Secara bahasa “azan” berarti pemberitahuan. Sedang secara istilah ulama fikih “azan” berarti ucapan tertentu yang dengannya diketahui waktu shalat.
Pansyariatan azan secara dasar bisa dilihat melalui beberapa dalil. Misalnya, surah al-Maidah ayat 57 dan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Sedang definisi “iqamah,” secara bahasa sama dengan azan, yakni pemberitahuan. Sedang secara istilah, berarti beberapa lafad tertentu yang diucapkan dalam rangka memperingatkan para jamaah bahwasanya shalat hendak dilaksanakan.
Menurut satu keterangan dari Imam Suyuthi, salah satu pengarang kitab Tafsir al-Jalalaini, bahwasanya azan dan ikamah termasuk salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh umat Nabi. Dalam arti, sebelum kedatangan Nabi Muhammad, umat-umat sebelumnya belum mengenal praktik azan dan ikamah.
Berbicara mengenai status azan dan ikamah, di dalam kitab Minhaj al-Thalibin, Imam an-Nawawi menuturkan:
الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ سُنَّةٌ وَقِيْلَ فَرْضُ كِفَايَةٍ
“Azan dan Ikamah itu sunah dikerjakan. Pendapat lain, statusnya wajib kolektif.”
Melalui penuturan tersebut, Imam an-Nawawi hendak menegaskan bahwa status azan dan ikamah itu berbeda. Satu pendapat mengatakan “dianjurkan,” pendapat lain mengatakan, “wajib kolektif.”
Untuk pendapat pertama, mempertimbangkan tidak adanya perintah secara tegas dari Nabi mengenai keharusan azan dan ikamah.
Sedang pendapat kedua, menimbang status keduanya adalah bentuk syiar dari agama Islam yang memang seharusnya diadakan. Sehingga, semisal dalam satu kampung sepakat untuk meniadakan pelaksanaan azan dan ikamah, jelas mereka berdosa. Jadi, perbedaan pendapat di atas terjadi sebab sudut pandang berbeda. Hal ini normal, dan memang begitu adanya.
Selanjutnya, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa:
وَإِنَّمَا يُشْرَعَانِ لِلْمَكْتُوبَةِ
“Azan dan ikamah hanya dilaksanakan setiap kali hendak shalat wajib.”
Dari sini, ketika suatu golongan hendak melaksanakan shalat sunah berjamaah misalnya, maka bagi mereka tidak dianjurkan untuk azan dan ikamah. Tidak lupa, Imam an-Nawawi juga menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan azan dan ikamah. Ada banyak tema-tema dan poin-poin pembahasan yang beliau tawarkan.
Hukum Azan dan Ikamah saat Hadas
Dalam kesempatan kali ini, kita akan membahas seputar azan dan ikamah dalam keadaan berhadas. Ada beberapa pertanyaan yang mungkin bisa tawarkan. Misalnya, apakah status azan dan ikamah batal ketika dilaksanakan dalam keadaan berhadas? Bagaimana sebenarnya hukum yang berlaku?
Dalam hal ini, Imam an-Nawawi menuturkan:
وَيُكْرَهُ لِلْمُحْدِثِ وَلِلْجُنُبِ أَشَدُّ
“Bagi orang yang berhadas kecil, makruh hukumnya azan. Sedang bagi yang berhadas besar (junub), maka hukum kemakruhannya lebih besar.”
Jadi, gampangnya, orang yang habis kencing misalnya, lalu azan tanpa berwudu terlebih dahulu, maka makruh baginya untuk azan. Namun, kemakruhan pada kondisi ini hanya “biasa saja.” Sekedar makruh biasa.
Berbeda halnya ketika ada orang habis keluar mani misalnya, belum mandi langsung azan, maka makruh juga baginya untuk azan. Dalam hal ini, jelas kemakruhan yang ia dapat lebih besar daripada kondisi hadas kecil. Kenapa lebih besar status kemakruhannya?
Imam Turmusi di dalam kitab al-Manhal al-‘Amim menerangkan alasan atas pertanyaan di atas. Pertama, kondisi junub itu lebih besar dibanding kondisi hadas kecil misal kencing.
Kedua, perangkat yang dibutuhkan oleh orang junub untuk bisa melaksanakan shalat itu lebih besar daripada perangkat yang dibutuhkan orang berhadas kecil ketika hendak melaksanakan shalat. Selanjutnya, Imam an-Nawawi berkata:
وَالإِقَامَةُ أَغْلَطُ
“Sedang di dalam konteks ikamah, maka orang yang berhadas kecil dan besar, hukum kemakruhannya lebih berat daripada di konteks azan.”
Dari sini mungkin tampak jelas. Konteks kemakruhan dalam kondisi hadas besar dan kecil, antara ikamah dan azan itu berbeda. Alasan sederhana yang bisa kita tawarkan adalah, masa antara ikamah dan salat itu sangat singkat.
Apabila dia junub misalnya, maka jamaah akan menunggu lama untuk dia bisa bersuci. Dan hal ini jelas menyusahkan mereka. Atau mungkin mereka tidak akan merasa disusahkan, namun jelasnya akan muncul prasangka-prasangka negatif.
Sebelum lebih lanjut, mungkin muncul satu pertanyaan. Kira-kira, ada konsep makruh ketika azan dan ikamah dalam keadaan hadas itu muncul dari mana? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menilik beberapa dalil sebagaimana di bawah ini:
لاَ يُؤَذِّنُ إِلَّا مُتَوَضِّئُ
“Tidak diperkenankan azan, kecuali orang yang memiliki wudhu.” (H.R. Imam Turmudzi No. 200).
Ditambah satu dalil berikut:
كَرَهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ إِلَّا عَلَى طُهْرٍ
“Aku tidak suka zikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci.” (H.R. Imam Ibnu Dawud).
Namun, meski statusnya makruh, kita tahu bahwa azan dan ikamah yang dilaksanakan dalam keadaan berhadas, tetap sah. Kesimpulan ini bisa kita lihat melalui pernyataan Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm berikut:
وَيُكْرَهُ الأَذَانُ بِغَيْرِ وُضُوْءٍ وَيُجْزِئُ إِنْ فَعَلَ
“Azan itu makruh dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki wudhu. Namun, tetap saja dianggap sah ketika dia nekat melakukannya.”
Dari sini bisa kita simpulkan, sekaligus menjawab dua pertanyaan awal. Pelaksanaan azan dan ikamah dalam keadaan berhadas itu makruh. Namun, hukum kemakruhan ini tidak sampai berefek ke keabsahan keduanya. Semoga catatan sederhana ini bisa mendatangkan manfaat bagi kita semua. Sekian, terima kasih.
Ditulis oleh Moch Vicky Shahrul Hermawan, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang