
Di zaman serba cepat ini, terutama di tengah generasi yang tumbuh bersama media sosial dan budaya “FOMO” (fear of missing out), relasi seolah berubah makna. Pertemanan tidak lagi sekadar koneksi hati atau kecocokan nilai, tapi sering kali terasa seperti transaksi diam-diam, siapa yang bisa mengikuti gaya hidup siapa. Di balik unggahan foto-foto ngopi di kafe estetik, outfit branded, atau healing tipis-tipis ke Bali, ada standar tak tertulis yang membuat sebagian orang merasa harus menyesuaikan diri atau tertinggal.
Kita kenal istilah “gaul”, “relevan”, atau “update”. Tapi sampai kapan kita harus terus mengejar agar bisa masuk dalam lingkaran pertemanan tertentu? Kenapa rasanya kalau kita nggak pakai outfit dari brand tertentu, nggak ikut nongkrong di tempat mahal, atau nggak punya uang lebih buat liburan dadakan, langsung dianggap “nggak sefrekuensi”?
Pertanyaan penting pun muncul “apakah relasi hari ini benar-benar tentang koneksi, atau hanya transaksi?”. Banyak dari kita mungkin terlalu banyak pernah merasa harus menyamakan gaya hidup demi bisa diterima dalam satu circle. Ketika teman-teman memutuskan untuk staycation di hotel bintang empat, kita ikut patungan walau harus ngutang. Ketika mereka nongkrong di kafe mahal, kita pesan air mineral agar tetap bisa duduk bersama. Semua dilakukan hanya agar tak dicap “nggak solid”, “nggak loyal”, atau “nggak bisa diajak seru-seruan”.
Baca Juga: Renungan untuk Mereka yang Sedang Bingung Hidup
Apalagi bagi mereka yang hidup dengan tanggungan keluarga, yang setiap rupiah punya prioritas dan makna. Mengorbankan pengeluaran demi terlihat ‘mampu’ jelas menyakitkan bukan hanya secara finansial, tapi juga emosional. Ada rasa tertelan gengsi, rasa malu karena jadi satu-satunya yang ‘beda’, dan yang paling menyakitkan, rasa tidak diterima apa adanya.
Fenomena ini membuat kita mempertanyakan ulang makna relasi. Jika kehadiran kita dihargai hanya saat bisa memberi kesan “setara” dalam hal finansial atau gaya hidup, apakah itu benar-benar pertemanan? Ataukah sekadar transaksi sosial, di mana eksistensi kita dibayar dengan kemampuan menyesuaikan standar?
Si Kaya untuk Si Kaya, Si Miskin untuk Si Miskin
Kalimat ini terdengar kejam, namun dalam realita sosial, ada benarnya. Dalam banyak kasus, orang-orang akhirnya membentuk circle berdasarkan “kemampuan bertahan di gaya hidup”. Bukan lagi kecocokan visi, prinsip, atau hati.
Si kaya nyaman dengan gaya hidup yang bisa dibagi dengan sesama si kaya. Sementara si miskin atau mereka yang hidup dengan prinsip “mendang mending” harus realistis mencari teman yang memahami dan tidak menuntut lebih dari kemampuan. Akibatnya? Banyak dari kita merasa terjebak di antara dua pilihan menyakitkan, berteman tapi pura-pura mampu, atau jujur tapi merasa kesepian.
Baca Juga: Menjaga Lingkaran Pertemanan yang Sehat
Generasi Z yang terkenal vokal dan terbuka ternyata tetap terperangkap dalam sistem nilai sosial yang timpang. Ada tekanan sosial yang halus tapi nyata: jika kamu tidak sejalan dengan tren, kamu akan tertinggal. Jika kamu tidak bisa mengikuti gaya hidup mereka, kamu dianggap tidak sepemikiran.
Padahal tidak semua orang punya latar belakang dan beban hidup yang sama. Tidak semua orang bisa dengan enteng keluar uang ratusan ribu untuk nongkrong. Tidak semua orang bisa healing ketika batin lelah, karena healing saja butuh biaya.
Kita perlu mulai mengedukasi diri sendiri dan lingkungan bahwa relasi yang sehat tidak berangkat dari kesamaan status ekonomi atau gaya hidup, tapi dari penerimaan. Bahwa teman yang baik bukan yang mengajakmu ke tempat mahal, tapi yang bisa mendengarkan keluh kesahmu bahkan di warung kopi pinggir jalan.
Generasi Z punya potensi besar untuk meredefinisi pertemanan. Kita bisa memilih untuk menciptakan ruang aman, di mana tidak ada yang perlu berpura-pura atau merasa rendah diri. Di mana kehadiran dihargai karena keberadaan, bukan karena gaya hidup.
Persahabatan sejati adalah tempat di mana kamu bisa datang dengan sisa uang di dompet, tapi tetap disambut hangat. Tempat di mana kamu tidak ditanya, “Kamu bisa ikut nggak?” tapi lebih kepada, “Kalau nggak bisa ikut pun nggak masalah, yang penting kamu tetap nyaman.”
Mungkin ini pertanyaan yang layak kita tanyakan ke diri sendiri: kapan terakhir kali kita merasa benar-benar diterima tanpa perlu menyamakan standar? Kapan terakhir kali kita berteman tanpa rasa takut dihakimi karena hidup kita lebih ‘hemat’?
Kalau jawabannya terlalu lama, mungkin memang saatnya menyaring ulang relasi. Bukan dengan rasa benci atau menyalahkan siapa pun, tapi dengan keberanian untuk memilih yang lebih sehat.
Baca Juga: Memahami Etika dalam Berbisnis
Relasi tidak seharusnya jadi beban. Tidak seharusnya membuat kita merasa ‘kurang’. Relasi, kalau mau didefinisikan ulang, seharusnya jadi tempat pulang bukan tempat berpura-pura.
Jadi, apakah benar relasi sekarang sekadar transaksi?, Tergantung siapa yang membangun dan bagaimana kita memaknainya. Tapi satu hal pasti, kita semua punya hak untuk memiliki teman yang menerima kita sepenuhnya. Yang tak peduli apakah kita bisa ikut ngopi di tempat fancy atau tidak. Yang tetap menganggap kita berharga meski kita hanya bisa memberi waktu, tawa, dan kejujuran bukan dompet yang tebal.
Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary