
Oleh: KH. Abdul Hakim Machfudz*
Santri-santri baru yang kami harapkan dapat segera beradaptasi dengan lingkungan dan situasi yang baru. Para asatidz, hadirin dan hadirat yang dirahmati oleh Allah SWT. Alhamdulillah, pada pagi hari ini kita dapat bermuwajahah, bersilaturahim, sekaligus mengikuti prosesi serah terima santri. Panjenengan menyerahkan putri-putri panjenengan kepada kami, dan kami di Pondok Pesantren Tebuireng menerimanya. Ini adalah sebuah amanah besar yang kami tanggung sepenuhnya.
Sebagaimana telah disampaikan oleh Sekretaris Pondok, Bapak Ir. Gus Ghofar, kami setiap tahun terus berupaya menambah dan memperbaiki fasilitas pondok, baik pembangunan sekolah maupun asrama. Namun kenyataannya, kami belum mampu menampung seluruh pendaftar. Tahun ini saja, sekitar 900 pendaftar tidak bisa kami terima karena keterbatasan tempat.
Salah satu ikhtiar kami adalah bekerja sama dengan para alim ulama di berbagai daerah, mendirikan cabang-cabang Pondok Tebuireng. Alhamdulillah, saat ini sudah ada 20 cabang, dan cabang ke-20 baru saja dibuka di Lombok.
Meski begitu, tetap saja banyak wali santri yang lebih memilih Tebuireng pusat di Jombang. Padahal, dengan adanya cabang ini, kami harap bisa mengurangi beban pendaftaran di pusat. Namun kenyataannya, pondok-pondok cabang juga belum bisa menampung seluruh antusiasme masyarakat.
Mendidik Santri Menjadi Pribadi Bermanfaat
Apa yang kini ada di hadapan kita, yakni anak-anak santri baru, adalah amanah yang harus kita didik sebaik-baiknya. Tujuannya jelas: menjadikan mereka pribadi yang bermanfaat di dunia dan bahagia di akhirat, sebagaimana cita-cita besar yang tertanam dalam Hymne Tebuireng.
Tujuan besar pendidikan ini adalah warisan dari pendiri Pondok Tebuireng, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Pondok ini didirikan pada tahun 1899, dan saat ini telah berusia 126 tahun. Sejak awal, Hadratussyaikh adalah seorang ulama besar yang sangat memahami ilmu-ilmu agama, dan lebih dari itu, beliau mengamalkan ilmu tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah yang disebut ilmu yang bermanfaat, ilmu yang menjadi nilai kemanusiaan.
Kami, sebagai dzuriyah beliau, merasa sangat beruntung karena banyak tulisan dan karya beliau yang masih bisa kita pelajari hingga saat ini. Salah satunya yang terus kami jadikan rujukan dalam mendidik santri adalah kitab Adabul ‘Alim wal Muta‘allim. Kitab ini berbicara tentang bagaimana membentuk karakter pelajar dan penuntut ilmu.
Namun, di zaman sekarang, kita rasanya mengalami krisis karakter. Banyak hal yang menjauh dari nilai-nilai agama. Penguatan karakter pun kalah pengaruh dibanding arus deras perkembangan teknologi dan informasi. Kami pun sering bertanya pada diri sendiri: Apa yang harus kami lakukan? Apa yang harus kami sampaikan kepada anak-anak santri kami?
Kalau kita mengikuti metode Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dahulu, beliau mengajarkan ilmu agama hingga 12 jam per hari. Sementara kami saat ini hanya mampu maksimal 8 jam. Itu pun harus dibagi antara ilmu agama dan ilmu umum.
Menjaga Warisan, Menyongsong Masa Depan
Kami harus pandai-pandai memilah: mana yang merupakan warisan utama beliau yang harus disampaikan kepada santri, dan mana ilmu baru yang juga penting untuk masa depan mereka. Ini bukan hal yang mudah, tapi itulah tantangan mendidik santri di era sekarang.
Kita terus menggali dan memperkuat nilai-nilai yang sudah lama kita sampaikan melalui manhaj Ahlussunnah wal Jamaah. Seiring perkembangan zaman dan semakin luasnya cabang keilmuan, kita pun harus mampu membekali anak-anak kita dengan ilmu yang tidak hanya relevan secara duniawi, tetapi juga berakar kuat pada warisan para leluhur kita.
KH. Hasyim Asy’ari dahulu menuntut ilmu hingga ke Makkah. Guru-gurunya adalah orang-orang alim, yang ilmunya bersambung terus hingga kepada Rasulullah. Maka, warisan ini bukan hanya sanad keilmuan, tapi juga nilai-nilai yang harus kita turunkan kepada santri-santri kita.
Dari nilai-nilai yang diwariskan oleh Hadratussyaikh, kami di Tebuireng menyederhanakannya dalam satu akronim, yaitu “BERKAH”. Akronim ini kami susun berdasarkan hasil musyawarah dan ijtihad bersama dalam forum Bahtsul Masa’il. Inilah nilai-nilai yang ingin kami tanamkan dalam pendidikan santri: yaitu Nilai-nilai “BERKAH”
- B – Berilmu
Ilmu adalah dasar utama. Santri harus menjadi pribadi yang berilmu agar mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, serta menjadi penerang bagi lingkungannya.
- E – Etika dan Karakter
Ini diambil dari Kitab Adab al-‘Alim wal-Muta‘allim, warisan Hadratussyaikh. Membangun karakter tidaklah mudah di tengah derasnya arus zaman. Waktu yang tersedia sempit, dan tantangan teknologi sangat kuat. Maka, etika tidak cukup hanya diajarkan; ia harus dicontohkan secara langsung oleh para pendidik.
- R – Religius
Religiusitas adalah pondasi utama. Nilai keimanan dan ketakwaan harus tertanam dalam diri santri, agar mereka tidak kehilangan arah di tengah godaan dunia.
- K – Kreatif
Di era kompetisi ini, kreativitas menjadi kebutuhan. Santri tidak cukup hanya memahami kitab, tapi juga harus bisa beradaptasi, mencipta, dan memberikan solusi di tengah masyarakat.
- A – Amal Sholeh
Ilmu yang dimiliki harus diamalkan. Santri tidak hanya pintar, tapi juga sholeh dan sholehah, bermanfaat bagi sesama, dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan sosial.
- H – Hikmah
Hikmah adalah pemahaman mendalam terhadap apa yang dipelajari. Santri harus mampu memahami makna sejati dari ilmu, akhlak, dan nilai-nilai yang mereka peroleh selama mondok.
Alhamdulillah, kami merasa sangat beruntung mendapatkan warisan ilmu yang luar biasa dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Namun, jujur kami akui, masih banyak dari tulisan dan ajaran beliau yang belum sepenuhnya kami pahami dan pelajari secara mendalam. Maka program-program pendidikan yang kami susun saat ini adalah bagian dari ikhtiar untuk terus memahami dan mengamalkan warisan beliau.
Keteladanan Sosial KH. Hasyim Asy’ari
Bapak/Ibu wali santri yang saya hormati, apa yang kami lakukan hari ini adalah bagian dari melanjutkan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari. Beliau tidak hanya mendirikan pondok untuk mengajar, tapi juga terjun langsung ke masyarakat.
Ketika Pondok Tebuireng berdiri pada tahun 1899, kondisi bangsa Indonesia sangat memprihatinkan. Di dekat pondok terdapat pabrik gula milik Belanda di Cukir. Masyarakat sekitar bekerja di sana dengan penghasilan yang sangat rendah. Bahkan, pemilik sawah pun hanya mendapatkan sewa murah dari pihak pabrik. Setiap Sabtu malam, setelah menerima gaji, para pekerja berkumpul di pasar malam yang kala itu menjadi tempat berbagai kemaksiatan.
Melihat kondisi tersebut, setelah pulang dari Makkah, Hadratussyaikh mendirikan pondok hanya sekitar 200 meter dari lokasi pasar malam. Beliau kemudian membeli sebidang sawah di tengah masyarakat, dan setiap hari Selasa, beliau turun ke sawah. Bukan hanya sawah beliau sendiri, tetapi juga sawah milik masyarakat lainnya. Di sana beliau berdakwah, mengajak warga untuk bangkit, dan memberikan penguatan spiritual serta keterampilan.
Ilmu agama disampaikan secara perlahan namun konsisten, hingga pengetahuan masyarakat pun meningkat. Semangat ini masih hidup hingga kini. Di sekitar Cukir, masih banyak majelis taklim yang melanjutkan tradisi beliau, dengan mengajarkan kitab-kitab dasar. Ketika saya bertanya, “Mengapa kitab ini yang diajarkan?” Mereka menjawab, “Karena inilah kitab yang diajarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari.”
Tidak hanya di Cukir, tapi juga di daerah-daerah lain seperti Banyuwangi, tradisi ini terus dijalankan setiap hari Selasa secara istiqamah. Bahkan di Pondok Tebuireng sendiri, hari Selasa dijadikan hari untuk pengabdian masyarakat—tidak ada kegiatan mengaji karena meneladani rutinitas beliau yang setiap Selasa berada di tengah masyarakat.
Inilah sebagian dari warisan besar Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang terus kami hidupkan di Tebuireng. Semoga anak-anak kita semua mampu menjadi generasi yang berilmu, berakhlak, dan bermanfaat di dunia serta bahagia di akhirat, sebagaimana pesan mulia yang terkandung dalam Hymne Tebuireng.
*Pengasuh Pesantren Tebuireng.
Pentranskip: Ayu Amalia