KH. Ali Musthofa Ya'kubOleh: Ibhar Cholidy*

Tidak takut dan tidakmerasa malu disebut tradisional. Malahan menepuk dada, “Aku adalah tradisionalis!”. Akrab dan berbangga diri dengan identitas kepesantrenan dan ke-NU-an. Tak ayal, kopiah, sarung “dawamul wudhu”, lengket menjadi balutan performance keseharian Ustadz Ali Musthofa.

“Lho, santri ya memang harus seperti itu. Santri mesti fasih menjelaskan sikap, pendapat dan perilakunya dalam perspektif agama. Tak usah risau di tuding tidak moderen, yang penting ada jaminan dari al-Kutub al-Shafra’ yang masuk kategori al-Kutub al- Mu’ tabarah,” tandas ustad Ali Musthofa Ya’qub.

Tentu, kita sering membaca seloroh Kiai Wahab Hasbullah ihwal busana yang acapkali dikenakan, “ini surban ala Diponegoro”. Sarung, jas, dan surban merupakan trademark-nya di parlemen.

“Sejak kapan kita diatur atur oleh komoderenan, kita didekte, diwajibkan menjadi modernis dan dituding ketinggalan zaman bila tidak paralel dengan yang serba moderen”, gugat Ustadz Ali Musthofa menggebu gebu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Benar belaka, moderen dan tradisional sejatinya cuma penamaan dan stigma. Makna, maksud, dan tafsirnya bisa diperdebatkan. Muslim dan mukmin yang hebat tidak harus dipaksa-paksa dengan ukuran orang lain, apalagi yang serba westernized (kebarat-baratan). Kalau sudah sekujur tubuh, piker, dan perilaku berkiblat ke negara Barat dijamin moderen. Dihardik dan diseting menjadi makmun ke Barat jika hendak disebut moderen.

Padahal, muslim dan mukmin bukan itu tolok ukurnya. Bukan kacatama kemoderenan. Namun bagaimana mengbela diri menjadi muslim yang sepenuh jiwa raga muslim (wala tamutunna illa waantum muslimun). Bagaimana merambah diri sebagai hamba yang mulia dengan predikat yang paling bertaqwa (atqakum).

Itulah sebabnya ustadz Ali Musthofa abai dengan tuntunan salah itu, bergeming dengan panduan westernisasi dan kuekeuh dengan prinsipnya. Kualitas, bobot dan takaran tidak serta merta mengikuti tarian dan genderang orang lain. Muslim dan mukmin memiliki patokan, referensi dan blue print sendiri : Al-Quran dan al-Hadits.

*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Dekan Fakultas Tarbiyah di IAINU Kebumen