Asmah Sjahruni dikenal sebagai sosok ‘wanita baja’ karena sifat tegas dan kerasnya, Asmah pernah menjabat sebagai Ketua Umum Muslimat NU pada tahun 1968/1973. Asmah Sjahruni merupakan putra dari pasangan Bahujar dan Imur yang lahir pada 28 Februari 1927. Asmah merupakan anak pertama dari sembilan bersaudara. Ia hidup di lingkungan Islam aliran Nahdatul Ulama, sejak belia Ia telah banyak menerima pendidikan agama dari sang Ayah, Bahujar. Baik dalam  membaca Al Quran maupun pendidikan agama fikih, dan tauhid.

Pada masa itu pendidikan umum masih sulit didapatkan, tingkat SR (Sekolah Rakyat) hanya ada di kecamatan dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tingkatan pertama bermula dari kelas satu sampai dengan kelas tiga, kemudian mendapatkan ijazah. Tingkatan kedua adalah kelas empat sampai dengan kelas lima, pada masanya sekolah dasar masih ditempuh dengan waktu lima tahun, dan hanya orang yang mampu, yang dapat mengikuti kegitan sekolah rakyat.

Asmah menikmati kegiatan sekolahnya, sehingga menjadikannya berpikir bahwa Ia harus mendapatkan pendidikan. Keinginan Asmah berbeda dengan prinsip yang dipegang keluarganya, dari kelurga sang Ayah tidak ada perempuan yang sekolah. Dari pertentangan tersebut menyebabkan Asmah diberhentikan sekolah oleh sang ayah selama dua tahun. Sehingga Asmah berhasil menyelesaikan pendidikan bersama 5 perempuan dari 25 orang rekan pelajarnya, dan kemudian Ia bersama bibinya yang pada saat itu sudah menjadi guru menyalurkan pengetahuan kepada perempuan yang tidak dapat mengeyam pendidikan sekolah. Asmah juga membentuk barisan pemuda dan pemudi untuk belajar yang pada saat itu masih difokuskan pada pidato, mengarang, seni sandiwara, dan kasidah.

Asmah menikah pada usia 16 tahun dan suaminya Sjahruni berusia 19 tahun, Sjahruni juga merupakan guru. Setelah menikah, Asmah masih melaksanakan kegiatan mengajar dengan izin sang suami. Akibat kekalahan Jepang menjadikan situasi yang tidak menentu, sampai dengan argensi Belanda kembali dan sedikit memberikan bantuan sehingga keadaan ekonomi lebih baik. Peran Asmah sebagai guru kemudian dipakai menjadi penghubung antara pasukan pedalaman dan pasukan kota, dan penghubung makanan untuk orang yang peduli dengan perjuangan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dampak perjuangan ini menjadikan status guru pegawai negrinya dicopot dengan tidak  hormat. Kemudian Asmah dan suaminya tetap bergelut menjadi pejuang sehingga pangkat suami Sjahruni diangkat menjadi letnan yang kemudian dipindahkan di Martapura dan Asmah mengambil kembali anaknya untuk tinggal di rumah dinas. Lalu muncul rasionalisai tentara, yang kemudian menjadikan alasan Sjahruni melepaskan ketentaraannya dan memilih kembali ke masyarakat dengan mendapatkan imbalan Rp 50 ribu, dan kemudian melewati beberapa proses kembali mengajar.

Asmah dipercaya menduduki posisi pemimpin di Muslimat NU Kalimantan Selatan  sejak tahun 1952. Pada tahun 1954 Muktamar NU di Surabaya, yang kemudian menjadikan Asmah memutuskan melepas posisi mengajarnya karena kiprahnya terhadap Muslimat NU yang sudah amat mendalam. Asmah menjadi amat dikenal oleh banyak kalangan muslimat baik dari Kalimatan selatan maupun luar Kalimantan selatan, Asmah dipilih menjadi anggota panitia  penyusun calon anggota konstitusi dan DPR untuk maju pemilu pada tahun 1955, sempat menjadi perbincangan karena perempuan  tampil di panggung politik. Yang  kemudian Ia terpilih menjadi wakil, Asmah pun menjadi sang pedium betina perwakilan dari  NU.

Pada tahun 1956 Asmah resmi menjadi anggota DPR sehingga berpindah tempat  tinggal di Jakarta, peristiwa G30S/PKI membuat situasi politik kacau sehingga terdapat sidang istimewa pada tanggal 7 sampai 11 Maret, Asmah mewakili Muslimat NU sebagai pembicara. Pada tahun 1979 Asmah terpilih menjadi ketua setelah melalui beberapa perdebatan.

Disela-sela kesibukannya di DPR dan Muslimat, Sjahruni, suami Asmah mendadak sakit dan meninggal pada hari Selasa bulan April 1981 tepat bersamaan dengan penutupan rengkarnas Muslimat. Jatuh bangun berjuang besama Muslimat NU, tibalah saatnya Ia berakhir dengan masa jabatannya di Muslimat NU pada tahun 1995 di Kongres Jakarta, meninggal tanggal 2 Juni 2014.


Sumber tulisan ini adalah Buku Membuka Ingatan (Memoar Tokoh NU yang Terlupakan), terbitan Pustaka Tebuireng.