kuning sebagai ke-khas-an dan core pendidikan pesantren melemah.(Republika 30-06-15)
Dengan begitu tentu menggugah kegelisahan kita bersama sebagai masyarakat pesantren. Kedepan hal demikian tak boleh terjadi, minimal di pesantren yang kita cintai ini. Kitab kuning dengan segala kesulitannya tak seharusnya menjadikan kita semakin alergi. Mempelajari kitab kuning secara tak langsung juga ikut serta menjaga warisan budaya ulama Indonesia. Siapa yang mampu menjaganya dan merawatnya? Hanya kepedulian para generasi penerusnyalah yang mampu. Orang-orang luar pesantren akan mengalami kesulitan. Semoga, kita selalu diberikan kemudahan dalam mempelajari kitab kuning dan mampu menjaga dan merawatnya.