
Kita akan berbicara dua hal, anak pertama dan anak perempuan. Yang kedua hal ini kebetulan ada dalam diri satu orang, yaitu anak pertama yang seorang perempuan. Diakui atau tidak, anak perempuan pertama yang menjadi tulang punggung keluarga sering kali dihadapkan pada dilema yang kompleks, baik dari segi psikis, sosial, maupun ekonomi. Secara psikologis, menjadi tulang punggung keluarga di usia muda bukanlah perkara mudah.
Anak perempuan pertama sering merasa memiliki tanggung jawab yang besar terhadap orang tua dan adik-adiknya. Ia merasa bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga terletak di pundaknya, yang membawa perasaan cemas, khawatir, dan bahkan stres. Tekanan ini bisa menjadi sangat besar, terutama jika ia harus memenuhi kebutuhan keluarga, baik dalam hal finansial maupun emosional.
Anak perempuan pertama seringkali harus mengorbankan banyak hal untuk menjaga keharmonisan keluarga. Kebutuhan pribadi seperti pendidikan, karier, bahkan relasi sosial sering kali terbengkalai karena fokusnya yang utama adalah membantu keluarga. Hal ini bisa berujung pada perasaan ketidakpuasan terhadap hidupnya sendiri. Jika ia merasa tidak dihargai atau tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari anggota keluarga lainnya, hal ini dapat memperburuk kondisi mental dan emosinya, meningkatkan perasaan terisolasi dan kurangnya self-worth.
Baca Juga: Menciptakan Dunia yang Aman Bagi Perempuan
Selain itu, peran ini sering kali membuat anak perempuan pertama merasa terperangkap dalam pola peran gender. Dalam banyak budaya, peran perempuan dianggap sebagai pengurus rumah tangga atau orang yang harus selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Ini menambah tekanan yang dialaminya, karena ia merasa terikat pada kewajiban tersebut, meskipun tidak selalu merasa siap atau mampu untuk memikulnya.
Ruang Lingkup Sosial Ekonomi Perempuan
Dalam konteks sosial ekonomi, anak perempuan pertama yang menjadi tulang punggung keluarga sering kali harus menghadapi kenyataan hidup yang keras. Ketika kondisi ekonomi keluarga tidak stabil, anak perempuan pertama sering terpaksa bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam banyak kasus, pendidikan dan peluang kariernya terhambat karena ia harus mencari nafkah atau merawat anggota keluarga. Kesulitan ekonomi ini juga seringkali membuatnya merasa terkekang dan tidak memiliki banyak pilihan hidup.
Selain itu, tekanan ekonomi ini tidak hanya berdampak pada kualitas hidup anak perempuan pertama, tetapi juga pada pandangannya tentang masa depan. Dalam banyak kasus, ia harus menunda atau bahkan mengorbankan impian pribadinya demi memenuhi kebutuhan keluarga. Ia mungkin memimpikan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau mengejar karier yang diinginkan, namun keadaan memaksanya untuk memilih antara impian tersebut dan keberlangsungan hidup keluarga.
Dampak sosial dari peran ini juga signifikan. Anak perempuan pertama yang menjadi tulang punggung keluarga sering kali merasa kurang memiliki waktu untuk bersosialisasi dengan teman-temannya atau mengejar hubungan pribadi. Kehidupan sosialnya cenderung terbatas, dan ia lebih fokus pada upaya untuk memenuhi ekspektasi keluarga. Kadang, ia merasa ada jarak yang terbentuk antara dirinya dengan teman-temannya, karena mereka mungkin tidak sepenuhnya memahami beban yang ia tanggung.
Baca juga: Ketika Perempuan Menjadi Seorang Ibu sekaligus Anak
Sebuah Pengorbanan demi Keluarga
Salah satu aspek yang paling mencolok dari kondisi ini adalah pengorbanan diri yang terus menerus dilakukan oleh anak perempuan pertama. Ia sering kali mengutamakan kepentingan orang lain—terutama keluarga—daripada kepentingan pribadinya. Pengorbanan ini bisa berupa waktu, tenaga, bahkan kebahagiaannya sendiri. Dalam banyak kasus, ia merasa bahwa tanggung jawab untuk membesarkan adik-adik atau merawat orang tua lebih penting daripada mengejar cita-citanya sendiri.
Ini adalah salah satu bentuk pengorbanan yang sering tidak dihargai, baik oleh keluarga maupun oleh diri sendiri. Anak perempuan pertama sering kali tidak mengeluh tentang beban yang ia tanggung, meskipun di dalam hatinya ia merasa lelah, kesepian, dan tidak dihargai. Dalam banyak kasus, ia merasa bahwa tidak ada pilihan lain selain menjalani peran tersebut karena ia merasa terikat pada tanggung jawab yang diwariskan oleh orang tua.
Namun, pengorbanan yang terus menerus tanpa adanya dukungan atau pengakuan bisa berbahaya bagi kesejahteraan psikologisnya. Ketika ia terus mengorbankan diri, ia dapat kehilangan rasa diri (self-identity), merasa bahwa hidupnya hanya berputar di sekitar kepentingan orang lain, dan menjadi semakin rentan terhadap kelelahan mental atau burnout. Selain itu, pengorbanan yang tidak disertai dengan kebijakan atau batasan yang jelas dapat menciptakan dinamika ketergantungan yang merugikan dalam keluarga.
Seharusnya Bagaimana Anak Perempuan Pertama Bersikap?
Dalam menghadapi beban berat ini, anak perempuan pertama seharusnya belajar untuk menjaga keseimbangan antara tanggung jawab terhadap keluarga dan kebutuhan pribadi. Tidak ada yang salah dengan mengutamakan keluarga, tetapi penting juga untuk mengingat bahwa kebahagiaan dan kesehatan diri sendiri juga sangat penting. Anak perempuan pertama harus diberi ruang untuk mengejar impian dan kariernya tanpa merasa terjebak dalam peran yang membatasi dirinya.
Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan menetapkan batasan yang sehat. Ia perlu belajar mengatakan tidak ketika tuntutan keluarga sudah melebihi batas kemampuannya. Ia juga perlu mencari dukungan dari anggota keluarga atau teman-teman yang bisa memberikan pengertian dan empati terhadap situasinya. Jika memungkinkan, keluarga harus membantu dengan memberikan kesempatan bagi anak perempuan pertama untuk berkembang dan tidak hanya bergantung padanya.
Baca juga: Benarkah Kelas Menengah yang Paling Terdesak?
Selain itu, anak perempuan pertama harus memahami bahwa dirinya tidak harus menyelesaikan segala sesuatu seorang diri. Membagi beban dengan anggota keluarga lainnya atau mencari bantuan eksternal, seperti melalui konseling atau dukungan sosial, dapat menjadi langkah yang baik untuk mengurangi tekanan yang dirasakan. Ia juga harus diberi kebebasan untuk mengejar pendidikan dan karier, yang pada gilirannya dapat membawa manfaat lebih besar bagi keluarga di masa depan.
Anak perempuan pertama yang menjadi tulang punggung keluarga perlu menyadari bahwa pengorbanannya sangat berarti, tetapi dirinya juga berhak untuk bahagia dan berkembang. Keseimbangan antara kepentingan keluarga dan kebutuhan pribadi bukanlah hal yang mudah dicapai, namun hal ini sangat penting untuk memastikan bahwa ia dapat menjalani hidup yang sehat dan memuaskan tanpa kehilangan dirinya dalam proses tersebut.
Penulis: Albii