sumber ilustrasi: pwnu.or.id

Oleh: Nur Indah Naailatur Rohmah*

Semenjak awal, konsep baku tentang bentuk negara dan sistem ketatanageraan tidak dijumpai dan diatur oleh nash. Oleh karena itu, sistem penyelenggaraan pemerintahan pun pada akhirnya bersifat relatif dan diserahkan kepada ummat dengan catatan harus tetap memperhatikan nilai-nilai universal syariat sebagaimana tertuang dalam maqasidh as-syariah yang merupakan landasan teologi dari sistem ketatanegaraan.

Oleh karena itu pula, maka tugas penyelenggara negara hakikatnya juga ada 2, yaitu menjaga (hirasahah-diniyyah) dan mengatur dunia (hirasah al-siyasiyah) untuk tercapainya kemaslahatan bersama (kemaslahatan universal). Hal ini berkenaan dengan perbedaan yang sering kali dibicarakan yakni perbedaan antara daulah islamiyah dengan daurah islamiyah.

Syekh Wahbah Zuhaili membedakan antara Daulah Islamiyah dengan Dar al-islam, menurutnya Daulah Islamiyah merupakan kesatuan politik umat Islam (سلطة سياسية موحدة) dibawah kedaulatan syariah yang wilayahnya menjangkau berbagai daerah Islam (شاملة لجميع الاقاليم الاسلامية).                                      

Dalam perspektif Syekh Wahbah Zuhaili, daulah Islamiyah adalah imperium global yang mengandaikan kesatuan politik seluruh Dar al-islamiyah (وحدة السلطة أو السيادة في جميع اقاليم دار الإسلام). Sedangkan mayoritas ulama klasik tidak membedakan definisi dar al-islam dengan daulah islamiyah. Al-rafi’i, juris terbesar madzhab Syafi’i setelah Al-Nawawi, membagi dar al-islam menjadi 3:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

((احدها : دار يسكنها المسلمون, وان كان فيها اهل الذمة. والثاني : دار فتحها المسلمون, وأقرها في يد الكفار بجزية بعد ماملكها او صلحوهم ولم يملكوها. والثالث : دار كان المسلمون يسكنونها, ثم جلوا عنها وغلب عليها المشركون))

Artinya: “pertama, daerah yang dihuni umat Islam, meskipun terdapat orang dzimmi. Kedua, daerah yang ditundukkan umat Islam dan membiarkan orang kafir menjadi [1]penghuninya dengan membayar jizyah setelah dikuasai atau tanpa sebelum dikuasaidengan membuat perjanjian damai. Ketiga, daerah yang sebelumnya dihuni orang Islam, kemudian mereka diusir dan dikuasai orang musyrik.”

Menurut Al-rafi’i syarat dari dar al-islam bukan adanya orang islam di dalamnya, akan tetapi yang terpenting adalah kontrol dan penguasa imam atas suatu daerah. Hal ini juga selaras dengan pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami yang mengatakan bahwasanya Dar-Islam merupakan daerah yang berada dibawah kontrol Islam meskipun penduduknya kafir Dzimmi maupun muahhad. Dalam fikih Syafi’i status Dar Islama tidak berubah sekalipun kondisinya dijajah orang kafir.

Akan tetapi menurut Imam Hanafi statusnya akan berubah menjadi Dal al-kufr dengan 3 kondisi:

  1. Berlakunya hukum kafir
  2. Berdampingan dengan negara kafir
  3. Tidak ada lagi keamanan bagi muslim dzimmi seperti semula.[2]

Dengan digariskanya nilai universal syariat, sebagaimana landasan teologi, maka itu sama artinya dengan pernyataan, bahwa sebenarnya tugas umat Islam bukan pada mengubah negara menjadi ber-platform Islam, misalnya dengan membentuk negara Islam (daulah Islamiyah). Tugas sebenarnya dari umat Islam adalah menjaga tetap berlakunya hukum Islam dalam konteks kehidupan berkebangsaan dan berkenegaraaan  di wilayah yang dihuni oleh umat Islam (daul islamiyah).

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Jombang.


[1] Abu Al-qosim Abd Al-karim bin Muhammad Al-rafi’i al-Syafi’i, Al-Aziz syarh al-wajiz, juz 6 ( Beirut: Dar Al-kutub Al-ilmiyah, 1997) Hal 404.

[2] Alauddin al-kasani, bada’i al-shanna’i, 519.