Di tengah denting takbir yang menggetarkan langit-langit kota, kita kembali berdiri di hadapan hari raya yang tak hanya mengingatkan pada pengorbanan, tapi juga menyodorkan cermin paling jujur tentang hasrat manusia: rasa ingin memiliki, rasa paling memiliki, dan akhirnya, lupa bahwa segalanya adalah milik Yang Maha Memiliki. Idul Adha bukan semata perayaan religius; ia adalah palimpsest spiritual yang terus-menerus menuliskan ulang pertanyaan paling esensial dalam hidup manusia: apa yang benar-benar kita miliki?

Setiap manusia, dalam takdirnya yang khas dan nasibnya yang samar, adalah ‘Ibrahim’ bagi dirinya sendiri. Dan setiap orang, entah disadari atau tidak, memiliki ‘Ismail’-nya sendiri: anak yang dicintai, harta yang dikumpulkan, jabatan yang diperjuangkan, pasangan yang dijaga, bahkan ideologi yang diimani. ‘Ismail’ bukan sekadar simbol, melainkan representasi dari titik-titik paling melekat dalam identitas seseorang. Apa yang kita enggan lepaskan, di situlah ‘Ismail’ kita bersemayam.

Namun Allah, dalam kehadiran-Nya yang subtil, senantiasa memanggil manusia untuk naik ke panggung ujian. Seperti kata Søren Kierkegaard, “Faith is the greatest passion in a human being.” Tapi iman bukanlah rasa yang ringan; ia adalah lompatan ke dalam ketidaktahuan, dan pengorbanan atas kepastian. Ibrahim, dalam laku spiritualnya, adalah personifikasi dari keberanian melampaui rasa paling memiliki. Ia melepaskan bukan karena ia tidak mencintai, tapi justru karena ia terlalu mencintai dan sadar, cinta yang terlalu kuat bisa menenggelamkan kita dalam ilusi kepemilikan mutlak.

Rasa memiliki yang berlebihan adalah akar dari banyak kehancuran modern. Di balik kerakusan pasar, kehancuran ekologis, hingga kerak-kerak otoritarianisme yang menindas atas nama kebaikan, tersembunyi satu penyakit jiwa: keserakahan atas kepemilikan. Dalam “The Human Condition“, Hannah Arendt mencatat bahwa ketika manusia lupa akan batasan dirinya sebagai makhluk yang fana, ia mulai merusak tatanan sosial dan moral demi meneguhkan ilusi eksistensialnya: bahwa ia adalah pemilik dunia. Padahal, dalam kacamata sufistik Ibn ‘Arabi, manusia hanyalah ‘amanah’ makhluk yang dititipi, bukan yang memiliki.

Sayangnya, dalam masyarakat yang kian digerakkan oleh narasi konsumsi dan supremasi ego, kita membangun tatanan hidup yang radikal dalam kepemilikan. Bahkan kebaikan, ketika digenggam terlalu erat dan diperjuangkan secara eksklusif, menjadi monster yang menindas. Kita menyaksikan ini dalam wajah religiusitas yang fanatik, dalam politik identitas yang bising, dalam klaim-klaim moral yang merasa paling benar. Simone Weil dengan tajam menyatakan, “Attachment is the great fabricator of illusions; reality can be attained only by someone who is detached.” Dan mungkin itulah misi terdalam dari Idul Adha: penghancuran ilusi kepemilikan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Momentum Idul Adha, jika direfleksikan secara jernih, adalah kritik spiritual terhadap segala bentuk “radikalisme kepemilikan”. Manusia yang terlalu merasa memiliki cenderung membabi buta mempertahankan, bahkan ketika itu menyakitkan dirinya dan sekitarnya. Ia menjadi hamba dari apa yang dimilikinya, bukan sebaliknya. Erich Fromm dalam To Have or To Be? menawarkan dikotomi eksistensial antara “memiliki” dan “menjadi”. Dalam paradigma “memiliki”, nilai manusia ditakar dari kepemilikan: tanah, pengikut, citra, kekuasaan. Namun dalam paradigma “menjadi”, manusia kembali ke asalnya: hamba yang mengalami, bukan menguasai.

Apa artinya ikhlas, kalau bukan keberanian untuk tidak menggenggam terlalu erat? Melepaskan bukanlah kehilangan, tapi justru jalan menuju keseimbangan. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang menyadari bahwa ia bukan pusat dari segala sesuatu. Ia sadar bahwa segala hal yang paling dicintai pun bisa menjadi berhala jika tidak diposisikan secara benar. Dalam konteks kekinian, di mana narsisisme digital dan keterikatan material tumbuh begitu agresif, tafsir tentang Ibrahim dan Ismail menjadi sangat relevan sebagai narasi tandingan terhadap ideologi kepemilikan absolut.

Namun, adakah ruang bagi kita untuk menghidupi nilai-nilai ini, ataukah kita akan terus terseret oleh derasnya arus zaman? Mungkinkah di dunia yang digerakkan oleh kecepatan dan kepemilikan, kita masih bisa berhenti sejenak untuk bertanya: apakah yang kita genggam ini milik kita, ataukah kita yang telah digenggam olehnya?

Esai ini bukanlah akhir, tapi undangan. Undangan untuk menafsir ulang, dengan jujur dan radikal, apa makna memiliki, dan kapan kita harus rela melepaskan. Mungkin, seperti Ibrahim, kita pun harus naik ke bukit ujian, membawa Ismail kita masing-masing. Dan di sana, dalam sepi yang sakral, kita akan menemukan bahwa ikhlas bukan sekadar menyerah — tapi tindakan paling revolusioner dalam menghadapi dunia yang gemar menggenggam terlalu erat. Apakah kita cukup berani untuk tidak merasa memiliki apapun, agar akhirnya bisa menjadi manusia seutuhnya.

Baca Juga: Ibadah Kurban dan Teladan Kesabaran Nabi Ismail


Penulis: Fileski Walidha Tanjung, seorang penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, cerpen di berbagai media nasional.

Editor: Muh Sutan