
Kematian bagi sebagian orang, adalah akhir yang menyedihkan, penuh air mata, dan bunga tabur. Tapi tidak demikian bagi warga Nahdlatul Ulama (NU). Di tangan mereka, kematian bisa jadi ajang silaturahmi, ladang amal, bahkan kesempatan memperbarui hubungan sosial dan tentu saja, menikmati nasi berkat yang legendaris itu.
Bagi warga NU, kematian bukanlah peristiwa yang sekadar ditangisi. Itu justru momen sakral yang penuh berkah. Mereka punya cara sendiri merayakan kematian. Ya, betul, merayakan. Bukan seperti pesta ulang tahun sih, tapi tetap saja: ada undangan, ada konsumsi, ada pengajian, dan jika anggaran memungkinkan sound system yang bisa bikin Gus Dur bangkit dari kubur untuk ikut berjoget.
Tahlilan, Ritus Kematian yang Bikin Tetangga Rukun
Begitu ada kabar “Pak Slamet wafat tadi Subuh,” warga kampung khususnya ibu-ibu dan bapak-bapak NU tulen langsung bertransformasi. Ibu-ibu jadi tim konsumsi dadakan. Satu kelompok mengupas bawang, satu lagi motong tempe, dan sisanya debat tentang siapa yang paling rajin ikut tahlilan tahun lalu.
Sementara bapak-bapak akan bergerak cepat ke masjid, meminjam tikar, alat pengeras suara, dan menyiapkan daftar bacaan tahlil. Tak lama kemudian, pengumuman kematian sudah menyebar lebih cepat daripada hoaks politik menjelang pilpres.
Tahlilan pun dimulai. Hari pertama, kedua, hingga ketujuh. Lalu dilanjutkan hari ke-40, 100, setahun, hingga haul tahunan. Bahkan, ada keluarga yang saking sayangnya sama almarhum, bikin tahlilan tiap malam Jumat. Kapan si almarhum bisa istirahat juga agak membingungkan. Tapi mungkin justru itu yang bikin ruh-ruh betah: tiap malam Jumat dapet kiriman doa dan suara merdu dari qori lokal yang suaranya mirip-mirip Didi Kempot.
Nasi Berkat, Warisan Leluhur yang Tak Lekang Oleh Zaman
Jangan pernah meremehkan kekuatan nasi berkat. Ini bukan sekadar nasi bungkus biasa. Di dalamnya ada filosofi, cinta, dan kadang-kadang bonus sendok plastik yang cuma bisa dipakai dua kali sebelum patah.
Nasi berkat biasanya terdiri dari nasi putih, ayam atau telur, sambal goreng kentang, mie goreng, dan kerupuk udang yang renyahnya bisa membuat menantu baru merasa diterima dalam keluarga. Kadang ada tambahan buah, kue, atau puding mini—tergantung siapa yang masak dan berapa anggaran keluarga duka.
Baca Juga: Menjaga Tradisi Islam Ala Nusantara Melalui Sarasehan Budaya
Yang menarik, tradisi membawa pulang nasi berkat ini bukan sekadar soal makanan. Ini adalah bentuk penghormatan terakhir kepada almarhum, sekaligus pengingat bahwa hidup harus tetap berjalan dan makan tetap prioritas.
Beberapa warga bahkan kolektor plastik nasi berkat. Ada yang menyusun kotak bekas nasi berkat seperti koleksi Lego. Di kalangan tertentu, plastik dengan motif bunga-bunga lawas itu bisa jadi barang vintage.
Yasinan, Kitab Kecil, Dampak Besar
Dalam setiap perayaan kematian NU, kitab Yasin adalah senjata utama. Kitab kecil ini, yang kadang disampul plastik bening atau kertas kalender bekas, dibaca beramai-ramai dengan semangat seperti menyanyikan lagu kebangsaan.
Anehnya, meski isinya sama, tiap pembaca bisa membacanya dengan langgam berbeda. Ada yang cepat seperti sedang ikut lomba cerdas cermat, ada yang pelan dan khidmat seakan-akan tiap ayat adalah deklarasi cinta, dan ada yang salah-salah baca tapi tetap pede. Karena di NU, semangat lebih penting daripada makhraj.
Kitab Yasin juga sering dibagikan kepada tamu undangan tahlilan. Biasanya, di dalamnya ada stiker kecil bertuliskan nama almarhum, tanggal wafat, dan ucapan terima kasih. Ada pula yang menyisipkan foto almarhum. Kalau ganteng atau cantik, kitab Yasin bisa berubah fungsi jadi kenangan manis. Kalau tidak, ya tetap kitab Yasin.
Tradisi, Peringatan Kematian: Kalender Sosial Spiritual
Satu hal yang membuat tradisi NU unik adalah kemampuan mereka membuat kalender kematian yang lebih padat daripada jadwal kampanye caleg. Setelah 7 harian, langsung direncanakan 40 harian. Setelah itu, 100 harian, setahun, dua tahun, hingga haul ke-15.
Kadang, yang datang ke haul ke-15 itu bukan lagi orang yang mengenal almarhum. Tapi tak apa. Karena dalam budaya NU, mendoakan orang yang sudah wafat adalah investasi spiritual. Katanya, makin banyak yang mendoakan, makin tinggi posisi arwah di alam sana. Bahkan, ada yang percaya bahwa haul bisa bikin ruh naik pangkat. Dari “ruh biasa” jadi “ruh VIP” punya akses eksklusif ke surga dengan pemandangan taman dan sungai susu.
Hiburan Religius, Marhaban dan Hadrah yang Membakar Semangat
Di beberapa daerah, terutama di Jawa Timur, haul besar bisa seperti konser mini. Ada marhaban, hadrah, dan grup shalawat lokal yang tampil dengan penuh semangat. Suaranya menggema, irama gendangnya bikin jantung berdebar, dan kadang penonton ikut hanyut sambil ngangguk-ngangguk seolah-olah sedang menyaksikan konser Slank versi syariah.
Baca Juga: Pengertian Hingga Dalil Tradisi Tahlilan
Tak jarang, haul juga mengundang kiai kondang yang ceramahnya bisa bikin jamaah tertawa, menangis, dan merenung dalam satu sesi. Kiai NU punya keahlian langka: menyampaikan nasihat spiritual sambil menyisipkan humor segar. Kadang, satu ceramah bisa terasa seperti stand-up comedy dengan sentuhan akhirat.
Biaya? Ah, Itu Urusan Belakangan
Tentu saja semua ini butuh biaya. Tapi jangan khawatir, warga NU punya cara. Ada patungan, ada iuran RT, bahkan kadang kiai kampung ikut nyumbang. Dalam banyak kasus, solidaritas warga NU luar biasa. Mereka bisa menutup semua kebutuhan acara tahlilan tanpa harus menjual kambing warisan.
Beberapa keluarga bahkan menjadikan haul tahunan sebagai ajang pamer ekonomi spiritual. Makin besar acara, makin banyak undangan, makin lengkap sajian konsumsi, makin terlihat bahwa keluarga ini “berhasil” menghormati leluhur. Dalam hal ini, kapitalisme dan spiritualisme berjalan berdampingan. Malaikat pencatat amal mungkin juga terkesima melihatnya.
Arwah yang Betah Pulang
Percaya atau tidak, beberapa warga NU percaya bahwa arwah almarhum akan kembali ke rumah saat acara tahlilan digelar. Makanya, suasana dibuat senyaman mungkin. Dihiasi bunga melati, dupa dibakar (kalau perlu), dan bacaan tahlil dibaca merdu. Biar arwah betah dan senang. Katanya, kalau puas, arwah bisa bantu mendoakan keturunan dari alam sana. Seperti endorsement spiritual versi leluhur.
Tentu ini tidak bisa dibuktikan secara saintifik. Tapi bagi warga NU, yang penting yakin dan ikhlas. Toh, di dunia ini banyak hal yang tidak bisa dijelaskan, tapi tetap dilakukan. Seperti kenapa nasi berkat selalu terasa lebih enak padahal lauknya sederhana. Mungkin karena bumbu cinta. Atau karena kita lapar.
Momen Sosial, Ajang Reuni dan PDKT
Jangan lupa, acara tahlilan dan haul juga jadi ajang reuni. Banyak saudara jauh yang baru terlihat saat ada yang wafat. Sambil membaca Yasin, mereka bertanya, “Itu anaknya Bu Minah ya? Sekarang udah gede.” Atau, “Lho, kamu sekarang kerja di mana? Dulu masih kecil, sekarang udah gondrong.”
Bahkan, beberapa kisah cinta dimulai dari tahlilan. Ada pemuda yang melihat gadis pembaca doa, lalu jatuh cinta karena suaranya merdu. Atau pemudi yang jatuh hati pada pemuda pembaca Al-Fatihah yang penuh khusyuk. Cinta yang bersemi di atas kenangan kematian—romantis sekaligus islami.
Kontra dan Cibiran, Tetap Jalan Terus
Tentu saja, tradisi tahlilan NU tidak lepas dari kritik. Ada yang bilang ini bid’ah, ada yang menyebut buang-buang uang, ada pula yang menyebut hanya tradisi turun-temurun tanpa dasar dalil kuat. Tapi warga NU? Santai saja. Kritik itu seperti angin lalu. Mereka percaya bahwa niat baik, doa, dan kebersamaan jauh lebih penting daripada debat tanpa ujung.
Toh, dalam banyak kasus, tradisi ini justru menjadi pengikat sosial dan pengingat kematian yang manusiawi. Daripada hanya menangis tanpa arah, lebih baik mendoakan dengan ikhlas. Daripada membiarkan rumah duka sepi, lebih baik ramai dengan dzikir dan doa.
Mati Itu Pasti, Tahlil Itu Tradisi
Akhirnya, kita harus akui bahwa tradisi perayaan kematian di kalangan warga NU adalah fenomena unik yang layak diapresiasi. Di tengah dunia yang makin modern dan individualis, NU tetap memelihara budaya kolektif yang penuh makna.
Baca Juga: Memahami Amalan Yasin Fadilah
Kematian memang menyedihkan, tapi di tangan warga NU, ia diubah menjadi momentum spiritual dan sosial yang menyejukkan. Ada tahlil, ada nasi berkat, ada doa, dan ada canda tawa. Ada air mata, tapi juga ada keteguhan hati.
Siapa tahu, saat kita wafat kelak, kita pun berharap: semoga ada yang menggelar tahlil, membacakan Yasin, dan membagi nasi berkat yang enak. Karena di tengah kesunyian kubur, suara tahlil warga NU mungkin jadi satu-satunya playlist yang kita dengar. Dan tenang saja, NU sudah siap. Karena buat mereka, mati itu pasti, tahlil itu tradisi, dan nasi berkat… itu bonus surgawi.
Penulis: Khairul A. El Maliky