Perempuan dalam sebuah forum diskusi ilmiah

Perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari peran perempuan, yang menjadi bagian penting persebaran Islam maupun dalam menyiapkan anak-anaknya sebagai kader mujahid muballigh dalam memperjuangkan Islam di Nusantara. Diantaranya deretan perempuan hebat abad 15-16 pada zaman Walisongo seperti istri Sunan Ampel yang bernama Nyai Ageng Manila, yang berkah didikannya lahirlah 2 sunan besar yang menjadi anggota Walisongo, yaitu Sunan Bonang dan Sunan Drajat.

Kemudian, ada pula Nyai Ageng Gede Pinatih binti Sayyid Pandhita, keponakan Sunan Ampel,  yang menjadi syahbandar/panglima pangkalan/kepala pelabuhan di Pelabuhan Gresik. Nyai Ageng Gede Pinantih Binti Sayyid Padhita juga merupakan ibu angkat dari Sunan Giri, ia juga dikenal sebagai hartawan yang gemar menyedekahkan hartanya di jalan Allah. Berkah didikannya, Sunan Giri menjadi ulama penting dalam persebaran agama Islam di Nusantara.

Baca Juga: Mengenal Ulama Perempuan Penggerak Kesetaraan Gender (I)

Sunan Giri juga pernah menjadi ketua majelis Walisongo pasca wafatnya Sunan Ampel. Sunan Giri tidak hanya berdakwah di pulau Jawa, namun hingga ke berbagai pulau di Nusantara seperti Nusa Tenggara dan Sumatra. Kemudian beberapa murid terkenalnya seperti Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Patimang dan Datuk Ri Ditiro, yang ketiga datuk inilah penyebar agama islam di wilayah Sumatra-Minangkabau dan Sulawesi Selatan.

Kemudian, perempuan hebat lainnya adalah Nyai Ageng Malokah. Putri Sunan Ampel yang menjadi Adipati di Lasem, usai wafat suaminya, Adipati Wiranegara. Nyai Ageng Malokah dikenal sebagai sosok yang religious dan ahli ibadah. Ia juga membantu dakwah adiknya, yakni Sunan Bonang  di Bonang-Binangun. Melalui santri-santri Pesantren Bonang-Binangun, ajaran islam menyebar semakin luas hingga ke berbagai kepulauan di Nusantara, di antaranya adalah Madura, Bawean, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, Ambon, dan Ternate.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selain Nyai Ageng Malokah, Muslimah Nusantara yang pernah menjadi penguasa adalah Sulthanah Shafiatuddin Syah binti Sultan Iskandar Muda (istri Sultan Iskandar Stani). Ia memerintah Kesultanan Aceh selama 34 tahun (1644-1675 M). Setelah ia mangkat, jabatan itu dilanjutkan oleh putrinya, Sulthanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah. Sulthanan Nurul Alam memerintah selama 3 tahun (1675-1678 M). Setelah sang ratu mangkat, diangkatlah putrinya untuk menjadi sulthanah, yaitu Sulthanah Inayah Zakiyatuddin Syah dengan gelar melayu-nya Putri Raja Setia. Sulthanah Inayah memerintah selama 10 tahun (1678-1688 M). Setelah Putri Raja Setia Mangkat, naiklah adiknya yang perempuan untuk menduduki singgasana, yaitu Sulthanah Kamalat Syah (1688-1699 M).

Baca Juga: Dari Perempuan untuk Perempuan

Pada masa kepemimpinan Sulthanah Shafiatuddin Syah Kesultanan Aceh menorehkah banyak prestasi. Karena kekaguman kepada Kesultanan Aceh di zamannya ini, Kesultanan Turki memberikan gelar Serambi Makkah. Tentunya gelar ini tidak hanya sematan yang asal-asalan diberikan. Gelar ini lahir atas dasar prestasi Kesultanan Aceh yang dapat mengembangkan Islam dengan gemilang. Bertebaran ulama di sana yang menyebarkan Islam, sehingga menjadi tempat singgahnya ulama dan thalabah dari berbagai penjuru seperi Maulana Ishaq, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Syaikh Abdurrauf al-Singkeli, Syaikh Nurudin al-Raniri, Syaikh Yusuf al-Maqassari, dan Syaikh Muhyi Pamijahan

Selama memimpin Kesultanan Aceh, Sulthanah Shafiatuddin Syah tidak hanya melibatkan ulama dari kalangan lelaki saja, namun juga ia mengangkat orang-orang penting kerajaan dari kalangan perempuan, seperti halnya Si Nyak Bunga, Si Halifah, Si Sanah, Munabinah, Siti Cahaya, Mahkiyah, Si Bukih, Si Nyak Ukat, Si Nyak Puan, Nadisah, Si Jibah, Uli Puan, Siti Awan, Si Nyak Angka, Si Nyak Tampli, Si Mawar, dan Si Manis. Mereka duduk dalam anggota dewan harian pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam.

Dari fakta sejarah di atas, membuktikan bahwa Islam tidaklah mengekang (membatasi) karier seorang perempuan, selagi masalah tersebut tidak bertentangan dengan syariat-Nya. perempuan diberi ruang yang cukup luas untuk ikut memerintah, bahkan menjadi penguasa dalam sebuah kerajaan. Sehingga, dari saksi sejarah yang terukir tersebut, tidaklah benar apa yang dikatakan oleh kaum orientalis seperti Snock Hurgronje yang memutar balikkan fakta sejarah yang ada di Nusantara tentang masalah perempuan. Ia mengatakan bahwa perempuan dapat dikatakan baligh jika sudah menikah.

Pertanyaan tersebut datangnya dari Raden Ajeng Kartini. Kartini merasa terkekang sebab aturan Islam yang dianggap telah membatasi dirinya, sehingga tidak bisa keluar untuk mencari ilmu sebagaimana kaum lelaki. Perempuan di masanya boleh keluar rumah, jika sudah baligh atau sudah menikah. Jika yang terjadi demikian, kandaslah cita-citanya untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi mungkin, sebab apabila seorang sudah menikah, maka ia akan disibukkan dengan urusan rumah tangganya. Pendidikannya bisa saja kandas di tengah jalan.

Baca Juga: Sejarah Kedudukan dan Peran Ulama Perempuan

Melalui perjuangan yang panjang, perempuan Nusantara telah menorehkan tinta emas yang mengangkat nama bangsa. Perempuan yang sering diidentikan dengan konco wingking (yang hanya bisa mengurus dapur dan merawat anak-anak serta melayani suami), ternyata kariernya ada yang dapat melampui laki-laki, melejit tinggi, seperti para sulthanah dan ulama di atas, yang kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh generasi setelahnya seperti Cut Nyak Dien, Syaikhah Fathimah al-Palimbani, Syaikhah Fathimah Rokan, Syaikhah Zainab al-Jukjawi (murid Syaikh Baqir al-Jukjawi), Syaikhah Rahmah el-Yunusiyah, dan Syaikhah Khairiyah Hasyim. Prestasi mereka tidak hanya diakui tingkat lokal daerah, namun menusantara, bahkan ada yang mendunia melalui media Haramain dan Universitas al-Azhar Mesir.


*Artikel ini bersumber dari buku Amirul Ulum, Nyai Khoiriyah Hasyim Asy’ari Pendiri Madrasah Kuttabul Banat di Haramain



Penulis: Ilvi Mariana
Editor: Rara Zarary