Ilustrasi perempuan dan stigma di masyarakat. (sumber gambar: penalaut)

Menstruasi adalah bagian dari siklus biologis yang alami bagi perempuan, namun sayangnya, di banyak budaya, termasuk di Indonesia, topik ini sering kali dianggap tabu dan dipenuhi stigma negatif. Meskipun merupakan hal yang normal dan merupakan tanda kesehatan reproduksi, menstruasi kerap dipandang sebagai sesuatu yang “kotor” dan “memalukan.” Stigma ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga mendiskriminasi perempuan, menghalangi mereka untuk merasa nyaman dengan tubuh mereka sendiri dan dapat memengaruhi kesehatan mental mereka secara signifikan.

Pengalaman pribadi saya saat pertama kali menstruasi di kelas 5 SD adalah contoh nyata bagaimana stigma sosial terhadap menstruasi dapat menambah beban perempuan. Saat itu, saya merasa bingung dan cemas karena saya belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi pada tubuh saya. Saya memberitahukan teman-teman terdekat bahwa saya sedang menstruasi, berharap mereka akan mengerti. Namun, respon yang saya terima sangat mengejutkan dan menyakitkan. Beberapa teman mulai menjauhi saya dan bahkan ada yang berkata bahwa saya “najis” dan “menjijikkan”. Perasaan malu dan terisolasi yang saya rasakan itu menunjukkan betapa besar dampak dari stigma menstruasi yang berlaku di masyarakat kita.

Banyak perempuan di berbagai usia mengalami stigma serupa, baik di lingkungan sekolah, keluarga, atau tempat kerja. Padahal, menstruasi adalah fenomena alami yang terjadi pada hampir semua perempuan, dan tidak ada alasan untuk merasa malu atau terhina. Ketidaktahuan dan pandangan tradisional yang menganggap menstruasi sebagai sesuatu yang menjijikkan sering kali menambah beban mental perempuan, bahkan sejak usia dini. Saya merasa cemas dan khawatir teman-teman saya tidak lagi menganggap saya sebagai teman yang “normal” hanya karena tubuh saya sedang menjalani proses biologis alami ini. Dalam upaya menghindari celaan, saya bahkan berpura-pura ikut sholat jamaah hanya untuk menghindari ejekan.

Baca Juga: Merespons Stigma Perawan Tua Perempuan yang Belum Menikah

Stigma menstruasi dapat menyebabkan dampak yang jauh lebih besar daripada rasa malu sesaat. Perasaan terisolasi dan malu ini, jika terus berlanjut, bisa mengarah pada gangguan kesehatan mental yang serius, seperti kecemasan, depresi, dan rendah diri. Perempuan sering kali merasa harus menyembunyikan menstruasi mereka, bahkan di lingkungan yang seharusnya mendukung mereka, seperti keluarga dan sekolah. Dampak yang lebih buruk lagi adalah banyak perempuan yang merasa enggan mencari bantuan medis atau berbicara tentang masalah kesehatan reproduksi mereka, karena takut dianggap aneh atau “kotor”. Hal ini tentu saja dapat membahayakan kesehatan fisik dan mental mereka.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Penting untuk menyadari bahwa stigma menstruasi ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Untuk mengatasi masalah ini, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memberikan pendidikan yang lebih baik tentang menstruasi sejak dini. Anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki, harus diajarkan untuk memahami bahwa menstruasi adalah proses alami yang tidak perlu dianggap memalukan. Pendidikan tentang kesehatan reproduksi seharusnya menjadi bagian dari kurikulum di sekolah-sekolah, dan diajarkan dengan cara yang inklusif dan tidak menyinggung. Dengan pendekatan ini, kita dapat membantu anak-anak memahami tubuh mereka dengan lebih baik, mengurangi rasa takut dan malu, serta menciptakan lingkungan yang lebih mendukung.

Selain itu, orang tua juga harus dilibatkan dalam proses edukasi ini. Banyak orang tua, terutama yang berasal dari generasi lebih tua, masih memandang menstruasi sebagai hal yang tabu dan tidak layak dibicarakan. Namun, dengan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya pendidikan mengenai menstruasi dan kesehatan reproduksi, kita bisa menciptakan keluarga yang lebih terbuka dan mendukung, yang akan membantu anak perempuan merasa lebih percaya diri dan nyaman dengan tubuh mereka.

Penting untuk diingat bahwa stigma menstruasi bukanlah masalah yang bisa diselesaikan dalam semalam. Namun, perubahan kecil yang dimulai dengan percakapan terbuka dan penyebaran informasi yang benar bisa membawa dampak besar. Sebagai seorang perempuan yang pernah mengalami diskriminasi terkait menstruasi, saya percaya bahwa semakin banyak percakapan yang terbuka dan edukasi yang dilakukan tentang menstruasi, semakin berkurang pula stigma yang ada.

Baca Juga: Tubuh Perempuan vs Fatwa “Siapa yang Berhak Mengatur?”

Di lingkungan sekolah, misalnya, fasilitas yang mendukung perempuan yang sedang menstruasi, seperti tempat sampah yang ramah menstruasi dan akses mudah ke pembalut, harus lebih diperhatikan. Dukungan dari teman-teman juga sangat penting, karena ketika saya menghadapi stigma di kelas 5 SD, jika ada seorang teman yang memahami dan mendukung saya, perasaan terisolasi yang saya rasakan mungkin bisa lebih ringan.

Menjadi penting untuk terus mengedukasi dan membuka ruang bagi percakapan tentang menstruasi, agar stigma yang ada dapat terkikis. Dengan adanya perubahan dalam cara pandang masyarakat terhadap menstruasi, perempuan akan lebih dapat merasa nyaman dengan tubuh mereka dan dapat menjalani hidup dengan lebih sehat secara fisik dan mental.



Penulis: Albii