Ilustrasi perempuan yang tak memiliki ruang aman bahkan dalam keluarganya sendiri. (sumber: univ.airlangga)

Dalam dinamika sosial dan budaya yang masih sangat patriarkal, perempuan kerap kali menghadapi tantangan besar untuk menemukan ruang aman, terlebih dalam lingkungan yang seharusnya paling melindungi dan mencintainya, yaitu keluarga. Ruang aman bukan semata tempat fisik, melainkan juga kondisi psikologis dan spiritual yang memungkinkan seseorang untuk merasa dihargai, didengar, dan diterima seutuhnya.

Bagi perempuan, ruang aman ini menjadi kebutuhan mendasar untuk bisa tumbuh, berpikir, dan berperan secara utuh sebagai manusia. Namun kenyataannya, banyak perempuan masih dipandang sebatas tubuh biologis dan bukan sebagai entitas yang utuh dengan spiritualitas, intelektualitas, dan martabat kemanusiaannya.

Dalam banyak budaya, tubuh perempuan telah lama menjadi medan pertempuran berbagai kekuasaan. Dari iklan, budaya populer, hingga relasi dalam rumah tangga, tubuh perempuan kerap diposisikan sebagai objek, baik objek pandangan, hasrat, maupun kontrol. Dalam keluarga, tekanan ini tidak hilang. Ia sering kali justru menguat dalam bentuk tuntutan terhadap penampilan, kewajiban melayani, hingga tekanan untuk melahirkan dan mengasuh tanpa mengeluh.

Baca Juga: Ning Rika Ungkap Cara Hadapi Pelecehan Seksual

Reduksi perempuan hanya sebagai makhluk biologis menjadikan perempuan rentan kehilangan ruang aman bahkan dalam rumahnya sendiri. Ketika perempuan dipaksa memenuhi peran-peran biologis semata, sebagai istri yang melayani suami, sebagai ibu yang sempurna, sebagai anak perempuan yang patuh, maka ia terperangkap dalam struktur yang menolak pengakuan terhadap dimensi spiritual dan intelektual dirinya. Tubuhnya dilihat sebagai fungsi bukan sebagai bagian dari pribadi yang utuh.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ruang Aman yang Harusnya Didapatkan dalam Keluarga

Idealnya, keluarga adalah tempat pertama dan utama di mana seseorang merasa aman dan diterima. Namun bagi banyak perempuan, keluarga justru menjadi tempat pertama di mana tubuhnya diatur, pikirannya dikecilkan, dan spiritualitasnya diabaikan. Ketika suara perempuan dalam keluarga tidak didengar, ketika keputusannya tidak dihargai, dan ketika emosinya tidak dianggap penting, maka perempuan hidup dalam ketidakadilan yang diam-diam namun menggerogoti.

Dalam peran sebagai anak, misalnya, banyak perempuan masih terkekang dengan aturan mengikat dan merugikan dalam keluarga, perempuan dianggap hak milih ayah, lalu jika nanti menikah dianggap hak milik suami, perempuan masih dinilai sebagai barang transaksional atau dagangan, di mana hanya dinilai sebagai makhluk biologis.

Kemudian saat perempuan menjadi seorang istri, misalnya, ia masih harus menjalani relasi yang timpang di mana hak seksual suami dianggap lebih tinggi dibanding hak perempuan atas tubuhnya sendiri. Dalam konteks ini, relasi suami-istri bisa jatuh pada relasi kuasa yang tidak sehat, di mana perempuan dianggap sebagai pemuas, bukan sebagai subjek spiritual yang juga punya kehendak, perasaan, dan nilai-nilai.

Sebagai ibu, perempuan juga tidak jarang dipaksa mengorbankan seluruh identitas dirinya demi menjadi sosok pengasuh yang sempurna. Ruang untuk bertumbuh secara intelektual, untuk berkarya, atau bahkan sekadar untuk istirahat, kerap kali diambil tanpa negosiasi. Pengorbanan ini, yang sering dirayakan sebagai cinta, dalam banyak kasus justru menjadi bentuk penghapusan diri secara perlahan.

Baca Juga: Pentingnya Kesadaran untuk Mencegah Kasus Pornografi Anak

Oleh karena itu, untuk menciptakan ruang aman, perempuan pertama-tama perlu membangun kesadaran bahwa dirinya adalah manusia yang utuh, bukan bagian, bukan alat, bukan pelengkap. Kesadaran ini menjadi pondasi bagi perempuan untuk menuntut haknya didengar, dihormati, dan diakui sebagai subjek dalam keluarganya. Kesadaran ini juga melahirkan keberanian untuk menetapkan batas, mengatakan tidak, dan menyuarakan ketidaknyamanan tanpa rasa bersalah.

Namun kesadaran saja tidak cukup. Perempuan juga perlu akses pada pendidikan, jaringan sosial, dan dukungan institusional yang memungkinkan mereka mengembangkan potensi intelektual dan spiritualnya. Pendidikan bukan hanya tentang gelar, tetapi tentang kemampuan berpikir kritis, membuat keputusan, dan memahami hak-hak diri. Dalam keluarga, pendidikan juga menciptakan ruang dialog: bahwa perempuan bisa dan boleh berbeda pendapat, bahwa suaranya sah, dan bahwa pilihannya valid.

Kemandirian ekonomi juga menjadi aspek penting dalam menciptakan ruang aman. Perempuan yang memiliki kendali atas sumber daya ekonomi lebih mampu menetapkan batas dalam relasi yang tidak sehat. Ia tidak terperangkap dalam ketergantungan yang membungkam atau memaksa untuk bertahan dalam kekerasan domestik. Kemandirian ini bukan soal menyaingi laki-laki, tetapi soal memiliki otonomi atas hidup sendiri.

Menjadi Makhluk Spiritual dan Intelektual

Perempuan adalah makhluk spiritual, sebagaimana laki-laki. Ia tidak hanya berhak atas tubuhnya, tetapi juga atas jiwanya. Ia berhak untuk mencari makna, mendalami iman, mempertanyakan nilai, dan membangun relasi yang sehat dengan Tuhan, bukan karena peran sosialnya, tetapi karena ia manusia. Ketika perempuan didorong untuk menumbuhkan dimensi spiritual ini, maka ia tidak mudah dikendalikan atas nama agama yang disalahgunakan. Ia bisa menafsirkan keyakinannya dengan sadar, kritis, dan membebaskan.

Demikian juga dengan intelektualitas. Sejarah telah membuktikan bahwa perempuan mampu berpikir, mencipta, dan menginspirasi. Namun budaya yang meremehkan kecerdasan perempuan membuat banyak dari mereka kehilangan kepercayaan diri atau tidak pernah diberi kesempatan. Ruang aman dalam keluarga memungkinkan perempuan untuk bertanya, belajar, dan tumbuh tanpa takut disalahkan atau dikecilkan.

Baca Juga: Edukasi Kesehatan Reproduksi Sejak Dini, Selamatkan Masa Depan Perempuan

Di hadapan Tuhan, perempuan adalah hamba, bukan budak. Artinya, ia memiliki kehendak, akal, dan tanggung jawab. Ia tidak diciptakan untuk melayani nafsu atau tunduk pada kehendak manusia lain tanpa batas. Relasi yang sehat dalam keluarga adalah relasi antarmanusia, bukan relasi tuan dan budak. Suami bukan majikan, dan istri bukan pelayan. Anak perempuan bukan investasi yang dijaga ketat, melainkan manusia yang perlu dibimbing dengan cinta dan pengertian.

Keluarga yang sadar akan kesetaraan spiritual ini akan membangun relasi yang sehat dan saling menghormati. Ia menjadi ruang aman di mana semua anggotanya, termasuk perempuan, bisa merasa dicintai bukan karena fungsi atau penampilannya, tetapi karena siapa dirinya sebagai manusia.

Menciptakan ruang aman bagi perempuan dalam keluarga adalah proyek besar yang membutuhkan perubahan budaya, pendidikan, dan kesadaran spiritual. Ia tidak bisa diselesaikan hanya dengan seruan moral, tetapi dengan tindakan nyata, dari mendengarkan perempuan, menghormati batasannya, hingga menyediakan ruang bagi tumbuhnya potensi intelektual dan spiritualnya.

Baca Juga: Urusan Perempuan, dari Privasi hingga Publik

Perempuan tidak boleh terus-menerus dipenjara oleh tubuhnya sendiri, oleh ekspektasi sosial yang menyempitkan, atau oleh tafsir agama yang membungkam. Ia adalah manusia utuh: berpikir, merasa, berdoa, mencinta, dan memilih. Ketika keluarga menjadi ruang yang mengakui dan memelihara keutuhan ini, maka keluarga bukan lagi tempat persembunyian, melainkan tempat pembebasan.



Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary