sumber gambar: https://www.kompasiana.com

Oleh: Yayan Mustofa*

Yang membedakan manusia satu dengan lainnya adalah isi kepala dan hati. Penampilan luar memang bisa membantu memberikan penilaian, tapi tidak selamanya sesuai dengan gambar utuh pribadi seseorang.

Lelaki yang berpeci, berkemungkinan besar bahwa ia seorang muslim. Perempuan yang berkerudung, muslimah. Berangkat ke masjid ketika mendengar adzan. Berziarah ke makam dengan mengenakan sarung atau atribut muslim lainnya. Meskipun ada yang bisa menirukan penampilan luar tersebut, tapi tidak dikatakan banyak.

Kasus orientalis masa penjajahan semacam Snough Hourgronje bisa menjadi contoh. Hal ini juga yang menjadi alasan Karl von Smith untuk tidak menuliskan pengalaman perjalanan masuk Islam. Dalam tulisan Asad Syihab, Smith khawatir akan tuduhan orientalis dan lebih memilih laku pembuktian fisik ketimbang tulisan atau pengakuan melalui atribut luar.

Begitulah kiranya langkah awal untuk memposisikan ilmu spiritual. Apa yang dikatakan sebagian orang tentang golden way, memang manis. Karena fungsinya mempersiapkan hati dan mental dalam menghadapi masalah, belum memecahkan permasalahan itu sendiri seutuhnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dengan hati lapang dan pikiran jernih, maka diharapkan melahirkan terobosan jitu melebihi dari sekedar menyelesaikan problematika yang dihadapi. Tentunya hal ini membutuhkan ilmu lain.

Penempatan ilmu sesuai dengan proporsinya akan mempengaruhi kebijaksanaan dalam mengambil keputusan dan bertindak. Seperti kasus santri yang sama-sama sudah berkeluarga pada 2017 akhir kemarin.

Sebut saja Ahmad baru diperbolehkan membawa pulang anaknya yang opname sebab kejang. Selang beberapa hari, Mahmud berkunjung menjenguk anak Ahmad ke rumahnya. Ia bercerita kalau beberapa bulan sebelumnya, anak si Mahmud juga terkena kejang tengah malam. Dikiranya, si anak diganggu jin. Ia bacakan amalan-amalannya sembari menggendong keluar masuk rumah. Akhirnya sembuh juga.

Dua hari kemudian, anaknya kejang lagi di siang hari. Akhirnya dibawa ke rumah sakit terdekat karena amalannya tidak bekerja seperti semula. Di sana pak dokter menjelaskan kalau anaknya dua hari yang lalu bukan diganggu jin, tapi kejang. Hal ini lumrah dialami balita. Kalaupun sembuh, itu karena angin malam yang dingin di luar rumah. Sebab penanganan pertama kejang memang diusap dengan kain basah hingga demamnya turun.

Mungkin juga demikian yang dialami oleh beberapa tokoh agama yang duduk di pemerintahan. Mereka terkena kasus korupsi bukan karena melakukan hal keji itu, tapi ilmu kepemerintahannya masih belum cukup dibanding lawan politik yang hasud. Kejujuran dan keilmuan agama saja belum cukup untuk menyelesaikan problematika. Ia masih membutuhkan ilmu lainnya.

Golden way para tokoh agama sudah membangun mental dan pikiran untuk berani maju dalam gelanggang perpolitikan dan pemerintahan karena merasa prihatin dengan informasi yang kurang baik. Pertanyaan selanjutnya, sudah cukup atau belum ilmu yang membekali keberanian mental? Kalau tidak, maka kembali muncul ungkapan, golden way memang manis, tokoh agama lakunya sama saja, dan semisalnya. “Al-Amal bila ilmin la yakun”, tindakan tanpa ilmu, tidak tepat sasaran, kata Imam Al-Ghazi.

Pun sebaliknya, tanpa pengetahuan dan laku spiritual, faqad tafassaqa, tersesat. Hilang arah dan tak terkendali yang berpotensi pada laku brutal, anarkis, zalim, lalim, dan serentetan lainnya.


*Tim Pustaka Tebuireng.