
Dalam konteks pendidikan, hubungan antara guru dan murid selalu terkoneksi erat. Lazimnya, pembelajaran di kelas diampu oleh guru yang sudah menguasai materi yang akan diajarkan. Namun, ternyata metode pembelajaran semacam inilah yang seringkali membatasi kemampuan kritis murid.
Guru sering kali mengambil peran sebagai narator, sementara murid hanya berfungsi sebagai pendengar. Hal ini membuat suasana belajar mengajar terasa membosankan dan cenderung tidak interaktif. Tanpa adanya reaksi atau tanggapan dari murid, proses pembelajaran bisa terasa monoton. Bahkan, ada anggapan bahwa murid hanya perlu menerima apa yang disampaikan guru tanpa perlu berpikir lebih dalam. Padahal, metode semacam ini justru berpotensi membuat murid merasa malas belajar atau bahkan enggan mendengarkan materi yang disampaikan. Akibatnya, mereka tidak mampu mencerna dengan baik atau mengkonsumsi materi yang seharusnya “bergizi” dari guru.
Paulo Freire, dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, menyebutkan bahwa pendekatan seperti ini dikenal dengan istilah “pendidikan gaya bank”. Dalam sistem ini, murid dianggap sebagai penerima pasif yang hanya menerima, menyimpan, dan menata informasi yang diberikan oleh guru. Padahal, murid sebenarnya bisa aktif mencari dan mengumpulkan pengetahuan mereka sendiri.
Oleh karena itu, dibutuhkan revolusi dalam metodologi pengajaran agar murid merasa dilibatkan secara aktif dalam proses belajar. Guru seharusnya tidak hanya berperan sebagai penyampai materi, tetapi juga sebagai fasilitator yang mendorong murid untuk mencari dan menemukan sumber bahan ajar yang dibutuhkan. Jika hubungan antara guru dan murid terjebak dalam ketidakaktifan, maka secara tidak langsung guru telah membunuh nalar kritis murid.
Metode “banking” ini tidak akan melahirkan pertanyaan seperti, “Apakah kucing memakan daging ayam yang sudah dimasak ibu?”, melainkan hanya mengubahnya menjadi pernyataan: “Kucing telah memakan daging ayam yang sudah dimasak ibu.” Metode ini tidak memungkinkan murid untuk memahami bahwa pengetahuan yang mereka terima bisa jadi kontradiktif dengan realitas yang mereka hadapi. Menurut Freire, realitas adalah sesuatu yang terus berubah dan berkembang, dan pendidikan harus mampu mencerminkan hal tersebut.
Sayang sekali, jika guru merasa bahwa mereka lebih tahu segalanya dibandingkan murid. Padahal, keberhasilan atau kegagalan dalam sistem pembelajaran sangat bergantung pada reaksi atau respons yang diberikan murid selama proses pengajaran. Dalam konteks ini, konsep ilmu humanistik sangat diperlukan. Guru yang revolusioner akan berusaha untuk menyampaikan materi yang melibatkan nalar kritis murid, bukan sekadar mengajar materi tanpa ruang untuk berpikir. Dengan pendekatan ini, terbentuklah humanisasi antara guru dan murid.
Baca Juga: Kiai Hasyim Asy’ari: Memuliakan Guru, Kunci Keberhasilan Murid
Jika pendidikan mengalami reformasi seperti ini, maka kesenjangan antara guru dan murid akan teratasi. Peran guru tidak hanya terbatas sebagai pemberi materi dan pengatur kelas, tetapi juga sebagai seorang murid di antara murid-muridnya. Guru seharusnya membangun kesadaran untuk melihat posisinya sejajar dengan murid, memberi kesempatan bagi murid untuk berlatih menjadi pengajar. Tidak selamanya guru yang menjelaskan, tetapi juga guru harus mendengarkan pendapat dan pemahaman murid. Setelah itu, guru dapat menilai sejauh mana pemahaman murid terhadap materi yang telah disampaikan.
Masih merujuk pada pemikiran Paulo Freire, pendidikan yang baik harus diawali dengan solusi atas pembedaan antara guru dan murid, yakni dengan mendamaikan kedua kutub tersebut. Dengan demikian, baik guru maupun murid akan merasakan pengalaman menjadi guru dan murid secara bersamaan. Dalam konteks ini, hubungan kerja sama yang harmonis antara guru dan murid sangat diperlukan untuk mendukung sistem pendidikan yang berbasis nalar kritis. Dengan demikian, murid tidak hanya datang ke sekolah untuk mendengarkan penjelasan guru, tetapi juga untuk mengajukan pertanyaan dan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.
Guru seharusnya memberi ruang bagi murid untuk bertanya setelah penyampaian materi. Tidak melulu guru berbicara dan murid hanya tunduk dan patuh mendengarkan. Berikan kesempatan untuk berdiskusi dan membangun nalar kritis murid. Jangan biarkan murid hanya menjadi “tabungan” yang menerima materi tanpa kesempatan untuk berpikir.
Hidupkan komunikasi di dalam kelas dengan menyertakan kisah-kisah nyata yang relevan dengan pengalaman murid, sesuai dengan usia dan konteks mereka. Hindari membahas topik yang terlalu jauh dari eksistensi mereka, karena hal itu hanya akan membuat murid merasa kebingungan dan tidak dapat mengambil makna dari pembelajaran yang diberikan. Materi yang tidak relevan akan menjadi kosong bagi murid dan tidak memberikan kontribusi apapun terhadap perkembangan mereka.
Dengan pendekatan seperti ini, diharapkan pendidikan dapat membentuk murid yang berpikir kritis dan mampu berwawasan luas. Agar tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga menjadi individu yang mampu bertanya, mencari, dan memahami dunia di sekitarnya.
Penulis: Nabila Rahayu