sumber ilustrasi: google.com

Oleh: Anisa Faiqotul Jannah*

Sebagai masyarakat yang terletak pada geografi khatulistiwa, bangsa Indonesia dengan sentralistik budaya maritim dan agraris adiluhung menyimpan berjuta corak warna antropologi budaya yang khas, beragam, bergandeng-gandeng indah sambung menyambung dari Sabang sampai Merauke. Namun keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya tersebut selama ini juga tak sedikit melahirkan konflik terkait SARA, yang masih menjadi komoditas utama dalam dinamika perpolitikan tanah air untuk mendulang elektabilitas secara jahat. 

Masyarakat Indonesia terbagi menjadi tiga golongan, golongan a adalah golongan masyarakat berpendidikan, golongan b adalah golongan masyarakat sedang/agak berpendidikan dan terakhir serta yang masih menjadi mayoritas/mendominasi adalah golongan kurang berpendidikan. Dari sini, definisi berpendidikan bukan saya ambil dari spektrum kuantitatif jumlah pemegang ijazah, karena definisi berpendidikan menurut saya adalah orang yang mau berfikir saat bertindak dalam kesadaran kolektif penuh empati terhadap kehidupan. 

Rendahnya kualitas pendidikan klasikal produk orde baru yang dogmatif, agitatif, dan patriarkis di tanah air melahirkan tindakan-tindakan fanatisme dalam diri manusia dewasa saat ini, sebagai akibat dari kurang terlatihnya naluri berpikir obyektif yang menyebabkan masyarakat kita terkotak-kotak, mudah tersulut dan teradu domba karena terdidik menjadi hamba penyembah berhala bernama fanatisme jumbud yang bodoh. 

Kebodohan masyarakat yang demikian dimanfaatkan secara jahat oleh para politisi untuk ambisinya memenangkan kontes sabung ayam elektabilitas di panggung politik nasional, masyarakat di adu domba, di kotak-kotak dalam bendera-bendera SARA yang gagap identitas dan gagal menemukan jati diri sebagai sebuah bangsa garuda. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Berangkat dari hal tersebut, menurut saya pribadi menempuh jalur politik sebagai jalan dharma adalah sebuah fatamorgana. Jalan dharma yang bisa dilakukan untuk Indonesia adalah menanamkan bibit baru generasi dalam sajadah panjang untuk Indonesia masa depan. 

Pohon-pohon yang sudah rusak dan penuh benalu biarlah, yang perlu dilakukan bukan menebang pohon atau masuk dalam sistem untuk membersihkan benalu-benalu, itu utopis. Yang bisa dan harus dilakukan adalah mengolah kesuburan tanah dalam kesadaran generasi, agar kelak ketika semburat matahari pagi esok hari bibit-bibit itu tumbuh menjadi generasi pembaharu Indonesia masa depan.

Proses mengolah tanah dalam kesadaran generasi bisa dilakukan salah satunya dengan metode tadris/pembiasaan diskusi dalam proses pembelajaran. Metode tadris semacam bahtsul masail atau metode interaksionisme adalah sebuah proses dimana guru melemparkan sebuah masalah untuk didiskusikan. 

Dari sini guru harus berperan sebagai fasilitator yang khusyu mengawal jalannya diskusi, seperti ketua sidang dalam parlemen, yang aktif menggali secara exploratif masing-masing dari kelompok yang sedang berdiskusi. Proses pembiasaan seperti ini bermanfaat untuk melatih daya eksplorasi generasi, kekuatan penalaran dalam keseimbangan terhadap sebuah objek, kepercayaan diri serta public speaking. Pembelajaran dengan model diskusi secara tidak langsung juga mengandung pembelajaran multikultural, karena siswa akan terdidik untuk bisa menghargai pendapat yang berbeda, terlatih legowo ketika pendapatnya berlainan dengan orang lain, terbiasa dan mampu untuk merajut determinasi, dengan mampu bersikap objektif terhadap apapun saja dengan kekuatan kesadaran nalar pikiran yang matang dan bisa bagaimana caranya menyampaikan pendapat dengan baik dan benar.

Agar mereka yang kelak di tahun 2045 akan menjadi subjek utama bangsa Indonesia sudah terlahir sebagai generasi pembaharu, yang mampu menjadi pengawal semburat matahari pagi Indonesia masa depan.

Mereka adalah yang oleh R. Ng Ronggowarsito disebut sebagai satria piningit, generasi bangsa terpilih yang sedang dipingit dari riuh rendah gelap gulita zaman dewasa ini yang penuh dengan kebencian, dimana orang tidak mampu dan tidak kuat berpikir jernih, tidak memiliki keluasan hati, dan tidak tau caranya berpendapat dengan baik seperti yang setiap hari kita jumpai di media massa, di media sosial, di jagad perpolitikan Indonesia yang penuh dengan pertikaian, ujaran kebencian, adu domba SARA secara jahat demi secarik kepentingan. Panjang umur perjuangan sajadah panjang Indonesia masa depan.

*Mahasiswa Unhasy Tebuireng Jombang.