
Dalam proses membesarkan anak, orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter, kepribadian, dan masa depan anak. Mengasuh anak bukan hanya tentang memberi makan, menyekolahkan, atau memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga bagaimana membimbing anak agar tumbuh menjadi pribadi yang memiliki karakter baik, bertanggung jawab, serta disiplin. Cara orang tua mendidik akan sangat memengaruhi bagaimana tumbuh kembang seorang anak, dampaknya pun beragam, ada yang adapat menumbuhkan karakter baik atau sebaliknya. Salah satu cara mendidik yang masih sering dijumpai di banyak keluarga adalah pola didikan keras, yang dalam ilmu psikologi disebut sebagai pola asuh otoriter.
Baca Juga: Marak Kasus Kekerasan Anak, Pola Asuh Orangtua Dipertanyakan
Mengutip dari jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, bahwa pola asuh otoriter adalah metode pengasuhan di mana orang tua menetapkan aturan dan batasan secara sepihak, yang harus dipatuhi anak tanpa ruang untuk berdiskusi atau mempertimbangkan kondisi serta kebutuhan anak. Pola didikan keras seperti ini sering kali ditandai dengan kontrol yang tinggi dari orang tua, aturan yang ketat, dan ekspektasi yang sangat besar terhadap anak, sering kali tanpa diimbangi dengan kehangatan emosional, dialog yang sehat, atau ruang bagi anak untuk mengekspresikan diri.
Bagi sebagian orang tua terkadang cara ini dikira sebagai bentuk tanggung jawab dan sayaang pada anak. Orang tau seperti ini terkadang berpikir bahwa hanya dengan ketegasan dan disiplin yang kuat, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang sukses. Kekhawatiran bahwa anak akan menjadi gagal, tidak dapat mencapai cita-cita yang tinggi atau kehilangan arah jika terlalu diberi keleluasaan. Namun, tidak jarang cara ini membuat anak hidup tertekan, psikologis terganggu, memiliki rasa takut berlebih dalam melangkah, dan hubungan yang renggang dengan orang tuanya sendiri.
Seiring berkembangnya kajian psikologi, parenting atau cara didik seperti ini sering kali dibahas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pola asuh otoriter, terutama yang kurang kasih sayang dan terlalu menekan anak, dapat berdampak buruk bagi perkembangan anak, baik dalam waktu dekat maupun jangka panjang. Dari penelitian yang dilakukan oleh seorang psikolog asal Amerika bernama Diana Baumrind (1966) yang ditulis pada website Binus University, Diana membagi gaya pengasuhan menjadi tiga jenis utama: otoriter, permisif, dan otoritatif. Pola otoriter, yang sering dikenal sebagai pola didikan keras, menurut penelitiannya bisa membuat anak lebih mudah merasa cemas, tidak percaya diri, dan cenderung bersikap agresif atau mudah marah.
Temuan ini kemudian diperkuat oleh Maccoby & Martin (1983) di website Tempo.co, yang menyatakan bahwa anak yang tumbuh dalam pola didikan otoriter biasanya kesulitan mengontrol emosinya, sulit bergaul dengan orang lain, dan lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental. Dari penelitian tersebut menunjjukan bahwa mendidik anak dnegan pola asuh ototiter tidak selamanya bagus, namun memiliki dampak besar pada karakter anak yang sulit untuk dirubah, bahkan bisa saja tidak dapat dirubah. Sebab permasalah pada psikis anak akan menjadi boomerang diakhir ketika anak tidak sanggup lagi mengikuti aturan yang dibuat oleh orang tua. Bisa saja anak akan menjadi pembangkang ataupun memiliki sifat keras kepala.
Baca Juga: Pengasuhan Orang Tua dalam Membentuk Karakter Anak
Dunia hari ini semestinya tidak hanya menuntut anak untuk cerdas secara akademik, tetapi juga tentang mengelola emosi, dan kesehatan mental seorang anak. Meskipun tidak ajarang pola asuh otoriter ini mampu membentuk pribadi anak unggul akademik, namun tidak jarang dampak dari gagalnya pola asuh ini lebih fatal. Disiplin tetap penting, tetapi perlu dikemas dalam bentuk yang lebih sehat, yakni melalui komunikasi dua arah. Gaya pengasuhan otoriter yang menggabungkan ketegasan dengan kasih sayang dan komunikasi 2 arah terbukti lebih efektif dalam membentuk karakter anak yang mandiri, percaya diri, berani jujur dan memiliki semangat belajar.
Anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa yang siap menerima setiap perintah tanpa didengar suaranya. Anak-anak adalah individu yang masih dalam tahap belajar dan berkembang, sehingga pendekatan yang paling tepat adalah menjadi pendamping yang mendukung, bukan pengendali yang menakutkan, atau pelampiasan dari apa yang orang tua citakan namun tidak tercapai. Sebab anak yang tumbuh di lingkungan penuh kasih sayang dan penuh apresiasi, mereka akan lebih mudah mengenali dirinya sendiri, membentuk jati diri yang kuat, berani memilih, dan mampu menghadapi dunia dengan optimis. Bukankah begitu?
Baca Juga: Kenali Ciri-ciri Toxic Parenting
Mari temani tumbuh kembang anak dengan cara mendengar dan mendukung setiap langkahnya, serta tetap memberikan ketegasan untuk mendidik jiwa kedisplinan anak. Sebab mendidik anak dengan cinta, kasih sayang, membuka dialog 2 arah dibarengi dengan didikan disiplin yang dapat melahirkan generasi yang tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga dewasa secara emosional dan sosial.
Penulis: Ilvi Mariana
Editor: Rara Zarary