Oleh: Muhammad Masnun*

Pembentukan kepribadian seseorang berawal dari tempat di mana dia dilahirkan. Keluarga merupakan tempat paling dasar untuk belajar memahami kehidupan. Pembelajaran yang ada di dalam keluarga merupakan pembelajaran praktis. Saat itu lebih diarahkan untuk meneladani atau meniru tindakan seseorang tanpa perlu berpikir. Kemudian saat bersekolah, mereka diajari teori-teori kehidupan. Setelah itu berpikir dan mengaplikasikan teori-teori yang ada. Seperti inilah siklus kehidupan manusia.

Perempuan Wajib Berpendidikan

Ketika umur 12 tahun, Kartini harus mengalami proses “pingit”, yakni tidak boleh keluar rumah sampai tiba waktunya menikah. Pendidikan formal Kartini hanya di Hollan Inland School (HIS), sekolah rendah khusus anak bangsawan dan anak-anak Belanda. Adat pingit tidak memutuskan semangatnya untuk terus belajar, tercatat bahwa Kartini telah menghatamkan buku berjudul “Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta” karya Multatuli, “De Stille Kraacht” (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus dan lain sebagainya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selain itu Kartini banyak membaca koran ataupun majalah seperti surat kabar Semarang De Locomotief, Leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan) yang isinya tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.

Seberapa besar kemampuan seseorang bisa diukur dari pengetahuannya. Pengetahuan memberikan gambaran tentang apa yang ada di dunia ini. Ada pepatah Inggris “Read anything five hours a day, shall soon be learned”, artinya baca apa saja 5 jam sehari maka segeralah engkau menjadi terpelajar. Di Jepang pun terdapat patung jungkat-jungkit yang menggambarkan orang yang berilmu. Lebih berat orang kurus yang membaca banyak buku dari pada orang gemuk yang hanya sedikit membaca.

Al Quran memberikan derajat yang tinggi bagi seseorang yang mempunyai keilmuan yang tinggi, seperti pada surat al-Zumar ayat 9. Orang yang berilmu pengetahuan sungguh berbeda dengan orang yang tidak. Ilmu pengetahuan akan memberikan keluasan dalam berpikir, akhirnya bisa membedakan yang benar dengan yang salah, mana yang patut dikerjakan dan yang patut untuk ditinggalkan.

R.A Kartini tak akan mendirikan “Sekolah Perempuan” bila mana dia tak mempunyai pengetahuan atau keilmuan yang tinggi. Dia malah akan meneruskan budaya bahwa wanita tak perlu berpendidikan tinggi. Berawal dari banyaknya bacaan yang dibaca, dia terinspirasi untuk meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita. Kemudian muncullah gagasan untuk mendirikan Sekolah Gadis. Ia tak akan tau perbedaan kehidupan kaum wanita di Indonesia dan luar negeri bila mana dia tak membaca.

Saat ini sudah hak dan kebebasan untuk belajar sudah tinggi. Namun sekarang yang terjadi adalah banjir data. Begitu banyak informasi yang tersebar dengan begitu mudah. Perlu pengetahuan untuk menganalisis mana informasi yang benar dan mana yang salah. Orang yang ilmunya dangkal akan mudah terpropaganda oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Pendalaman ilmu agama dan pengetahuan secara komprehensif sangat diperlukan.

Fungsinya untuk membentengi dari hegemoni yang kasat mata. Bila tidak, seseorang akan tak akan menyadarari bahwa dirinya dikendalikan oleh pihak-pihak lain. Filter informasi dan pendalaman keilmuan sangat diperlukan untuk meningkatkan intelektualitas anak bangsa dan menjaga keutuhan bangsa. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan paling berpengaruh dalam proses pembentukan karakter seseorang. Oleh karena itu kaum wanita diharuskan untuk mempunyai pendidikan yang tinggi.

Peka Lingkungan Sosial

Setiap manusia mempunyai dua pilihan dalam kehidupannya, yakni berdiam diri atau bergerak. Pilihan pertama bisa diartikan menerima apa adanya semua hal yang terjadi dan tak berusaha merubahnya. Sedangkan pilihan kedua, orang yang selalu ingin berubah ke arah lebih baik. Penerimaan atas hal yang terjadi tidak akan pernah memberikan perubahan dalam kehidupan. Semua kejadian akan dilihat dengan mata positif. Padahal, seharusnya fenomena sosial harus dilihat secara objektif.

R.A Kartini termasuk orang yang mempunyai rasa semangat yang begitu tinggi dalam meningkatkan lingkungan sosial yang ada. Pada zamannya pendidikan kaum perempuan diperendah, dengan dalih bahwa perempuan hanya harus mengabdi kepada suami. Kartini memandang bahwa perempuan jangan sampai seperti tanah liat yang boleh dibentuk sesuka hati, hanya dipaksa menerima nasib.

Perempuan seharusnya mendapatkan kebebasan dalam menuntut ilmu agar bisa mempunyai pengetahuan dan derajat sama dengan laki-laki. Pada waktu itu pendidikan yang ada begitu menyedihkan, umumnya masyarakat mengalami buta huruf. Hal ini tak lepas dari pengaruh penekanan Belanda terhadap penduduk pribumi. Lebih dari itu, adat turut menjadikan kaum wanita lebih terbelakang lagi.

Adat yang ada di Indonesia mengandung unsur kebaikan ataupun unsur keburukan. Menjaga adat yang baik adalah suatu kewajiban bagi seluruh penduduk Indonesia. Bila tidak dijaga sendiri, siapa yang akan menjaganya? Bahkan lebih buruk bila adat atau warisan leluhur Indonesia diakui oleh negara lain.

Sedangkan adat yang kurang baik, harus direvisi ataupun diamandemen agar menjadi sesuatu lebih bernilai. Seperti halnya R.A Kartini yang tidak puas dengan pernyataan bahwa perempuan tak layak untuk mendapatkan pendidikan. Kartini berkaca dengan kehidupan wanita barat yang memiliki kebebasan dalam memperoleh pendidikan. Sebenarnya keluarga Kartini merupakan keluarga bangsawan yang begitu ketat dalam melaksanakan adat. Bila tidak mempunyai semangat yang tinggi, Kartini tak akan pernah bisa mendirikan “Sekolah Gadis”.

Tidak semua hal yang ada di barat itu perlu diambil, begitu pula dengan Islam. Perlu pemilahan antara mana yang bisa diambil dan diamalkan. Seperti kata Gus Dur, “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk aku jadi ana, sampeyan jadi antum, sedelur jadi akhi. Kita pertahankan milik kita, kita harus filtrasi budayanya, tapi bukan ajarannya”.

Parahnya saat ini, banyak pemuda-pemudi yang menelan budaya luar tanpa difilter, mulai dari fashion, pergaulan hingga gaya hidup. Nilai budaya masing-masing daerah menjadi luntur dan semakin hilang. Awalnya mereka menginginkan untuk menjadi modern, namun malah terjerumus ke dalam western. Hal ini disebabkan oleh ketidaksiapan mereka dalam menerima hal-hal baru. Oleh karena itu peran keluarga, terutama sang ibu sangat penting dalam pengontrolan remaja. Rata-rata anak kecil lebih dekat dan nyaman bersama ibunya, karena waktu kebersamaanya lebih lama. Bila sejak kecil dididik dengan baik maka kenakalan remaja bisa diminimalisir.

Proses Maksimal adalah Segalanya

Segala sesuatu yang ada dalam kehidupan manusia membutuhkan proses. Entah proses yang cepat ataupun panjang. Keberuntungan bukanlah suatu kepastian, maka dari itu tak patut dinantikan. Kesuksesaan didasari oleh 99% usaha dan 1% keberuntungan. Seringkali orang melihat kesuksesan orang lain dengan apa yang sepintas terlihat ketika sudah sukses. Tak banyak orang yang mengetahui rasa sakit yang dialami seseorang ketika jatuh.

Begitu disayangkan bilamana di zaman sekarang kebebasan untuk mendapatkan pendidikan sudah tercipta namun para pelajar masih bermalas-malasan, mencontek dan hobi plagiat. Target yang ingin dicapai hanyalah nilai yang tinggi. Kejujuran ditempatkan pada nomor paling belakang. Kuliahnya lulus berdasarkan uang, malah terkadang membeli ijazah dianggap pantas. Akhirnya saat terjun ke masyarakat, segala cara untuk memupuk  keuangan pribadi dianggap halal. Hak-hak orang lain diambil tanpa tau diri. Menjatuhkan siapapun yang menjadi oposisi, kemenangan diri-sendiri selalu jadi kunci dan maslahat dianggap tak ada arti. Begitu menyedihkannya pemuda-pemudi negeri ini.

Dahulu kala, R. A Kartini dalam memperjuangkan pendidikan kaum wanita mengalami jalan yang tak mudah. Dia berjuang dengan tekat yang begitu tinggi untuk mendidirkan Sekolah Gadis. Namun belum genap satu tahun, dia dinikahkan dengan Raden Adipati Joyohadiningrat pada tanggal 8 November 1903. Akhirnya dia harus meninggalkan sekolah yang dirintisnya di  Jepara menuju ke kota Rembang.

Pernikahan ini tak mematahkan semangat Kartini untuk tetap membangun peradaban kaum wanita. Dia membuka Sekolah Gadis lagi tahun 1904 di daerah Rembang. Rencana ini berjalan baik karena didorong dan didukung oleh suaminya, selaku Bupati Rembang. Sayangnya lagi, sebelum Kartini melihat kesuksesan anak didiknya, dia pulang ke Rahmatullah pada 17 September 1904 saat berumur 25 tahun. Kesuksesan tak harus terjadi di masa saat ini juga. Proses maksimallah yang berarti dalam suatu kesuksesan.


*Alumni Unhasy dan Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.