bacaSebagai kitab tuntunan, Al-Qur’an menyuguhkan sejumlah teori tatanan hidup. Bagi Muslim yang sejak dini mengenal dan mengimani Al-Kitab tersebut, ia berkeyakinan bahwa tidak ada petunjuk Al-Qur’an yang tidak dapat dimasyarakatkan. Bahkan karena sifatnya yang universal (alamiyah), Al-Qur’an mampu menembus tabir sosial dan etnis. Ungkapan ini lazim dikenal dengan Al-Qur’an berlaku untuk semua dan masa dan semua tempat (shalih li kull zaman wa makan).

 

Pembumian ajaran-ajaran Al-Qur’an secara factual sudah pernah terjadi sejak kitab itu diturunkan sampai berabad-abad berikutnya. Meski pada saat itu juga terjadi “kebekuan pemikiran”, namun petunjuk Al-Qur’an, khususnya yang menyangkut aspek hokum, tetap mewarnai kehidupan masyarakat. Bahkan pada abad kedelapand dan kesembilan hiji, meski di sebagian negeri-negeri Islam terjadi di pertumpahan darah, ahli-ahli tarikh sependapat bahwa ummat Islam tetap menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, dan petunjuk-petunjuk hukumnya dijadikans sebagai patokan menangani berbagai masalah. Dan apabila ditelusuri karya-karya ulama masa itu, maka pendapat di atas akan lebih mendekati kebenaran.

 

Kecenderungan untuk menguapkan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an timbul setelah kolonialisme barat mulai mencengkeramkan kukunya di negeri-negeri Islam, dimana kaum muslimin dihadapkan kepada budaya baru yang bertentangan dengan tradisi mereka. Pihak kolonialis yang, tentu saja, ingin melestarikan kekuasaannya di negeri-negeri Islam berusaha mendekati tokoh-tokoh muslim sedemikian rupa sehingga secara perlahan-lahan mereka dapat menyodorkan interpretasi baru baru terhadap kandungan Al-Qur’an, sehingga kitab suci ini tidak lagi mengilhami “teori-teori subversif” yang membahayakan mereka.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

 

Dalam tarikh, tercatat nama seperti Mirza Ghulam Ahmad, dan lain-lain yang memberikan interpretasi baru terhadap ayat-ayat jihad  (ayat al-saif) dan sebagainya sehingga disimpulkan bahwa Al-Qur’an tidak mewajibkan ummat Islam untuk melakukan jihad.

 

Di pihak lain, melihat semakin jauhnya petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dari kehidupan bermasyarakat, sejumlah tokoh muslim mulai cenderung menterjemahkan ayat Al-Qur’an ke dalam kehidupan modern yang mewarnai masyarakat saat itu. dengan hal itu dimaksudkan Al-Qur’an bukan saja mengilhami tumbuhnya kekuatan baru ummat Islam, tetapi sekaligus Al-Qur’an dapat diterima oleh ratio barat yang masih menemukan keganjilan-keganjilan dalam ayat Al-Qur’an. Untuk kelompok kedua ini tercatat nama seperti Syeikh Muhammad Abduh, Raf’at Tahtawi, tokoh sebelum Abduh yang membawa pemikiran baru sepulangnya dari Perancis dan lain-lain.

 

Umumnya mereka bermaksud untuk membumikan kembali ajaran al-Qur’an setelah sekian lama menguap di awing-awang. Menurut mereka, cara yang mereka tempuh itu adalah satu-satunya cara yang ideal. Sebab tanpa itu, Al-Qur’an hanya tinggal sebagai barang suci yang dapat dibaca dan diagungkan saja.
Tekstual dan Konstekstual

 

Dalam menginterpretasikan Al-Qur’an, tokoh yang menghendaki diterapkannya kembali ajaran-ajaran Al-Qur’an pada abad ini, sering menempuh metode kontekstual, yaitu metode penafsiran yang mempertimbangkan keadaan atau motif turunnya suatu ayat. Metode ini ditempuh sebagai upaya untuk menembus kebekuan metode tekstual yang dinilai statis dan beku karena selalu terbelenggu dengan dengan bunyi teksnya saja, sehingga nilai-nilai Al-Qur’an tidak dapat dikembangkan sesuai dengan peredaran zaman.

 

Metode kontekstual diharapkan dapat menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam kehidupan bermasyarakat masa kini, sehingga Al-Qur’an tidak akan lagi tertinggal oleh proses kekinian masyarakat. Karena metode ini berusaha memahami keadaan dan motivasi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, maka ia cenderung diwarnai oleh pemikiran manusia, dibanding dengan metode tekstual. Apalagi karena banyak statement Al-Qur’an yang mendorong menggunakan akal, sehingga metode itu akhirnya memperoleh argumentasi yang kuat. Bahkan lebih dari itu, Al-Qur’an berulang-ulang mengecam orang-orang yang mengekor tradisi nenekmoyang dengan melestarikan kebudayaannya tanpa selektif.

 

Al-Qur’an memang menghendaki dan mendorong penggunaan akal, tetapi ini tidak bersifat mutlak. Sebab dalam beberapa hal tidak terdapat petunjuk-petunjuk ke arah itu. Bahkan pada masa Nabi Muhammad saw dan para sahabat-sahabat justru terdapat petunjuk sebaliknya, dimana dalam beberapa hal manusia diwajibkan mempercayai apa adanya sesuai dengan bunyi teks ayat Al-Qur’an maupun Hadits. Sebab analisa akal manusia hanya dapat menjangkau masalah-masalah yang dapat diindera. Sedang dalam Al-Qur’an ada beberapa hal yang tidak dapat diindera manusia, karena hal itu memang di luar hukum alam raya ini. Atau dengan kata lain, pemahaman atau penafsiran terhadap masalah-masalah itu tidak dapat dimodernisir sesuai dengan kemauan pemikiran manusia.

 

Apabila Al-Qur’an mendorong penggunaan akal, sedang ternyata tidak semua kandungan Al-Qur’an dapat ditundukkan terhadap akal manusia, maka timbul pertanyaan, bahagian manakah dari Al-Qur’an yang dapat dikembangkan sesuai dengan pemikiran manusia sehingga Al-Qur’an dapat mengikuti modernitas dan proses kekinian.

 

Mayoritas ulama sependapat bahwa ada beberapa bagian dari kandungan Al-Qur’an yang tidak dapat ditundukkan kepada modernitas. Masalahnya karena bagian tersebut merupakan petunjuk-petunjuk yang tuntas dan permanen, sedangkan modernitas cenderung berubah sesuai dengan perubahan pemikiran manusia, disamping kebenarannya pun relatif.

 

Sekurang-kurangnya ada tiga bagian dari kandungan Al-Qur’an yang harus diinterpretasikan secara tekstual. Yaitu hal-hal yang bersifat ghaib (umur qhaibiyah), akhlak, dan petunju-petunjuk hukum yang tuntas (qat’I al-dalalah). Di luar itu kandungan Al-Qur’an dapat saja ditafsirkan secara kontekstual sehingga dapat mengikuti modernitas. Sedang kontekstualisasi terhadap tiga masalah di atas tidak saja akan menemukan kegagalan, sebab terkadang justru bertentangan dengan Al-Qur’an sendiri, tetapi pada gilirannya Al-Qur’an akan menjadi sebuah kitab yang sudah kehilangan fungsionalnya.

Sekedar sebuah contoh di bawah ini, dinukilkan dua buah interpretasi kontekstual yang dilakukan oleh Syeikh Mohammad Abduh dan “Kelompok Penbaharuan Tafsir” yang pernah muncul di Mesir pada abad ini.

 

Pertama, karena manusia barat tidak dapat memahami arti kata “malak” (malaikat) yang terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, maka untuk “mengislamkan” manusia Barat, Abduh memeranikan diri menafsirkan kata “malak” sebagai kekuatan yang mendorong berbuat baik, yang terdapat dalam diri manusia”. Bukan seperti yang lazim dikenal dimana malaikat adalah makhluk Nur yang dapat berubah-ubah bentuk, mempunyai sayap, dan lain sebagainya. Usaha Abduh ini menemui kegagalan, sebab ternyata tidak ada orang Barat yang beriman setelah mendengar kontekstualisasi masalah itu. Benar, di antara mereka ada yang masuk Islam setelah mengontekstualisasikan beberapa kandungan Al-Qur’an, tetapi bukan dalam masalah-masalah yang disebutakan di atas. Mereka mengontekstualisasikan bagian-bagian yang memang dibolehkan untuk melakukan hal itu.

 

Masalah iman terhadap malak misalnya, dapat disebutkan sebagai sub-iman setelah adanya iman terhadap yang memberitahukan adanya malak itu sendiri, yaitu Allah dan RasulNya. Bagaimana orang dapat percaya terhadap suatu berita apabila dia sendiri tidak percaya terhadap pembawa berita tersebut.

 

Kegagalan Abduh berikutnya karena Al-Qur’an sendiri memberikan keterangan-keterangan tentang malak yang justru berlawanan dengan interpretasi Abduh. Menurut Al-Qur’an, malak adalah makhluk yang mempunyai sayap dua, tiga dan empat, dan bukan merupakan kekuatan abstrak sebagaimana digambarkan Abduh. Nabi Muhammad saw sendiri juga berkali-kali didatangi malak yang terkadang menyerupai bentuk manusia.

 

Kedua, contoh kontekstualisasi penafsiran ayat Al-Qur’an yang dilakukan oleh “kelompok pembaharu tafsir” di Mesir. Dalam menafsirkan ayat pencurian, mereka mengatakan, maksud Al-Qur’an bukanlah memotong tangan pencuri, tapi meningkatkan taraf ekonomi rakyat sehingga tidak ada lagi pencurian. Apa gerangan yang mereka inginkan? Apakah di Negara-negara maju yang GNP-nya mencapai ribuan dolar tidak ada lagi yang namanya pencuri? Bahkan pencuri kelas kakap lebih banyak.

 

Begitu pula ketika mereka berhadapan dengan ayat yang menerangkan hukuman zina, mereka menginterpretasikannya sedemikian rupa, sehingga hukuman zina itu tidak perlu diterapkan seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an. Sebab menurut mereka, Al-Qur’an tidak menghendaki hukuman seperti itu (jilid misalnya), tetapi Al-Qur’an hanya menghendaki agar perzinaan itu tidak ada.

 

Dua masalah di atas adalah sekedar contoh. Di luar itu, baik yang menyangkut masalah akhlak atau yang lainnya sudah banyak diinterpretasikan secara kontekstual oleh sementara orang. Di tanah air sendiri terdapat pula kecenderungan sementara orang untuk melakukan hak itu, misalnya dalam masalah kerudung. Sehingga kewajiban menutup aurat bagi wanita hanyalah ditujukan kepada wanita Arab saat diturunkannya ayat itu, karena pada waktu itu keadaan tidak aman, sehingga apabila aurat wanita dibuka ia akan diganggu lelaki.

Sebenarnya usaha-usaha semacam itu tidak lebih dari upaya penaklukan ayat-ayat Al-Qur’an demi kepentingan pendapat manusia. Di sini jelaslah bahwa pendapat manusia dinomorsatukan, sedang Al-Qur’an dinomorduakan, sehingga apabila adanya ada ayat yang maksudnya berlawanan dengan pemikiran manusia, ia berusaha sedemikian rupa agar Al-Qur’an dapat menyesuaikan diri dengan pendapat dan lingkungannya. Padahal, apabila kita melihat fungsi Al-Qur’an sebagai tuntunan (hidayah), semestinya Al-Qur’an dinomorsatukan, barulah  manusia menyesuaikan diri dengan maksud kandungan Al-Qur’an tersebut.

 

Apabila usaha-usaha seperti itu digalakkan, maka tidak mustahil suatu saat Al-Qur’an hanyalah tinggal kerangkanya saja dan kehilangan fungsionalnya. Ia akan hanya menjadi “benda souvenir” dan “buku nyanyian” belaka, karena manusia sudah tidak lagi mengikuti petunjuknya, dan justru Al-Qur’an ditaklukkan untuk mengikuti kehendak manusia.

 

Karenanya, modernitas apa pun bentuknya akan mendapat sambutan dan dorongan Al-Qur’an, selama tidak menyentuh tiga masalah di muka. Dan memang hal itu perlu digalakkan. Tetapi apabila modernitas itu menyentuh tiga masalah tersebut, Al-Qur’an hanya akan mengucapkan “selamat Jalan”.

 

Prof. DR. Ali Mustafa Ya’qub. MA.

 

Artikel Ini dimuat di Majalah Tebuireng No. 2 Juni 1986