
Memasuki tahun 1980-an Kiai Musthafa Yaqub melanjutkan studi pendidikannya ke luar negeri seperti di Arab Saudi yang mendapatkan beasiswa dan mendapatkan kategori predikat License (Lc). Pada tahun 1980, Kiai Mustafa Yaqub melanjutkan Pendidikan juga di di Universitas King Riyadh, di Departemen Studi Islam spesialisasi Tafsir dan Hadis hingga mendapatkan predikat master di tahun 1985.
Seusai menempuh studi pendidikan yang telah disebutkan sebelumnya, Kiai Mustahfa Yaqub mengutarakan keinginan serta cita-citanya untuk bisa merantau ke Papua, untuk dapat mengadikan ilmunya. Menurutnya, merantau ke daerah peloksok negeri yang masih sangat minim dengan agam Islam adalah tantangan tersendiri untuk menyiarkan risalah-risalah dan dakwah agama Islam di Indonesia. keinginan tersebut pernah disampaikan oleh beliau di suatu kesempatan pengajian bersama para santri-santrinya.
Baca Juga: KH. Musthafa Yaqub, Pendekar Sunnah dari Tebuireng (I)
“Asal kalian tahu, saya bercita-cita merantau ke Papua. Lalu di sana saya mempunyai gubuk, rumah dan jika bisa juga surau di pelosok Papua sana. Lalu sehari-hari saya membimbing masyarakat dan anak-anak untuk ngaji dan mengenal Islam di sana, juga bertani dan berkebun,”
Sayangnya Impian tersebut belum tercapai sampai pada akhir hayatnya beliau. Dikarenakan beliau diminta oleh ketiga gurunya untuk bertempat tinggal di Jakarta. Ketiga sosok guru tersebut adalah. KH. Ibrahim Hosen (Rektor IIQ dan anggota MUI), KH. Syansuri Badawi (gurunya saar di Pesantren Tebuireng) dan juga KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal yang dikatakan oleh ketiga gurunya, salah satunya adalah bahwa berdakwah tidak harus bertepat di daeran terpencil. Berdakwah di Jakarta, dengan segala persoalan dan promblematikanya adalah lahan dakwah yang sebuah upaya perjuangan yang sangat amat berarti.
Menapaki Karir dan Bekiprah di Jakarta
Saat bertempat tinggal di Jakarta, beliau aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi. Tercatat antara lain; lmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, STAI Al Hamidiyah juga IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN). Bidang yang diajarkan terutama adalah sesuai kecakapan ia, yaitu bidang studi agama khususnya hadis dan ilmu hadis.
Tidak hanya aktif sebagai seorang akademisi saja, beliau juga cukup aktif di berbagai organisasi dan Lembaga. Pada tahun 2005 sampai 2016, beliau dipercaya untuk menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal. Kemudian, di tahun 2010 sampai 2016, beliau melibatkan diri dan turut aktif di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Bidang Fatwa.
Selain itu beliau juga aktif di Majelis Ulama Indonesia dan menjadi anggota Komisi Farwam sejak tahun 1986 hingga 2005, Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI sejak 1997 sampai 2010, juga Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI sejak 2005 sampai 2010. Terakhir sejak 2015, bersama beberapa ulama, ia menggagas organisasi Ikatan Persaudaraan Imam Masjid (IPIM) se-Indonesia.
Baca Juga: Abah Guru Sekumpul, Ulama Kharismatik dari Kota Banjar
Meskipun belum menyelesaikan Pendidikan doctoral, beliau dipercaya dan diangkat menjadi Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis di IIQ pada tahun 1998. Adapun beliau baru menyelesaikan jejang doctoral pada 2006 di Universitas Nizhamia, Hyderabad, India di bawah bimbingan Syekh M. Hassan Hitou, seorang Guru Besar Fikih Islam dan Ushul Fiqh Universitas Kuwait serta Direktur salah satu lembaga studi Islam internasional yang berpusat di Frankfurt, Jerman. Atas kiprah dakwah Islam di Indoensia, pada tahun 2008, beliau mendapatkan penhargaa Lencana Wirakarya dari Presiden RI.
Selain aktif di berbagai organisasi, beliau juga tercatat pernah menjadi penasihat di Lembaga-lembaga keislaman di luar negeri yakni di Amerika Serikat yang menjadi penasihat Sharia Halal Transactions of Omaha (2010-2016), lalu penasehat lembaga keagamaan Darul Uloom New York (2013-2016).
Hidup Untuk Berkarya
Salah satu dakwah beliau yang paling digeluti adalah, dakwah dengan tulisan. Hal inilah yang menjadi teladan tersendiri oleh Kiai Mustahfa Yaqub yang sangat produktif dalam menghasilkan banyak karya tulis. Karya-karya tulisan beliau menyangkut berbagai isu dan juga tema, seperti ilmu hadis, hukum Islam, pandangan-pandangn tentang dunia keislaman, sampai pada kisah-kisah sederhana yang penuh hikmah.
Baginya berdkawah melalui tulisan justru melahirkan banyak manfaatnya daripada dakwah yang harus dilakukan melalui lisan saja. Baginya tulisan akan tetap kekal walaupun penulisnya sudah meninggal dunia (al-khattu yabqa zamanan fil ardhi wal katibul khatti tahta al-ardhi madfunun).
“Wa la tamutunna illa wa antum katibun. Jangan mati kecuali kamu sudah menulis karya,” Adapun beberapa karya beliau yang tercatat antara lain;
Imam Bukhari Dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadis (1991); Kritik Hadis (1995); Peran Ilmu Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam (1999); MM A’zamî Pembela Eksistensi Hadis (2002); Hadis-Hadis Bermasalah (2003); dan Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003). Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat Dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2009); Nikah Beda Agama Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2005); dan Imam Perempuan (2006) Nasihat Nabi Kepada Pembaca Dan Penghafal al-Qur’an (1990).
Baca Juga: 3 Tokoh Besar Tebuireng, Menjaga Martabat Islam Melalui Tulisan
Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi (1997); Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2000); Pengajian Ramadhan Kiai Duladi (2003); Toleransi Antar Umat Beragama (2008); Ada Bawal Kok Pilih Tiram (2008); dan 24 Menit Bersama Obama (2010). Islam Masa Kini (2001); Fatwa-Fatwa Masa Kini (2002); Haji Pengabdi Setan (2006); Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007); Provokator Haji (2009); Islam Between War and Peace (2009) (buku ini merupakan buku yang dihadiahkan kepada Obama saat berkunjung ke Istiqlal); dan Islam di Amerika (2009). Islam is not Only for Muslim, Titik-Temu NU-Wahabi, al-Wahabiyah wa Nahdlatul Ulama: Ittifaqun fi al-Ushul la Ikhtilaf.
Penulis: Dimas Setyawan Saputro
Editor: Rara Zarary