sumber ilustrasi: wartanasional

Oleh: Rara Zarary*

Di jagad kesusastraan, rasanya sangat tidak mungkin orang-orang tak mengenal sosok Sapardi Djoko Damono. Kalaupun tidak pernah bertemu langsung dengan orangnya, tidak pernah melihat gambarnya, paling tidak sudah pernah membaca sajaknya atau film yang sempat populer di masanya, Hujan Bulan Juni.

Puisinya yang legendaris, karya yang dilahirkan tahun 1989 itu cukup masyhur di telinga. Bahkan, anehnya. Setiap hujan, orang-orang secara tak sadar diseret mengingat atau terpaksa diingatkan oleh bait-bait dalam sajak itu. “Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni”. Entah apakah saat menggandeng kalimat itu mereka benar paham atau gagal paham dari apa yang sebenarnya dimaksud oleh penulis, sebab memang begitu: pembaca selalu punya hak mengartikan bagaimana tulisan seseorang bahkan jika itu berbeda pemahaman dari apa yang dimaksud oleh penulis.

Namun pada intinya, kita punya kebebasan memahami. Salah satunya pemahaman soal puisi itu datang dari saya. Sebagai pecinta puisi Pak Sapardi, kali ini saya ingin membalas, Ada yang Lebih Tabah dari Hujan Bulan Juni. Siapakah orang itu? Kamu akan menemukan jawabannya setelah tuntas membaca tulisan ini.

Sebelum saya melanjutkan seberapa tabah dan siapa yang lebih tabah dari Hujan bulan Juni, mari kita simak dulu puisi yang mungkin sudah kita lupa atau belum sempat kita baca. Berikut puisi Hujan Bulan Juni:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Hujan Bulan Juni”
Oleh: Sapardi Djoko Damono (1989)

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu.

Tetapi, nyatanya ada yang lebih tabah dari Hujan Bulan Juni. Siapakah gerangan? Engkau dan kehidupanmu yang telah melalui seluruh kalender demi kalender yang tak cukup hanya di bulan Juni. Kamu yang sampai saat ini tetap bertahan di tengah hiruk pikuk percepatan teknologi, kejahatan hoaks dan fitnah yang begitu kejam memompa air matamu dari hari ke hari. Kegigihanmu untuk terus hidup dalam perjuangan pahit manis di dunia pendidikan, perekonomian bahkan relasi pertemanan yang sungguh penuh kepura-puraan. Engkau begitu tabah, dan semesta harus memberimu hadiah.

Ada yang lebih tabah dari Hujan Bulan Juni, itulah kamu yang setiap perputaran waktu berupaya hidup dengan segala macam kebosanan, kehidupan yang begitu-begitu saja, dan ancaman raga jiwa yang membuatmu jatuh bangun dan tetap berupaya khusnu dzan pada kerja semesta. Sebab yang kamu lakukan, air mata yang jatuh di pipimu, darah yang mengucur dari tubuhmu, peluh yang seluruh membasahi dirimu tidak hanya sehari atau berhari-hari di bulan Juni, tetapi bertahun-tahun yang berhari-hari.

Kamu memang bukan daun yang jatuh dan tak perlu membenci angin. Kamu memang bukan musim yang sesekali hujan walau waktu kemarau. Tentu kamu bukan hujan yang dirindukan di musim kemarau apalagi teramat panjang. Kamu adalah manusia yang pikirannya Tuhan uji. Hatinya Tuhan coba berkali-kali. Hidupmu ditempa berulang-ulang. Engkaulah yang lebih tabah itu. Kemarahan, tangisan, kekecewaan, dan ketidakberdayaan adalah komposisi menuju kuat dan tangguh. Dan perjalanan untuk memilih tak menyerah adalah makna lain dari ketabahan itu sendiri.

Maka, engkaulah yang bisa mengalahi tabahnya hujan di bulan Juni. Kau tak akan gugur meski hancur berkali-kali, engkau tak akan pupus walau dunianya rasanya tak adil dan tak mengerti. Dengan segala usaha dan pengertian soal takdir engkau berjuang mencintai Tuhan dan menerima keputusanNya.

Ada yang lebih tabah dari Hujan Bulan Juni, tenangnya dirimu dari waktu ke waktu memahami perjalan hidup dan mengemban rindu menjadi doa yang tak kenal waktu. Kalau pun hujan bulan Juni: adalah ketabahan dari simbol yang lain, maka di sini engkau adalah hujan seluruh kalender yang gagah melalui banyak rintangan. Terima kasih telah bertahan dan tabah hingga hari ini, besok, dan selamanya, nanti.

Jika hujan bulan Juni adalah air mata yang jatuh tanpa mengeluh, maka engkau telah utuh seluruh. Menjadi laut, samudera, langit, dan bumi; hingga menjadi seseorang setangguh hari ini. Terima kasih telah lebih tabah dari hanya Hujan Bulan Juni. Terima kasih telah bertahan dan memilih kuat dengan berdamai atas kepelikan hidup sehari-hari. Terima kasih telah tidak lupa berterima kasih pada dirimu dan memberi hadiah paling pantas untuk segala pencapaian kehidupanmu.

Engkaulah yang lebih tabah dari Hujan Bulan Juni, itu. Jangan lupa, untuk memeluk dirimu sendiri. Selamat menempuh hari-hari melalui bulan Juni.

*Pegiat Komunitas Pesantren Perempuan.