Oleh: Moh. Makmun*

Pernikahan adalah hubungan antara laki-laki dengan wanita yang terwujud dalam satu bentuk ibadah bersifat sakral dan suci. Pernikahan seharusnya tidak hanya dipahami sebagai sarana penghalalan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan semata, namun di sana terdapat kelanjutannya yang paling penting, yakni membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Keluarga yang tenang dan damai untuk semua anggotanya.

Pernikahan boleh dibilang mudah, yang penting rukun dan syarat nikah terpenuhi. Namun proses selanjutnya yang paling berat adalah bagaimana menciptakan rumahtangga ideal dan sakinah. Sehingga sebelum melaksanakan pernikahan, seseorang hendaknya memahami terlebih dulu tentang esensi pernikahan dan implikasinya dalam membentuk keluarga. Karena keluarga yang bahagia akan mampu melahirkan generasi dan keturunan yang berkualitas.

Menurut Ki Hajar Dewantara, “keluarga adalah kumpulnya beberapa orang yang karena terkait satu turunan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai satu gabungan yang erat, pun berkehendak juga bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk kemuliaan satu-satunya dan semua anggota”.[2] Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa alam keluarga itu adalah suatu tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pendidikan sosial, sehingga bolehlah dikatakan bahwa, keluarga itulah tempat pendidikan yang lebih sempurna sifat dan wujudnya daripada lain-lainnya, untuk melangsungkan pendidikan ke arah kecerdasan budi pekerti (pembentukan watak individual) dan sebagai persediaan hidup kemasyarakatan.[3]

Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh sentral yang mengemudikan perjalanan hidup keluarga di samping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak merupakan suatu kesatuan yang kuat apabila terdapat hubungan baik antara ayah-ibu, ayah-anak dan ibu-anak. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua pribadi dalam keluarga. Interaksi antar pribadi yang terjadi dalam keluarga ini ternyata berpengaruh terhadap keadaan bahagia (harmonis) atau tidak bahagia (disharmonis) pada salah seorang atau beberapa anggota keluarga lainnya.[4]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ayah dan ibu memiliki peran penting dalam menciptakan rumah tangga ideal. Ki Hajar Dewantara berpendapat, keluarga adalah sebagai satu kesatuan yang utuh. Di dalam persatuan itu, seorang ayah dan ibu keduanya berperan sebagai ketua. Sang ayah mendapat tugas urusan umum dan yang berhubungan dengan dunia luar, sedangkan ibu mendapat peran sebagai ketua untuk segala urusan di dalam hidup keluarga. Walau pada umumnya sang ayah berdiri sebagai “ketua umum”, akan tetapi ada juga kadang sang ibu yang memegang “pusara” (tali-tali kekuasaan) keluarga, boleh jadi menurut adat istiadat atau berhubungan dengan urusan umum.

Adanya dua orang ketua di dalam satu-kesatuan keluarga tidak perlu untuk dikhawatirkan akan keberlangsungan dan kekekalan tertib-damai dalamnya. Hal ini disebabkan karena kedua ketua tersebut (ayah dan ibu) merasa bersatu dan merasa keduanya terperintah oleh satu pemerintah yang tak terlihat. Pemerintah yang tak terlihat ini dirasakan oleh keduanya sebagai pemerintah yang Maha-Asih, yang akibatnya memberi udara yang penuh dengan cinta-kasih yang semurni-murninya.[5] Jelas sudah, bahwa terdapat titik tekan peran dari ayah dan ibu, dalam kaitannya mengatur keluarga. Disisi lain, pandangan demikian juga mengisyaratkan bahwa Dia sudah mengusung konsep kesetaraan gender dalam keluarga.

Berangkat dari cinta-kasih yang semurni-murninya inilah seorang ayah-ibu dapat menghilangkan segala rasa kemurkaan diri, sehingga dapat mengabdikan dirinya dengan seikhlas-ikhlasnya kepada keluarganya. Di dalam satu perhambaan(manusia) terhadap satu persembahan(Tuhan) niscaya egoisme, materialisme dan akibat-akibatnya yang biasa mendatangkan rusaknya kesejahteraan, ketertiban dan kedamaian, akan mudah lenyap.[6]

Kesucian, keikhlasan dan keridhaan dari ayah-ibu dapat mempengaruhi anak mulai kecil. Pengaruh yang sebaik-baiknya ini, terkait pendidikan tentang tumbuhnya rasa wajib, rasa perhatian dan rasa cinta-kasih. Pendidikan yang baik harus berada di pangkuan ayah-ibu (orang tua), karena hanya dua orang inilah yang dapat “berhamba pada sang anak” dengan semurni-murninya dan seikhlas-ikhlasnya, sebab cinta-kasihnya kepada anak adalah cinta-kasih yang tak terbatas.

Keluarga juga mempengaruhi tumbuh kembangnya budi pekerti seorang anak. Pengaruh hidup keluarga akan senantiasa dialami anak-anak, terlebih pada masa gevoelige periode atau “masa peka” anak. budi pekerti/karakter seseorang selain menunjukkan pengaruh dasar pembawaannya, juga sebagian besar dipengaruhi dari segala pengalamannya pada masa ia berada dalam “masa peka” di dalam kehidupan keluarganya. Mental atau karakter seseorang terbentuk menjadi pribadi yang baik atau jahat berawal dari pendidikan keluarga, sebab keluarga merupakan tempat berinteraksi pertama sejak seseorang itu dilahirkan. Di dalam keluarga inilah akan terjadi interaksi pendidikan pertama dan utama bagi anak yang akan menjadi pondasi dalam pendidikan selanjutnya.[7]

Kesalahan mendidik seorang anak akan melekat terus dalam pola hidupnya. Kesalahan masa kanak-kanak atau remaja akan membentuk pola perilaku dan membawa konsekuensi riil (buah perbuatan) pada saatnya. Sebagaimana sebuah tanaman, kebiasaan itu ditanam dan tumbuh sehingga suatu saat akan berbunga atau berbuah. Pohon yang baik akan berbuah/berbunga baik, pohon yang jelek akan berbuah/berbunga jelek pula.[8] Pun demikian dengan mendidik anak. Ketika pendidikan dalam keluarga itu baik, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang baik, ketika pendidikan dalam keluarga itu jelek, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang jelek pula.

*Penulis adalah penulis buku “Keluarga Sakinah; Keluarga Nirkekerasan” dosen di Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (UNIPDU), dan pengurus ISNU Jombang


[1] Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1977), 380-381

[2] Ibid. 374

[4] Singgih  D Gunarsa, Psikologi Keluarga (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1995), 7.

[5] Ki Hajar, Bagian Pertama Pendidikan, 381

[6] Ibid.

[7] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 318.

[8] Heru K. Wibawa, Sang Visionaris; Mengolah Mimpi Menjadi Realita (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), 56