Impian Rin adalah menyaksikanmu. Entah kapan itu akan tergapai. Semenjak kau bercerita mengenai kehangatan, Ia semakin bermimpi. Karena harapan Rin, bukan mata miliknya saja yang merasakan. Melainkan juga sosok penting dalam kehidupannya. Semakin disinggung, gadis itu semakin merindukanmu.
Pernah, kau menanyakan suatu hal karena satu minggu berturut-turut kalian berjumpa.
Tepatnya, di bukit belakang rumah Rin saat petang.
“Mengapa matamu amat berbinar dikala menatapku?”
“Karena aku menggemarimu,”
“Aku hanyalah cahaya penutup hari-hari,”
“Ya, cahaya kehangatan dengan keindahan yang membuatku terpesona,” balasnya, masih menatapmu takjub.
“Penggantiku boleh lebih baik,” di sinilah cahayamu mulai pudar, dimakan cakrawala.
“Tetap kau yang terbaik,”
“Penggantiku berjasa karena telah menerangi malam dan memberi petunjuk untuk agamamu,” jelasmu mulai menegaskan.
“Hmm… tapi dia merenggutmu begitu saja. Keberadaannya tetap membuat petang yang temaram dan malam semakin kelam. Sama dengan dirinya,” Serunya teramat ketus.
Sampai pada percakapan itulah perjumpaan kalian. Kau membiarkan gadis itu terpuruk tanpamu di hari-hari berikutnya. Dan nyatanya, dialah yang meninggalkan. Seiring berjalannya waktu, Rin menjemput penggantimu.
Sesekali Rin melampiaskan kerinduannya pada rembulan. Hampir setiap malam Ia menatap rembulan lamat-lamat dengan penuh kesinisan. Pun berharap akan ada petang berharga sebagai kesempatan memenuhi secercah harapan. Sedihnya, harapan itu tak kunjung mengahmpiri Rin. Kau pergi begitu saja. Tanpa cuap-cuap atau pamit kepadanya. Janji untuk kembali juga sama sekali tidak disampaikan. Hanya beberapa harapan yang Rin dapatkan dari rembulan.
Sementara kesibukan sebagai Santri Pondok Pesantren SMA TRENSAINS Tebuireng terus mendesak. Pelajaran lokal berupa ilmu falak mengajarkan Rin terlebih dahulu agar gemar terhadap bulan. Herannya, keantusiasan hadir di kalangan kelas X ketika diumumkan observasi bulan di Pantai Kenjeran. Namun, berbeda dengan Rin, gadis pembenci rembulan itu hanya bisa mendengus kesal dari belakang.
‘Jika kita sudah tahu bahwa keberadaan bulan itu nyata, dan ilmu yang dipelajari ini berupa kebenaran yang pasti, untuk apa dilakukan observasi? Tiga tahun aku tak menyaksikan senja sesuai harapan. Dan sekarang, aku harus mengobservasi pengganti senja yang semena-mena. Megak sekali!’
Ia menulis di bus selama perjalanan, selepas kegiatan penelitian di ITS, agenda sebelum observasi bulan. Rin berharap supaya kau dapat membaca surat tersebut. Sungguh, remaja labil itu amat merindukanmu. Ia teringat cerita-ceritanya yang menyelip dikala senjanya. Kau terus bercerita mengenai cahaya, kehangatan, dan kenyamanan. Hanya angan belaka Rin dapat memandangmu. Karena jadwal padat dan tempat amat terbatas di pesantren membuatnya pupus harapan dengan keterbelengguan hasrat.
Tempat tujuan utama. Di sanalah seluruh santri SMA TRENSAINS berkumpul. Mereka dipastikan siap untuk observasi kali ini. Meski 1800 detik kemudian baru kemungkinan munculnya senja. Namun, percaya diri dan antusias memancar di wajah masing-masing peraih kesuksesan masa depan tersebut. Tak kecuali Rin. Mungkin Ia baru saja menerima balasan surat darimu. Wajahnya begitu sumringah terus memandang cakrawala. Jika Ia akan melihat menyembulnya bulan dari atas permukaan pantai, secara tidak langsung senja akan tampak sebelumnya.
Harapan Rin semakin memuncak. Di jembatan dekat pantai, para santri berhamburan. Memandang langit dan menantimu hanya dilakukan Rin seorang, meski kawan-kawan berada disekitarnya. Hingga penantian berupa cahaya jingga tipis berupa awal penawar rindu mulai mengahampiri. Perlahan, secercah senyuman tersemat di wajah gadis penanti ‘cahaya 1000 makna’ begitulah Rin memanggilmu.
Sampai pada waktu di mana kegeraman melanda Rin. Seluruh santri putri diungsikan di kelas SD Muhammadiyah sebelah pantai. Harapan remaja labil itu melebur bersama kegeraman. Di kelas pun jendela di buka selebar mungkin. Nyatanya, perjalanan menuju kelas, cakrawala tengah memakan senja harapan Rin. Dikunyahnya lamat-lamat tak memberi bagian untuk Rin. Sekitar 30 kepala menyembul keluar dari jendela lebar bujur sangkar 2m x 1m. langit tak lagi jingga kemerahan. Petang.
Kepala-kepala itu berebut memandang langit pengecualian bagi Rin. Di belakang punggung kawan, Ia menunggangi meja. Terdapat celah untuknya menatap langit. Di sanalah akan menyembul rembulan perenggutmu.
“Di mana penantian kita?” tanya salah satu kawan dengan ketidaksabaran saking antusiasnya.
“Belum. Mungkin lima menit kemudian. Bisa saja tertutup mendung,” jawab yang lain sebab telah menerima informasi dari pendamping utama yang berpengalaman. Bagaimana pun, wajah Rin tetap kusut. Dendamnya terhadap rembulan masih tertancap kuat. Detik arloji terus melangkah. Tepat pada jam 5 petang, menit ke 37.
“Sssst… lihatlah!” gadis itu menunjuk mantap dengan tatapan tegas kearah barat. Yang ditunjuk menyembul di atas permukaan pantai. Setengah lingkaran tipis perlahan semakin ke atas. Penampakannya semakin sempurna menjadi lingkaran. Warnannya pun perlahan semakin terang. Sama dengan embun di pelupuk mata Rin. Perlahan menyembul keluar. Tanpa dipaksa, semakin mendesak. Ritme mereka sama. Hanya dibedakan oleh arah. Rin merasakan sensasi cahaya rembulan begitu bermakna pada hari ini. Tak ada lagi kebencian pada rembulan. Sirna sudah kekecewaan ditinggalkan senja.
Subhanallah…
Cahaya itu semakin menakjubkan. Inilah yang Ia cari. Bukan hanya sekadar cahaya milikmu. Menyembulnya pengganti lebih memiliki kepastian. Kebersamaan menemukan dan menyaksikannya sungguh bermakna. Kau telah membalas seluruh impian Rin dengan sempurna.
“Bukan kesempatan yang aku harapkan.
Bukan harapan yang aku inginkan.
Keyakinan dan kepastian yang aku butuhkan.”
-Rin- Jombang, 10 September 2017