Oleh: Nur Indah*

مَا اسْتَوْدَعَ فِيْ غَيْبِ الْسَرَائِرْ ظَهَرَ فِيْ شَهَادَةِ الْظَوَاهِرِ

“Apa yang tersimpan di kedalaman batin akan tampak pada penampilan lahir”

Dasar hikmah dari hadis di atas adalah “Ingatlah di dalam jasad terdapat segumpal darah, jika baik maka akan baik seluruh tubuhnya dan jika rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya dan ingatlah hal itu adalah hati”. Yang dimaksud hati di sini adalah perasaan yang ada diri manusia.

Maksud dari hadist tersebut adalah sebuah motivasi untuk menggiring kita bertindak serta berperan dalam menentukan jalan ikhtiarnya di setiap amal adalah perasaan yang ada dalam hati. Maka segala yang yang dilakukan oleh anggota tubuh, gerak dan diam manusia tiada lain adalah bagian dari hasil kerja yang diperintahkan oleh hati. Jika kondisi batin seseorang tersebut bersih dari hal-hal keburukan dan dipenuhi rasa takut kepada Allah maka tidak akan sulit baginya menggerakkan tubuhnya kepada hal-hal kebaikan pula. Namun apabila kondisi batinya kotor maka berpengaruh pulalah pada anggota lahiriyahnya dan akan didapati setiap amal dan aktivitas kegiatanya pun tidak baik.

Banyak kita temukan daripada golongan kedua tersebut berusaha menutupi keburukan dzahirnya dengan sebuah “kemunafikan”, yakni berusaha menutupi segala sifat kejelekanya dari pandangan orang lain, sehingga orang lain dapat berasumsi dan menilai bahwa dia adalah orang yang mempunyai sifat-sifat kebaikan saja. Hingga muncullah sebuah pertanyaan “apakah contoh orang di atas adalah orang yang aibnya sedang ditutupi oleh Allah SWT dan apakah hal tersebut bertentangan dengan hikmah di atas?. Maksud “batin” di sini adalah keadaan hati yang tersimpan, dan di dalamnya adalah ada niat, maksud, perasaan serta kesenangan. Dan semua ini yang akan berimbas pada kondisi lahiriyahnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Seorang pelaku maksiat tersembunyi tadi diliputi oleh sifat lembut dan rahmat Allah SWT, sehingga apa yang ia lakukan tidak tampak di mata manusia adalah hal lain. Bisa saja Allah menyebarkan kebaikan seseorang meski amalnya tidak seberapa, dan bisa saja Allah menutupi kejelekan seseorang sebanyak apapun dan dengan pengulangan tiada henti atas kejelekan yang dilakukanya.

Itu semua bagian dari kelembutan Allah. Untuk kejelekan dan kemaksiatan yang dilakukan bukan karena unsur sengaja, menentang serta sombong, tapi kemaksiatan yang merupakan akibat lemahnya diri melawan hawa nafsu, seringkali Allah menutupi dari pandangan orang lain. Allah SWT lebih suka menjadikanya rahasia antara Ia dan hamba-Nya. Dan Allah menanamkan di hati pelakunya optimisme mendapatkan pengampunan dan terbukanya jalan taubat sebelum ia mati.

Namun untuk prihal kemaksiatan yang dilakukan dengan sengaja, disertai perasaan menentang terhadap peraturan Allah SWT dan bahkan congkak serta bangga melakukannya atau memang kemaksiatan yang merupakan imbas dari buruknya kondisi hati, maka sudah barang tentu akan tercium aromanya oleh orang lain. Karena kemaksiatan itu adalah asap yang mengepul dari bara api jeleknya kondisi hati. Maka semakin besar kepul asapnya. Hal tersebut juga berlaku untuk kebaikan dan ketaatan seseorang.

Seseorang yang melakukan kebaikan namun tidak terkait dengan ranting keikhlasan maka sejatinya kebaikan dan perbuatanya itu tidak ada artinya. Ketaatanya itu tidak akan melahirkan Nur (cahaya), karena ibadah dan ketaatanya itu muncul dari hati yang terputus dari tujuan inti, yakni mengabadikan diri kepada Allah serta upaya gigih untuk meraih keridaanya. Kesimpulan dari diatas adalah kemaksiatan yang tidak dibarengi rasa congkak akan lebur didalam luasnya samudera ampunan Allah, begitu juga ketaatan yang terlepas dari ikatan ikhlas karena Allah dan upaya mencari ridanya juga lebur bersama bersama kuatnya pengawasan Allah SWT atas setiap hal samar didalam batin hamba-hambanya.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari