hewan babi

Lumrah diketahui bahwa babi merupakan salah satu hewan yang dagingnya haram untuk dikonsumsi. Keharaman tersebut berlandasan firman Allah dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 173:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ 

Artinya: “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi”.

Ayat di atas memunculkan konsensus para ulama mengenai keharaman mengkonsumsi daging babi. Akan tetapi, mereka sendiri masih berbeda pendapat seputar cara pemanfaatan yang lain, selain mengonsumsi.

Dalam pembahasan kali ini, para ulama mengklasifikasi menjadi lima pembahasan sesuai dengan bagian-bagian dari tubuh babi. Daging, lemak, bulu, kulit, dan bagian-bagian tubuh yang lain, seperti tulang dan darahnya. Namun, yang menjadi fokus pada catatan kali ini adalah bulu babi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di zaman sekarang, terdapat barang-barang yang terbuat dari bulu babi. Misalnya, kuas cat, kasur, kursi, dan kuas rias wajah. Kiranya kualitas bulu babi yang lebih lembut dan halus dibanding bulu-bulu hewan lain, menjadi alasan di balik pemanfaatan bulu babi tersebut. Dari sini, yang perlu kita pertanyakan ialah bagaimana hukum memanfaatkan bulu babi?

Perbedaan Ulama Mengenai Pemanfaatan Bulu Babi

Dalam hal ini, terdapat tiga pendapat; boleh mutlak, boleh ketika ada kebutuhan, dan tidak boleh mutlak.

Pendapat pertama muncul dari Mazhab Maliki, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, dan pendapat Imam Abu Hamid Al-Marudzi (mazhab Syafi’i). Pendapat pertama ini diunggulkan oleh Imam Ibnu Taimiyah.

Mereka berpendapat bahwa hukum memanfaatakan bulu babi itu boleh secara mutlak. Namun, mazhab Maliki sendiri masih membatasi hukum kebolehan tersebut ketika pangkal bulu sudah dipotong.

Alasan mereka, bulu merupakan bagian tubuh yang mati. Dalam arti, tidak memiliki indera perasa, sehingga hukumnya tidak bisa disamakan dengan bagian tubuh lain. Dengan demikian, hukum kenajisan babi tidak mencakup bulunya, sehingga boleh dimanfaatkan.

Namun, pendapat ini dibantah dengan tafsiran al-Qur’an berikut:

قُل لَّآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٖ يَطۡعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيۡتَةً أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا أَوۡ لَحۡمَ خِنزِيرٖ فَإِنَّهُۥ رِجۡسٌ [الأنعام: 145] 

Artinya: “ Katakanlah, tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia najis”.

Fokus pembahasannya adalah pernyataan, “ Fainnahu Rijs”. Ha Dhamir pada pernyataan ini kembali ke “ Khinzir”. Sedangkan maksud kata “Khinzir” pada ayat di atas adalah semua bagian tubuh babi.

Dari sini, bisa dipahami bahwa semua bagian tubuh babi itu najis. Ketika dihukumi najis, maka hukum memanfaatkannya haram.

Ditambah bahwa arti dari “hidup” bukanlah sesuatu yang memiliki indera perasa dan bisa merasakan. Namun, normalnya tabiat dan fisik, serta belum rusak, busuk, atau terpisah. Seperti kehidupan pada hewan dan tumbuh. Hal ini bisa dilihat di di dalam al-Qur’an surah al-Rumm ayat 50:

فَٱنظُرۡ إِلَىٰٓ ءَاثَٰرِ رَحۡمَتِ ٱللَّهِ كَيۡفَ يُحۡيِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَآۚ

Artinya: Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi setelah mati (kering)”.

Hadist Nabi Muhammad:

مَنْ أَحْيَا أرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ

Artinya: “Barang siapa menghidupkan tanah maka dia memilikinya”.

Ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa benda mati bisa distatusi dengan kata “hidup”, dengan arti seperti di atas.

Pendapat kedua adalah pendapat yang dikeluarkan oleh Mazhab Hanafi, Auza’i, dan Syafi’i. Mereka mengatakan bahwa hukum memanfaatkan bulu babi adalah haram karena najis. Namun, ketika butuh, terlebih sangat membutuhkan dan tidak ada hal lain yang bisa menggantikan posisinya, maka boleh. Mereka berlandasan pada salah satu Kaidah Fikih,

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات

Artinya: “Keadaan yang dhorurot (terpaksa) dapat membolehkan sesuatu yang haram”

Sehingga, yang awalnya hukum memanfaatkan bulu babi adalah haram, menjadi boleh karena keadaan terpaksa.

Pendapat ketiga adalah pendapat yang diambil dari salah satu ucapan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Mereka mengatakan, hukum memanfaatkan bulu babi adalah haram secara mutlak.

Mereka beralasan bahwa hadis yang menjelaskan keharaman memanfaatkan tubuh babi bersifat umum. Dalam arti, tidak terbatas pada salah satu bagiannya. Sehingga, mencakup semua bagian dari tubuhnya dan tidak hanya terbatas pada dagingnya saja. Hadis tersebut berbunyi:

إِنَّ ‌اللهَ ‌حَرَّمَ ‌الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا، وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا، وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan khamer dan harganya, bangkai dan harganya, babi dan harganya”.

Hadis di atas sekaligus menunjukkan bahwa hukum jual beli bulu babi adalah haram, karena jual beli merupakan salah satu bentuk pemanfaatan. Namun pendapat ini menjadi lemah ketika terdapat suatu hajat atau dharurat yang menuntut adanya pemanfaatan bulu babi. Hal ini bertentangan dengan kaidah fikih yang digunakan pendapat kedua. Kita tahu, hajat dan dharurat merupakan hal yang dipertimbangkan syariat.

Ketiga pendapat di atas sama-sama boleh untuk diikuti, bahkan pendapat yang membolehkan secara mutlak. Karena landasan ketiga pendapat di atas sama-sama kuat, sehingga masih ada kemungkinan benar. Namun, untuk berhati-hati lebih baik mengikuti pendapat yang melarangnya secara mutlak, tentunya dengan mempertimbangkan hajat yang ada.


Ditulis oleh Dicky Feryansyah, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang