Ilustrasi orang-orang yang berbelanja berlebihan jelang lebaran. (sumber: tirto.id)

Belum usai menjalani ibadah puasa Ramadan, masyarakat sudah terlihat dari jauh-jauh hari berbondong-bondong mempersiapkan lebaran, momen yang dinanti-nanti ini tak hanya membawa sukacita silaturahmi, tetapi juga meningkatkan angka konsumsi masyarakat yang saya tinggi.

Tradisi Lebaran di Indonesia identik dengan berbagai perayaan, yang sayangnya sering kali berujung pada pola konsumtif yang berlebihan. Euforia Lebaran memang tak terbendung. Mulai dari persiapan pakaian baru, hidangan istimewa, hingga bingkisan untuk kerabat, semua memicu peningkatan belanja yang signifikan.

Selain itu, tradisi mudik juga mendorong peningkatan konsumsi bahan bakar dan kebutuhan pokok di daerah tujuan. Berbagai alasan memicu masyarakat menjadi lebih konsumtif. Oleh karena itu, tak heran jika angka konsumsi masyarakat melonjak drastis menjelang dan selama Lebaran. Padahal, momen yang seharusnya penuh dengan kesederhanaan dan kebersamaan ini, sering kali ternoda oleh perilaku konsumtif yang berlebihan.

Alasan Mengapa Masyarakat Berperilaku Konsumtif Menjelang Lebaran:

  1. Tekanan sosial yang mencengkeram

Ada semacam aturan tak tertulis bahwa Lebaran adalah ajang untuk “tampil maksimal.” Pakaian baru, perhiasan yang banyak, bahkan kendaraan baru seolah menjadi simbol status sosial. Orang-orang tidak segan memakaikan putrinya perhiasan agar dianggap kaya, memakai perhiasan dan baju mewah untuk menunjukkan hasil kerja kerasnya selama ini.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Baca Juga: Media dan Perilaku Konsumtif

2. Media sosial

Disadari maupun tidak, media sosial menjadi wadah yang memperparah keadaan. Foto dan video Lebaran yang dipenuhi kemewahan memicu rasa iri dan keinginan untuk “tidak kalah.” Kita jadi merasa harus mengikuti tren, padahal kemampuan finansial setiap orang berbeda.

3. Gempuran Diskon dan Promo

Menjelang Lebaran, pusat perbelanjaan dan toko online berlomba-lomba menawarkan diskon besar-besaran. Ini memicu hasrat untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Bahkan tidak jarang 1 orang  membeli baju lebaran sebanyak 2 hingga 3 setel. “Mumpung diskon!” adalah kalimat yang sering kita dengar, padahal sering kali barang yang dibeli hanya akan menjadi tumpukan di lemari.

4. Tradisi angpao lebaran menggunakan uang baru

Padahal sejatinya uang baru maupun uang lama nilainya tidak berbeda. Uang baru ini menjadikan banyak orang bingung menukarkan uangnya, bahkan harus mengeluarkan uang jasa tukar untuk memperoleh uang baru tersebut. Uang yang semestinya dapat digunakan untuk keperluan lain akhirnya terpakai untuk menukarkan uang baru.

Dampak Buruk Perilaku Konsumtif

  1. Masalah Keuangan yang Mengkhawatirkan

Tidak jarang sebagian orang memilih terjerat utang demi memenuhi gaya hidup konsumtif saat Lebaran. Kartu kredit digesek tanpa perhitungan, pinjaman online diambil tanpa pertimbangan matang. Akibatnya, setelah Lebaran, mereka harus menghadapi tumpukan utang yang sulit dilunasi, bahkan bisa berujung pada kebangkrutan.

2. Pengeluaran yang tidak terkontrol

Tanpa perencanaan anggaran yang matang, pengeluaran Lebaran bisa membengkak secara tak terkendali. Biaya mudik, hadiah, makanan, dan pakaian baru seringkali tidak diperhitungkan dengan baik. Hal ini dapat mengganggu stabilitas keuangan keluarga dalam jangka panjang, menyebabkan kesulitan keuangan setelah Lebaran.

3. Kesenjangan Sosial

Perilaku konsumtif yang berlebihan memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Selain itu dapat menimbulkan rasa iri dan dengki, serta merusak harmoni sosial. Menyebabkan seseorang jadi sibuk membandingkan diri dengan orang lain, padahal setiap orang punya rezekinya masing-masing.

Baca Juga: Puasa Ramadhan dan Budaya Konsumtif

4. Pemborosan

Makanan yang berlimpah sering kali terbuang sia-sia. Kita memasak terlalu banyak, padahal tidak semua makanan akan habis. Atau barang-barang yang dibeli buakn hanya untuk keinginan sesaat akhirnya menumpuk dan tidak terpakai. Lemari penuh dengan pakaian yang hanya dipakai sekali, rumah penuh dengan perabotan yang hanya dipajang.

5. Pergeseran nilai kesederhanaan dan kebersamaan

Esensi Lebaran yang seharusnya tentang kesederhanaan dan kebersamaan, tergeser oleh budaya konsumerisme. Lebaran berubah menjadi ajang kompetisi materi, bukan perayaan spiritual. Kita jadi lebih fokus pada penampilan dan harta, daripada pada nilai-nilai keagamaan.

Kita perlu kembali pada esensi Lebaran yang sebenarnya. Mari rayakan Lebaran dengan sederhana, penuh syukur, dan kebersamaan. Mari jadikan Lebaran sebagai momen untuk mempererat tali silaturahmi, bukan ajang untuk pamer kekayaan. Mari kita ingat bahwa kebahagiaan sejati tidak diukur dari seberapa banyak harta yang kita miliki, tetapi dari seberapa banyak cinta dan kebersamaan yang kita bagikan.



Penulis: Ilvi Mariana