KH. AR. Fachruddin, tokoh Muhammadiyah yang menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah selama 22 tahun. (sumber: yan’sproduction)

Organisasi Muhammadiyah berdiri sebagai alternatif dari berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia  sekitar  akhir  abad  ke-19  dan  awal abad ke-20. James  L Peacock  menegaskan bahwa Muhammadiyah  merupakan  gerakan Islam  terluas  yang  ada  di  kalangan  gerakan Islam di Asia Tenggara, bahkan mungkin di seluruh dunia Islam dengan melihat jumlah anggota gerakan ini yang tersebar Iuas bukan saja di Indonesia melainkan juga Malaysia, Penang, dan Singapura.

Sebelum berdirinya Muhammadiyah telah muncul organisasi lain seperti SI (Sarekat Islam) yang  lahir  pada  tahun  1905. Namun menurut Mukti Ali, salah satu ciri gerakan   yang   bernuansa   Islam   baru   dapat disebut modern manakala gerakan keagamaan tersebut menggunakan metode organisasi. Oleh karena itu Muhammadiyah sejak awal kelahirannya juga telah menggunakan metode organisasi, berdasarkan   parameter   tersebut,   Muhammadiyah dapat pula disebut sebagai sebuah organisasi dakwah Islam yang modern.

Pada masa Orde baru Muhammadiyah dipimpin oleh KH. A.R. Fachruddin, beliau memimpin Muhammadiyah dalam kurun waktu 22 tahun. Pada masa kepemimpinannya, KH. A.R. Fachruddin banyak melakukan rangkain pembaharuan pemikiran di berbagai bidang, mulai dari dakwah islam, ideologi, pendidikan.

PROFIL KH. A.R. FACHRUDDIN

KH. A.R. Fachruddin dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1916, di Pakualam, Yogyakarta. Ayahnya bernama KH. Fachruddin atau Kiai Imam Puro, seorang Lurah Naib atau penghulu dari Puro  Pakualam  yang  diangkat oleh Kakek Sri Paduka Paku Alam VIII, yang berasal dari Bleberan, Brosot, Galur, Kulonprog Ibunya bernama Maimunnah binti KH. Idris Pakualam atau yang akrab dipanggil Nyai Fachruddin. KH. A.R. Facruddin dan saudara-saudaranya berjumlah 10 orang, di antaranya   yang   telah   meninggal   dua   orang waktu masih kecil.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Baca Juga: Titik Temu Resolusi Jihad NU dan Amanat Jihad Muhammadiyah

Pada tahun 1937, ketika KH. A.R. Fachruddin sedang liburan Ramadhan di Yogyakarta, kemudian beliau dijodohkan oleh ibunya Nyai Fachruddin, dengan Siti Komariyah putri pamannya  Kiai  Abu  Amar.  Pada  tanggal  28 Ramadhan  1337  Hijriyyah  atau  1  Desember 1937 Masehi. Dalam pernikahanya ini KH. A.R. Fachruddin dikaruniai tujuh orang anak. Rumah tangganya tampak harmonis dan Islami. Shalat   berjamaah   selalu   dianjurkan dalam keluarga.

Mengenai amaliyah tuntunan agama Islam, KH. AR Fachruddin mengajak putra-putrinya melakukan puasa sunnah  Senin dan Kamis. KH. A.R. Fachruddin sangat memperhatikan pendidikan putra-putrinya dan melatih anak-anaknya untuk bertanggung jawab. Karena itu, sejak kecil mereka dibiasakan membantu pekerjaan di rumah. Di samping itu, putra-purinya dididik agar tidak menjadi orang yang gumunan (merasa heran). Prihal pendidikan dan jodoh, KH. A.R. Fachruddin memberi kebebasan menurut pilihan mereka sendiri-sendiri. KH. A.R Fachruddin menganjurkan agar memilih pendidikan sesuai dengan bakat dan minat masing-masing.

Jenjang pendidikan KH. A.R. Fachruddin dimulai di Standaard School Muhammadiyah Bausasran, Kecamatan Danurejan Yogyakarta. Setelah ayahnya tidak menjadi penghulu dan usaha dagang batiknya juga jatuh, KH. A.R. Fachruddin pulang ke desanya pada tahun 1925

Kemudia ia pindah ke sekolah Standaard School (Sekolah Dasar) Muhammadiyah Prenggan, Kotagede, Yogyakarta.  Ketika  duduk  di  kelas  tiga,  ia tinggal bersama keluarga kakaknya. Kemudian ia melanjutkan ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Setelah dua tahun belajar di Madrasah Muallimin, ayahnya memanggilnya untuk pulang ke Bleberan.

Di tanah kelahirannya Bleberan, KH. A.R. Fachruddin belajar mengaji kepada beberapa Ulama di sana, seperti ayahnya sendiri KH. Fachruddin, KH. Abdullah Rosad dan KH. Abu Amar. Sedangkan pada malam hari setiap ba’da Magrib kurang lebih jam 21.00, KH. A.R. Fachruddin belajar di Madrasah Wustha Muhammadiyah Wanapeti, Sewugalur, Kulon Progo.

Dua  tahun  setelah  ayahnya  meninggal dunia, yaitu pada tahun 1932, KH. AR Fachruddin belajar di Madarasah Dami Ulum Muhammadiyah Wanapeti, dan berhasil tamat pada tahun 1935. Kemudian KH. A.R Fachruddin melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Tablig School (Madrasah Muballigin) Muhammadiyah kelas tiga di Kampung Suronatan, Yogyakarta.

Baca Juga: Muhammadiyah Hadir sebagai Agen Perubahan di Era Neuroteknologi

Adapun sepak terjangnya di organisasi Muhammadiyah mula-mula KH. A.R. Fachruddin dipercayakan menjadi Ketua Daerah Kota Madya Yogyakarta (1950-1951), kemudia Ketua Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) (1952-1953) dan menjadi pembantu PP Muhammadiyah. Pada tahun 1956 KH. A.R. Fachruddin menjadi anggota PP Muhammadiyah  dan  sebagai wakil  ketua pada Muktamar ke-35 (setengah abad Muhammadiyah) di Jakarta.

KH. A.R. Fachruddin menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun l968  sehubungan  dengan  wafatnya K.H Faqih Usman. Pada Sidang Tanwir di Ponorogo Jawa Timur tahun 1969, KH. A.R. Fachruddin akhirnya dikukuhkan menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan pada tahun 1971. Sejak saat itulah KH. A.R. Fachruddin terpilih secara berturut-turut dalam tiga kali Muktamar Muhammadiyah untuk periode 1971-1974, 1974-1978, 1978-1985.

Salah satu perestasi yang sulit ditandingi dalam masa kepemimpinannya adalah model kepemimpinan yang merakyat. Artinya sebagai pemimpin KH. A.R. Fachruddin sangat dekat dengan masa yang dipimpinnya. Hal ini dibuktikan dengan keikhlasanya  terjun  ke  daerah–daerah  hingga yang paling pelosok sekalipun. Kondisi yang demikian  ini  memang  ditunjang  oleh keteladanan KH. A.R. Fachruddin dalam ber- Muhamadiayah, selama duduk sebagai ketua PP Muhammadiyah tidak ada jabatan lain selain jabatan ketua tersebut sehingga hal tersebut menambah kepercayaan umat bahwa pimpinan mereka benar–benar memikirkan orang yang dipimpinya.

Salah satu kelebihan dari KH. A.R. Fachruddin adalah karena A.R. Fachruddin mampu menjadi jembatan antara kekuatan masyarakat dan ummat yang awam dengan kelompok intelektual maupun ulama. KH. A.R. Fachruddin  berada  di  tengah–tengah  serta mampu menerima segala pandangan yang berbeda. Itulah kekuatan sekaligus kemampuan kharismatik keagamaan yang dimilikinya.



Penulis: Dimas Setyawan