Isra Mi’raj di Ma’had Aly Hasyim Asy’ari dikemas dengan kegiatan bedah kitab ad-Dardir ‘ala qishshati al-Mi’raj dan sejumlah perlombaan, Rabu (25/04/18). (Foto: Sutan)

Tebuireng.online- Pelaksanaan Isra Mi’raj di Ma’had Aly Hasyim Asy’ari dikemas dengan kegiatan bedah kitab ad-Dardir ‘ala qishshati al-Mi’raj dan sejumlah perlombaan. Aula tengah gedung Ma’had Aly menjadi sentral acara tersebut berlangsung, Rabu (25/04/18). Agenda yang merupakan salah satu progam dari Badan Eksekutif Mahasantri (BEM) Mahad Aly ini adalah untuk mengasah bakat para mahasantri lewat perlombaan, juga mempererat tali silaturahmi antar semua jajaran civitas Ma’had Aly.

Dalam bedah kitab ad-Dardir ‘ala qishshati al-Mi’raj, H.A. Roziqi menjadi narasumber pertama, sedangkan KH. A. Musta’in Syafi’i menjadi narasumber kedua. Sekitar pukul 14.00 WIB acara bedah kitab dimulai.

“Kami akan membagi bedah kitab ini dalam dua bahasan, pertama identitas kitab, kedua isi kitab. Kitab yang panitia berikan kepada kami adalah syarh bainama qishshatu al-Mi’raj, sedangkan di halaman selanjutnya ada ucapan hasyiyatu al-Imam. Dalam cetakan lain, kitab ini juga disebut dengan Hasyiyah ad-Dardir.  Ada serasa ganjal, karena ada istilah Syarah dan istilah Hasyiyah,ungkap H.A. Roziqi.

Beliau juga memberi paparan, dalam tradisi turats ada yang bernama matan, syarh, dan hasyiyah. Hasyiyah kalau dilihat dalam keterangan al-Mausu’ah al-‘Arabiyah al-Muyassarah,  sejenis ensiklopedia Arab; secara bahasa adalah catatan pinggir atau biasa dikenal dengan hawamisy. Kemudian perkembangan istilah itu menujukkan bahwasanya hasyiyah itu adalah as-Syarhu ‘ala al-syarhi.

Kemudian yang benar mana, lanjut H.A Roziqi lantas kita ambil jalan tengah. Keterangan dalam hasyiyah ‘ala dibajah ad-Dur an-Naji ada ungkapan ‘terkadang dalam tradisi turats meski minoritas, matan itu di-hasyiyah-i. Ini seperti dalam kitab jauharu at-Tauhid milik Imam al-Laqani, dalam syarh-nya oleh Imam al-Bajuri dibahasakan hasyiyatu at-Tufhatu al-Murid hasyiyah ‘ala jauhari at-Tauhid. Jadi ternyata tidak saklek, pembahasaan syarh itu harus setelah matan kemudian setelah syarh adalah hasyiyah. Karena dijumpai pendapat minoritas di atas, li al-matni hasyiyatu wa li as-Syarhi syarhun.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Jadi kalau anda menemukan di kitab anda disebut hasyiyah dan kitab saya syarah, itu biasa saja tidak masalah. Mungkin dikarenakan yang satu ikut madzab jumhur dan yang satu ikut minoritas dalam penulisan,” imbuhnya.

“Menarik, kitab ini terkait dengan spesifikasi Ma’had Aly (jurusan hadis), ini akan menjadi skripsi tersendiri minimal dua skripsi, kalau mau. Pertama, dari kitab ini coba di-break down, ada berapa hadis untuk cerita di kitab ini. Ini kan cerita diambilkan dari beberapa hadis kemudian riwayatnya bil ma’na. Tidak mungkin ini diambil dari satu hadis utuh, jelas ada beberapa riwayat. Kedua, setelah di-break down itu pasti bisa dilacak kualitas hadisnya dan perawinya”, ucap Kiai Musta’in diawal bahasan.

Kiai Musta’in bercerita kepada mahasantri bahwa dulu di pascasarjana IAIN Jogja, ada penelitian tentang hadis-hadis yang dipakai dasar oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah. Diteliti hadisnya, dan 80% dho’if.

Beliau juga menyampaikan bahwa kitab ini menjadi penting karena menyangkut pribadi shohibu syari’ah, Hadratu Rasul. Jangan sampai ini jatuh pada kepalsuan. Kalau jatuh pada kepalsuan, resikonya besar karena nanti penceramah-penceramah isra mi’raj akan menjadi kaddzab. Meskipun al-Karmani dan beberapa orang membolehkan periwayatan hadis maudu’ untuk fadha’il  dan mengajak umat untuk beribadah. Apakah ada pembelaan bagi orang yang memalsukan hadis, jawab dia (al-Karmani), yang diancam neraka kalau memalsukan hadis itu dengan melakukan kebohongan yang menyesatkan. Tapi kalau kebohongan itu menjadi maslahah kan tidak masalah. Tapi dia tetap dihukum mati.

Bedah kitab ini juga ada kaitan dengan kenapa dulu itu Hadratusysyaikh membolehkan membaca kitab Durratun Nashihin di Pondok Tebuireng, yang disinyalir banyak al-Maudhu’ahnya. Beliau memberikan catatan, silahkan membaca kitab Durratun Nashihin di Tebuireng dengan syarat pembacanya harus menjelaskan status hadis. Hadis ini shahih, ini tidak, si pembaca harus tahu.

“Untuk perkara cerita dalam kitab ini, wallahu a’lam. Sangat mungkin di dalam cerita ini banyak israiliyyat. Ada kecurigaan kami, karena pembacaan kami adalah pembacaan teks Al Quran. Kenapa satu rangkaian peristiwa tapi Al Quran mendeskripsikan dalam surah yang berbeda dan jauh. Peristiwa isra perjalanan darat ke Masjidil Aqsa, andai ditempuh dengan kecepatan cahaya itu cuma 0,05 detik. Hanya peristiwa isra’ saja yang dipertegas dengan bahasa yang jelas di dalam al-Quran. Sedangkan mi’raj, yang lebih hebat, memiliki filosofis ajaran dan lain-lain, itu tidak diceritakan dalam Al Quran. Justru hanya disinggung dalam surah an-Najm, sedikit, wa laqad ra ahu nazlatan ukhra ‘inda sidratil muntaha. Hadratu Rasul melihat Jibril di sesi yang lain, di Sidratul Muntaha. Menurut teori di Jurumiyah, lafad ‘inda itu bisa men-taqdir-kan ka inun atau istaqarra. Jadi ‘Nabi Muhammad melihat Jibril di Sidratil Muntaha’, logikanya Nabi Muhammad ke Sidratil Muntaha, Jibril juga di Sidratil Muntaha,” terang pakar Tafsir Tebuireng ini.

Diakhir kata beliau memberi nasihat, “saya yakin kita ini dalam teosentris itu sudah mapan. Tapi bagaimana, menterjemah ad-Dardir ini menjadi antroposentris. Menjadi kerja kemanusiaan, kita mendesain itu menjadi amal nyata yang bisa disaksikan. Jadi ini kira-kira adalah pekerjaan bagi dunia akademik, kitab ini akan bisa melahirkan skripsi-skripsi yang lumayan rumit, dan kitab ini juga akan mengarah bukan saja pada ilustrasi teologis tapi juga pada teknik dan akademik,” pungkas beliau di penutup bahasan.

Acara dilanjutkan dengan sesi pertanyaan, dan ditutup doa oleh Kiai Musta’in Syafi’i. Sebagai pemungkas dari rangkaian acara dari pagi sampai sore adalah atraksi dari pencak silat Nurul Huda (NH) di halaman depan kampus Ma’had Aly dan disaksikan oleh khalayak mahasantri.


Pewarta: M. Sutan

Editor/Publisher: Rara