Ilustrasi dua muslim berada dalam sebuah ruang penuh kitab-kitab.

Pembukuan hadis secara resmi bisa dibilang agak terlambat pada zaman Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Secara resmi pengkodifikasian hadis dilakukan pada masa dinasti Umayyah yang pada waktu itu dipimpin oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz.[1] Fakta ini tidak mengartikan pada masa sebelum itu tidak ada catatan apapun yang berisi hadis. Ditemukan segelintir dari sahabat yang menuliskan hadis misalnya saja Ali bin Abi Thalib yang mempunyai catatan hadis yang membahas tentang hukuman Diyat.[2]

Seperti yang diungkapkan diatas pembukuan hadis yang terjadi pada zaman dinasti Umayyah bukan berarti tidak ada catatan hadis sama sekali pada zaman setelah nabi wafat yaitu pada zaman sabahat. Ahli hadis mendefinisikan sahabat sebagai setiap seorang yang melihat Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dalam kondisi beriman.[3] Memang pada waktu itu para sahabat ada yang memegang salah satu perkataan nabi tentang larangan menulis sesuatu dari beliau

حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّي وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Haddab bin Khalid Al Azdi telah menceritakan kepada kami, Hammam dari Zaid bin Aslam telah menceritakan kepada mereka dari Atho` bin Yasar dari Abu Sa’id Al Khudri Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah dihapus, dan ceritakanlah dariku dan tidak ada dosa. Barang siapa berdusta atas (nama) ku -Hammam berkata, Aku kira ia (Zaid) berkata, dengan sengaja, maka henkdaklah menyiapkan tempatnya dari neraka.[4]

Hadis diatas menjadi salah satu alasan mengapa para sahabat jarang ada yang menulis ataupun meghimpun hadis dari nabi. Hal lain yang menjadi alasan pada zaman sahabat sedikit yang menuliskan hadis adalah karena ada ketakutan bercampurnya tulisan al-Qur’an denngan hadis atau kepenulisan hadis membuat umat islam pada waktu itu terlena dan meninggalkan belajar al-Qur’an. Rencana penulisan hadis pernah diinisasi oleh Khalifah Umar bin Khattab tetapi hal itu tidak terjadi dan beliau mengatakan

إِنِّي كُنْتُ أُرِيدُ أَنْ أَكْتُبَ السُّنَنَ وَإِنِّي ذَكَرْتُ قَوْمًا كَانُوا قَبْلَكُمْ كَتَبُوا كُتُبًا، فَأَكَبُّوا عَلَيْهَا وَتَرَكُوا كِتَابَ اللَّهِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لاَ أَشُوبُ كِتَابَ اللَّهِ بِشَيْءٍ أَبَدًا

Aku ingin menulis Sunnah, tetapi aku teringat beberapa orang sebelum kalian yang menulis kitab, lalu mereka jatuh cinta kepadanya dan meninggalkan Kitab Allah, dan demi Allah, aku tidak akan pernah menodai Kitab Allah dengan apa pun.[5]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Baca Juga: Alasan dan Waktu Kemunculan Hadis Palsu

Perkataan Umar bin Khattab ini menunjukkan ketakutan beliau terhadap terlenanya umat islam terhadap kepenulisan hadis sehingga melupakan belajar al-Qur’an.[6] Pendapat Umar ini tidak berarti beliau pegang mutlak, terbukti ketika penghafalan (pembelajaran) al-Qur’an dirasa sudah aman beliau sendiri pernah menuliskan sebuah surat yang isinya sabda Rasulullah sallallahu alaihi wasallam kepada pegawainya dan para sahabatnya.[7]

Para generasi Salaf berbeda pendapat mengenai hukum penulisan hadis. mereka terdiri dari dua kelompok, pertama mereka yang melarang menulis hadis diantaranya ada Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit. Kedua mereka yang memperbolehkan menulis hadis diantaranya adalah Umar, Ali, Hasan bin Ali, Ibnu Amr dan Jabir. Ketiga menurut Iman Bulqini yang menceritakan dari Al-Ramahurmuzi bahwasannya menulis hadis boleh tetapi dihapus setelah menghafalnya.[8]

Menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Sahih Muslim mengatakkan kalau hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas hukumnya telah di hapus (Mansukh) oleh hadis yang memperbolehkan menulis hadis.[9] Salah satu dalil yang di sebutkan oleh Imam Nawawi adalah perintah agar seseorang menuliskan khutbah Nabi pada saat Fathu Makkah untuk Abu Syahin seorang dari Yaman.[10] Banyak juga hadis lain yang mengindikasikan kebolehan tentang menulis hadis, Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah Qabla al-Tadwīn menyebut setidaknya ada delapan dalil tentang kebolehan menuliskan hadis.[11]

Baca Juga: Keutamaan yang Dimiliki oleh Para Ahli Hadis

Alasan pembukuan tidak terjadi pada zaman sahabat memang punya alasan tersendiri diantaranya ada kekhawatiran terhadap ketidakfokusan umat Islam untuk belajar al-Qur’an. Tetapi perlu diketahui alasan tersebut bisa saja hilang maksudnya ketika umat Islam pada waktu itu sudah mapan dalam memahami al-Qur’an maka kekhawatiran itu bisa hilang lalu efeknya penulisan hadis menjadi diperbolehkan.

Penulisan hadis yang terjadi setelah mapannya pemahaman al-Qur’an menjadi nilai plus sendiri karena mempermudah pengkajiannya serta juga mempermudah umat Islam untuk mengetahui sabda Rasulullah sallallahu alaihi wasallam.



Penulis: Nurdiansyah Fikri Alfani, Santri Tebuireng


Referensi:

[1] Faizal Luqman, Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadis, Jurnal PAPPASANG, Vol 5, No. 1, 2023, 131.

[2] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Bandung: Bulan Bintang, 2014), 106.

[3] Ibn al-Salah, Muqaddimah Ibn al-Salah, (Beirut: Dar Kutub Ilmiah, 2002), 396.

[4] HR Imam Muslim No 3004.

[5] Abū ʿUmar Yūsuf al-Qurṭubī, Jamīʿ Bayān al-ʿIlm wa-Fadlih, (Dār Ibn al-Jawzī, al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Suʿūdiyyah, 1994), 1/274.

[6] Muḥammad ʿAjjāj al-Khaṭīb, al-Sunnah Qabl al-Tadwīn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), 310/1.

[7] Muḥammad ʿAjjāj al-Khaṭīb, 311/1. Atau lihat HR Imam Ahmad No 243, Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, (Beirut: Muassasah Risalah, 2001), 360/1.

[8] Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi, (Dar Tayyibah), 493/1.

[9] Abū Zakariyā al-Nawawī, Al-Minhāj Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim bin al-Ḥajjāj, (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-ʿArabī, 1911), 18/130.

[10] HR Imam Ahmad No 9644.

[11] Muḥammad ʿAjjāj al-Khaṭīb, 1/303.