
Di Indonesia, pandangan sosial mengenai perempuan yang belum menikah di usia tertentu, seperti 22 tahun ke atas, masih banyak ditemukan, bahkan di daerah-daerah yang lebih konservatif. Anggapan-anggapan seperti “nggak laku,” “nggak ada yang suka,” hingga sebutan “perawan tua” sering kali dilemparkan kepada perempuan yang belum memiliki pasangan hidup. Tanggapan-tanggapan ini memberikan tekanan sosial yang tidak hanya berdampak pada mental perempuan, tetapi juga memperlihatkan ketidakadilan gender yang masih berlaku di masyarakat kita.
Mengapa fenomena ini lebih sering menimpa perempuan dibandingkan laki-laki? Salah satu jawabannya terletak pada norma sosial yang kental mengakar, di mana perempuan dianggap harus memenuhi peran tertentu dalam keluarga, seperti menjadi istri, ibu, dan pengurus rumah tangga. Dalam budaya tradisional, terutama di daerah dengan tradisi kuat, pernikahan sering dianggap sebagai pencapaian hidup yang paling penting bagi perempuan, bahkan lebih dari sekadar membangun keluarga. Status sosial seorang perempuan seolah-olah diukur berdasarkan keberhasilannya dalam menikah dan memiliki anak. Di sisi lain, laki-laki cenderung lebih bebas untuk mengejar karir atau pencapaian pribadi tanpa mendapatkan penilaian sosial yang serupa.
Norma Sosial dan Peran Gender yang Ketat
Pernikahan, bagi banyak masyarakat di Indonesia, dianggap sebagai tujuan utama dalam hidup perempuan. Tekanan ini semakin kuat seiring usia yang bertambah. Jika seorang perempuan belum menikah pada usia tertentu, ia sering kali dianggap sebagai “gagal” dalam memenuhi harapan sosial yang sudah mengakar, yang mengharuskan perempuan untuk menikah dalam usia muda. Di sinilah letak ketidakadilan gender; meskipun laki-laki juga diharapkan untuk menikah, mereka tidak mendapatkan penghakiman yang sama. Laki-laki sering kali dinilai lebih mampu mengejar kesuksesan dalam bidang lain, seperti karir atau pencapaian finansial, tanpa dianggap “tertinggal” oleh masyarakat.
Tekanan dari Lingkungan Sosial dan Keluarga
Tidak hanya dari masyarakat luas, tekanan terhadap perempuan yang belum menikah juga datang dari keluarga besar, teman, dan tetangga. Budaya gotong royong yang kental di Indonesia sering kali membuat kehidupan pribadi seseorang menjadi konsumsi publik. Dalam banyak kasus, pertanyaan “Kapan nikah?” atau “Udah tua nggak laku?” menjadi ucapan yang begitu mudah terlontar tanpa mempertimbangkan perasaan orang yang mendengarnya. Hal ini menciptakan perasaan cemas dan rendah diri bagi perempuan yang merasa harus memenuhi ekspektasi orang lain, meskipun pernikahan mungkin bukan prioritas utama mereka.
Baca Juga: Menciptakan Dunia yang Aman Bagi Perempuan
Selain itu, banyak perempuan merasa stigma ini muncul karena dianggap tidak cukup menarik atau berhasil dalam menemukan pasangan hidup. Padahal, banyak perempuan yang memilih untuk fokus pada pendidikan, karir, atau pengembangan diri mereka, dan merasa nyaman dengan keputusan tersebut. Sayangnya, masyarakat yang memandang pernikahan sebagai satu-satunya pencapaian hidup sering kali memberikan tekanan yang sangat berat.
Stigma ‘Perawan Tua’ dan Dampaknya
Salah satu stigma paling merugikan yang dialami oleh perempuan yang belum menikah adalah label “perawan tua.” Label ini melekat pada perempuan yang berusia lebih dari 25 atau 30 tahun dan dianggap tidak lagi memenuhi usia ideal untuk menikah. Definisi usia ideal ini sangat relatif dan dipengaruhi oleh pandangan budaya setempat. Namun, stigma ini memberikan dampak psikologis yang sangat besar bagi perempuan. Mereka merasa tertekan untuk segera mencari pasangan hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial, meskipun hal itu tidak selalu menjadi keinginan mereka sendiri.
Stigma “perawan tua” juga memperburuk pandangan bahwa perempuan yang belum menikah dianggap kurang menarik atau gagal dalam aspek hidup ini. Padahal, kenyataannya banyak perempuan yang justru memilih untuk mengejar cita-cita mereka, baik dalam bidang pendidikan, karir, atau pengembangan pribadi. Mereka seharusnya diberi ruang untuk menentukan pilihan hidup mereka tanpa harus terbebani oleh ekspektasi sosial yang tidak relevan.
Ketimpangan Gender yang Mendasari Tekanan Sosial
Ketimpangan gender merupakan akar dari tekanan yang sering kali hanya dialami oleh perempuan. Dalam banyak budaya, termasuk di Indonesia, perempuan dianggap sebagai penjaga kehormatan keluarga dan penerus keturunan. Hal ini memperkuat pandangan bahwa pernikahan adalah kewajiban utama bagi perempuan. Sementara laki-laki diberi kebebasan untuk mengejar kehidupan yang lebih beragam, perempuan masih sering dihadapkan pada peran yang lebih terbatas. Tekanan ini tidak hanya datang dari norma sosial, tetapi juga dari ajaran agama dan budaya yang menganggap pernikahan sebagai pencapaian penting, terutama bagi perempuan.
Dampak Psikologis terhadap Perempuan
Tekanan sosial yang dihadapi perempuan yang belum menikah dapat memberikan dampak yang sangat merugikan bagi kesehatan mental mereka. Salah satu dampak yang paling jelas adalah penurunan rasa percaya diri. Perempuan yang terus-menerus menerima pertanyaan atau komentar negatif tentang status pernikahan mereka bisa merasa kurang dihargai atau diterima di dalam masyarakat. Perasaan ini dapat memengaruhi pandangan mereka terhadap diri sendiri dan menambah kecemasan atau stres yang mereka rasakan.
Baca Juga: Menguak Makna Pamali dalam Berbagai Tingkah Laku Masyarakat Jawa
Selain itu, tekanan ini dapat memperburuk kesehatan mental, memicu rasa cemas, bahkan depresi. Perempuan yang merasa terjebak dalam ekspektasi sosial yang tidak mereka inginkan bisa merasa terpaksa untuk menikah demi memenuhi harapan orang lain. Padahal, kebahagiaan dan keberhasilan hidup tidak seharusnya hanya diukur dari status pernikahan, melainkan juga dari pencapaian pribadi dan kualitas hidup yang mereka pilih.
Fenomena stigma sosial terhadap perempuan yang belum menikah di Indonesia menunjukkan adanya ketimpangan gender yang masih berlangsung hingga saat ini. Tekanan dari masyarakat dan keluarga yang menganggap pernikahan sebagai pencapaian hidup utama telah memberikan dampak negatif terhadap kesehatan mental perempuan. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengubah pandangan ini dan memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk menentukan jalannya hidup mereka. Kebahagiaan dan keberhasilan hidup seharusnya tidak hanya diukur dari status pernikahan, tetapi juga dari pencapaian pribadi, pendidikan, dan kualitas hidup yang mereka pilih. Sebagai masyarakat, kita harus menghormati keputusan setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki, dan mendukung mereka dalam mencapai kebahagiaan sesuai dengan pilihan mereka masing-masing.
Penulis: Albii