Dr. Ahmad ZahroKeinginan menunda punya anak kerena tujuan tertentu dapat dikategorikan sebagai bagian dari jenis keluarga berencana yang hukumnya terkait dengan cara dan tujuannya. secara umum, para ulama sependapat bahwa hukum keluarga berencana itu tidak dilarang sepanjang cara dan tujuannya adalah pengaturan kehamilan (tandhiim an-nasl) dan bukan pembatasan keturunan (tachdiid an-nasl). hal ini didasarkan pada makna firman Allah Swr. dalam surah an-Nisa’  ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan dibelakan mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka..” juga hadis shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya): “Sungguh lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu delam keadaan berkecukupan daripada meningglakan mereka menjadi beban tanggungan orang banyak” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Sedang masalah keluarga berencana adalah masalah mu’amalah sosial (interaksi kemasyrakatan) dan bukan masalah masalah ibadah ritual.  Hal-hal yang berkautan dengan mu’amalah sosial berada di bawah payung kaidah fiqhiyyahyang amat populer, yaitu : al-ashlu fil asy-yaa’ al ibaachah, chattaa yadullu ‘alattahriim (pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya boleh kalau tidak ada dalil yang melarangnya). Sebaliknya hal-hal yang terkait ibadah ritual, maka payung kaidahnya adalah: al-ashlu fil ‘ibadaat al-buthlan, chatta yadullad dalilu ‘alal amri (pada dasarnya segala bentuk peribadatan itu dilarang kalau tidak ada dalil yang memerintahkannya).

Kemudian asas istinbath (penggalian dan penetapan) hukum yang terkaut hal-hal mu’amalah sosial itu adalah maslahah (kemashlahatan/ kebaikan) bagi kehidupan manusia. jadi asal dalam pertimbangan nalar normal hal tersebut mengandung mashlahah maka dapat ditetapkan hukumnya, minimal mubach (boleh). dari starting point boleh ini hukum dapat bergerak ke atas menjadi mustachaab (kebaikan yang tidak ada rujukan dalil tekstualnya), sunnah (kebaikan yang ada rujukan haditsnya) atau bahkan wajib, atau sebaliknya bergerak turun menjadi makruh (tidak disuakai) atau haram.

Terkait dengan hukum menunda punya anak (baik dengan cara minum pil anti hamil atau menyiasati persetubuhan) demi karir pasangan suami istri yang belum punya anak, maka hukum asalnya menurut saya adalah makruh (tidak disukai). Hal ini didasarkan pada alasan berikut:

Hadis yang diriwayatkan dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Nikahilah wanita yang kalian cintai dan punya keturunan (tidak mandul), karena saya di hari kiamat nanti akan banggakan jumlah kalian yang banyak” (HR Ahmad yang diakui sebagai hadis shahih oleh Ibnu Hibban). Dari hadis ini dapat difahami bahwa Nabi SAW menganjurkan umatnya untuk punya anak, kalau bisa dan mampu malah yang banyak.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Anak adalah pengikat erat bagi keutuhan rumah tangga dan keharmonisan hubungan suami istri. betapa banyak padangan suami istri yang gelisah karena lama tidak punya momongan (anak) dan tidak sedikit pula yang rumah tangganya goyah kerena tidak segera punya anak/keturunan.

Dengan  menunda punya anak berarti “Membuang” kesempatan emas kemungkinan untuk bisa punya anak. perlu diketahui bahwa hubungan suami istri bagi pengantin baru, secara psikologis bahkan juga biologis, adalah lebih “mujarab” untuk bisa terjadinya pembuahan bagi “jadinya” janin. Apalagi tak seorangpun tahu apa yang akan terjadi terhadap salah-satu pasangan selama masa penundaan tersebut, sehingga menyebabkan terjadinya ketaksuburan/kemandulan.

Jadi bagi pasangan pengantin baru sebaiknya segera punya anak saja, baru kemudian diatur bagi kehadiran anak berikutnya. Tetapi jika alasannya demi karir dan secara realistis karir itu memang tidak memungkinkan yang bersangkutan hamil, maka walaupun hukumnya tetap makruh tapi dapat dimaklumi dan juga tidak berdosa.

Wallahu a’lam