
“Cinta adalah sebuah anugerah yang Tuhan berikan kepada setiap hamba-Nya, jadi nggak salah kalau kita sebagai manusia ini bisa saling jatuh cinta dan menaruh rasa. Cuma, kembali lagi ke masing-masing dari kita, bagaimana menempatkan rasa itu agar tidak salah letak, karena kalau salah letak bisa retak. Akhirnya, ke kita-nya gimana? Ya, yang pasti bakal sedih, galau, dan lain-lain,” dawuh Ustadz Agam saat sedang kajian.
Syelma terdiam dan meresapi setiap dawuh Ustadz Agam tersebut. Ia merasa dirinya benar-benar tertampar karena sering meletakkan rasa itu pada hal yang bukan halal, yakni berpacaran. Padahal, ia sudah tahu konsekuensi berpacaran adalah kegalauan, karena itu sekarang dia menjadi sangat galau karena baru putus dengan pacarnya.
“Sav, nanti kamu pulang duluan aja ya,” suruh Syelma ke Savira, sahabatnya.
Savira yang sedang sibuk menulis pun meletakkan bolpen dan menoleh ke Syelma.
“Lah, kenapa nggak bareng? Kan berangkatnya bareng,” tanya Savira heran dengan raut wajah agak sedikit kesal.
“Iya, tau, tapi aku pengen me time gitu, pengen nyobain nasi kebuli di resto Alfaraz itu loh,” jawab Syelma.
“Kenapa nggak bareng aja, kalau gitu aku antar deh kalau emang mau sendiri,” tanya Savira.
“Nggak deh, makasih, aku bisa sendiri kok,” jawab Syelma.
Pengajian pun usai, merekapun berpisah. Dari kejauhan, Savira masih memantau sahabatnya itu yang berjalan dengan lunglai. Dia tahu bahwa sahabatnya sedang terluka berat karena berkali-kali ditinggalkan oleh pasangannya. Untuk itu, dia pun membiarkan Syelma untuk menyembuhkan dirinya dengan memakan apa yang Syelma sukai tanpa harus mengajaknya ngobrol tentang masalah hatinya yang terluka.
Syelma pun terus berjalan hingga meninggalkan Masjid An-Nur Demak untuk mencari angkot. Ia benar-benar sedih, dalam pikirannya selalu terlintas kalimat Ustadz Agam tentang, “Jika percintaanmu selalu gagal, maka kamu akan menemui kematian.” Kalimat itu terus berputar dan memenuhi pikiran Syelma. Tanpa sadar, Syelma pun termenung dan berjalan ke tengah jalan.
Syelma pun tertabrak.
Syelma sempat sadar dirinya dibopong oleh seseorang yang menggunakan songkok hitam, dan dia pun kembali pingsan.
Di dalam Ruangan ICU
Syelma terkejut karena dirinya ada di rumah sakit, dan pandangannya terus menyusuri setiap sudut ruangan tersebut. Tetapi tidak menemukan siapapun di situ. Saat ia akan turun dari kasur, seorang laki-laki muncul dari balik tirai sebelah kasurnya.
“Loh, loh, mau kemana?” tanya laki-laki itu.
“Astaghfirullah, kamu siapa?” tanya Syelma bingung.
“Eh, iya maaf, tadi saya nggak sengaja nabrak kamu, dan saya di sini berniat untuk bertanggung jawab,” ucap laki-laki misterius itu.
Syelma terdiam dan tertunduk tak berani melihat dan menatap laki-laki itu.
“Maafkan saya kalau saya langsung bawa kamu ke sini, aku khawatir takut kenapa-kenapa, takut parah juga lukanya kamu. Oh iya, kamu jangan khawatir, semua biaya administrasi sudah saya urus dan saya lunasi. Kamu tinggal diem aja dan jaga kesehatan kamu biar cepet sembuh,” ucap laki-laki itu.
“Oh iya, karena kamu sudah bangun, saya pamit pulang dulu, sekali lagi saya mohon maaf,” tambah laki-laki itu.
Laki-laki itu pun pergi dan menghilang dari pandangan Syelma. Dan ia pun tersadar bahwa belum sempat mengucapkan terima kasih.
Syelma pun meraih HP yang ada di sampingnya dan segera memberi tahu Savira bahwa dirinya ada di rumah sakit serta mengirimkan foto sekilas.
“Heh, kamu kenapa? Kok bisa? Ini di mana?” tanya Savira yang khawatir.
Melihat Syelma mengirimkan share location, Savira pun langsung bergegas meluncur ke rumah sakit Alkindi yang ada di Surabaya Barat itu, dengan kecepatan tinggi. Sesampainya di rumah sakit, Savira langsung menuju administrasi untuk menanyakan kamar Syelma. Dan Savira pun langsung menuju ruangan itu dengan sedikit berlari. Sampai di depan pintu, Savira langsung masuk dan melihat temannya yang terbaring tak berdaya itu.
“Innalillahi wainnaillahi roji’un. Syelma, kok bisa? Kamu sih diajak pulang bareng nggak mau, gaya-gaya me time. Nih, aku bawa nasi kebulinya biar cepet sembuh. Gimana ini kok bisa? Siapa yang antar? Administrasi udah? Mana kelasnya yang VVIP lagi,” ceceran pertanyaan Savira membuat Syelma mendengus kesal.
“Tau nggak, semua biaya administrasi udah dibayarin sama orang yang nabrak aku, tapi aku nggak tau dia siapa,” jawab Syelma dengan wajah datar sambil mengunyah puding yang dibawakan oleh Savira.
“Jangan bilang laki-laki?” tanya Savira sambil mendekatkan wajahnya ke Syelma karena penasaran.
“Iya,” jawab Syelma singkat.
“Oke, kalau kamu udah boleh pulang, kita cari tahu dia siapa.”
Mendengar ucapan itu, Syelma mengangguk setuju, dan mereka berdua pun memakan nasi kebuli yang dibawakan oleh Savira sambil sesekali tertawa.
Tiba-tiba pintu pun terbuka dan seorang suster masuk untuk memeriksa kesehatan Syelma. Suster pun bilang bahwa Syelma sudah boleh pulang hari ini. Dengan gembira, Syelma dan Savira pun membereskan tempat tidur Syelma tersebut dan bergegas meninggalkan rumah sakit. Sesampainya di depan meja administrasi, Syelma dipanggil oleh petugas dan diberikan bingkisan coklat.
“Mbak Syelma, ini ada titipan dari orang yang membawa mbak ke sini.”
Syelma pun mendekati petugas tersebut dan mengambil bingkisan tersebut. Dan mereka berdua pun kembali berjalan dan meninggalkan rumah sakit. Sesampainya di dalam mobil, Syelma membuka bingkisan dan ternyata isinya ada Milo dan Sari Roti dengan selainya. Dan ia pun melihat kartu nama yang ada di dalam bingkisan itu.
“Ahmad Dzannurain Alvaska.”
Dengan cepat, Savira yang kepo menyerobot apa yang dipegang oleh sahabatnya itu.
“Ih, apa sih bocah kepo banget?” jawab Syelma ketus.
“Ya elah, neng pelit amat. Iye dah, yang ditolongin pangeran misterius, mana ngerti lagi minuman kesukaannya, tau dari mana ya dia,” goda Savira sambil menyenggol tangan Syelma.
Mendengar ucapan itu, Syelma pun menyetujui apa yang diucapkan oleh sahabatnya. Sesampainya di rumah, Syelma langsung diantar oleh Savira ke dalam hingga masuk ke kamar untuk membawa barang-barang. Kemudian mereka pun bercengkrama dan kembali memakan cemilan yang diberikan oleh laki-laki tersebut dan sisa jajan dari rumah sakit.
“Eh, ngomong-ngomong, kok ada ya manusia baik kayak dia?” tanya Savira.
“Hust, nggak boleh gitu, harus husnudzon atas setiap perilaku baik manusia,” ucap Syelma.
“Apakah jangan-jangan itu jawaban dari doa kamu yang selama ini tersakiti oleh mereka?”
“Hah, nggak mungkin, kan nggak semua yang Allah pertemukan akan Allah pasangkan,” jawab Syelma.
Savira pun terdiam, ia mengerti rasa sakit yang dirasakan sahabatnya benar-benar besar hingga membuat sahabatnya sangat menutup diri dari laki-laki meskipun laki-laki itu baik.
Tak lama kemudian, Savira pamit pulang karena sudah terlalu malam. Setelah mengantar Savira hingga ke depan pagar, Syelma pun kembali ke kamar dan bersiap-siap untuk sholat Maghrib. Setelah adzan dikumandangkan, Syelma bergegas untuk melaksanakan sholat Maghrib. Seperti biasa, setelah sholat, Syelma lanjut membaca dzikir dan mengaji.
Sambil menunggu Isya, tiba-tiba Syelma iseng untuk mengucapkan terima kasih kepada laki-laki misterius itu, dan tak disangka, jawaban dari laki-laki tersebut.
“Jangan terima kasih, sudah sewajarnya saya sebagai sesama Muslim membantu Muslim lainnya yang sedang kesusahan,” jawabnya.
“Oh iya, perkenalkan, saya Dzannurain. Saya adalah ustadz yang pernah mengajar kamu di kelas 7A di Pondok An-Najah. Saya pernah mengajar kamu waktu kamu nggak hafalan shorof ke saya. Semenjak itu, saya menjadi laki-laki pengagum kamu. Tapi saya benar-benar menjaga rasa itu, karena saya tak ingin mengganggu kehidupanmu, baik karir, ibadah, dan hafalan kamu. Saya tahu kamu benar-benar terpuruk oleh banyak laki-laki yang meninggalkanmu karena saya mengikuti sosial media-mu. Dan izinkan saya untuk menjadi cinta terakhir yang akan setia kepadamu.”
Membaca chat itu, Syelma benar-benar seperti diingatkan kembali kepada kenangan yang pernah diceritakan oleh Ustadz tersebut. Ia benar-benar menangis. Tuhan benar-benar baik kepada setiap hamba yang mau bertaubat dan berdoa.
“Besok saya ke rumahmu sama orang tua saya.” Syelma benar-benar menangis dan bersyukur atas setiap kekecewaan yang diterima dengan sabar, yang akhirnya membuahkan hasil yang membahagiakan. Ia percaya, setiap kisah yang selalu melibatkan Allah akan dipermudah, dan tidak ada yang lebih gampang daripada itu, apalagi soal percintaan.
Penulis: Wan Nurlaila Putri