
Di antara pepohonan yang menjulang tinggi dan jalan-jalan dipenuhi dengan deretan rumah berwarna pastel, berdirilah sebuah rumah sederhana milik keluarga Atma Wijaya. Rumah itu tampak harmonis dengan taman kecil di depan dan bunga-bunga yang mekar, namun di dalamnya, ada ribut yang tak terlihat—sebuah pertarungan diam-diam untuk mempertahankan keutuhan keluarga demi anak semata wayang mereka, Gadiza.
Gadiza adalah perempuan manis yang masih berusia tujuh tahun dengan mata besar dan senyum ceria. Ia merupakan cahaya dalam kehidupan kedua orangtuanya, Hendri dan Aulia. Sejak kecil, Gadiza telah mengisi rumah mereka dengan tawa dan keceriaan, namun belakangan ini, suasana rumah mulai suram. Konflik antara kedua orangtuanya semakin sering terjadi, sering kali berakhir dengan bisikan dingin dan dinding yang membeku dari ketidakpedulian.
Ayah Gadiza, Hendri Wijaya adalah seorang pengusaha yang sering bepergian, meninggalkan rumah untuk menghadiri pertemuan dan konferensi. Sementara itu, Aulia adalah seorang guru di sekolah dasar yang memulai hari lebih awal dan pulang hamper larut malam karena sering melembur. Kedua jadwal yang sangat berbeda ini semakin membuat mereka terpisah, tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.
Suatu malam, setelah Gadiza tertidur, Aulia duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah foto keluarga di dinding. Sedangkan suaminya, baru pulang dari perjalanan bisnis, meletakkan tasnya dengan kelelahan dan duduk di sofa di sebelahnya. Keheningan antara mereka sangat kental. Ruangan sunyi hanya detak jam dinding yang terdengar, berikut detak jantung mereka yang bersahutan.
“Aulia…” lelaki itu akhirnya memecah keheningan, suaranya rendah dan penuh penyesalan. “Aku tahu aku sering pergi, dan aku merindukan momen-momen sederhana kita. Tapi kita perlu berbicara tentang ini.”
Perempuan di sampingnya memandang dengan mata yang mulai membasah. “Aku tahu. Aku merasa seperti kita semakin jauh. Tapi aku juga merasa sangat sendirian. Kamu hanya pulang untuk tidur, dan setiap kali kamu pulang, kita hanya berbicara tentang masalah sehari-hari. Kita tidak pernah duduk bersama dan benar-benar berbicara.”
Hendri menghela napas panjang. “Aku tahu. Aku tidak ingin membuatmu merasa seperti ini. Aku bekerja keras untuk keluarga kita, tapi aku juga harus bertanya pada diri sendiri, apakah semua ini sepadan jika kita terus seperti ini?”
Aulia menunduk, menahan isak. “Aku melakukan yang terbaik untuk menjaga rumah dan Gadiza. Aku hanya berharap kita bisa menemukan cara untuk membuat ini semua berfungsi. Anak kita sangat menyukai waktu kita bersama. Aku ingin dia tumbuh dalam keluarga yang bahagia.”
Hendri mengangguk, hatinya terasa berat. “Aku juga begitu. Aku rasa kita perlu mencari cara untuk lebih sering bersama. Mungkin kita bisa mulai dengan mengatur jadwal yang lebih baik, menyisihkan waktu untuk Gadiza dan untuk kita sendiri.”
Aulia tersenyum tipis, mata penuh harapan. “Itu akan sangat membantu. Dan aku juga pikir kita perlu bicara lebih banyak tentang bagaimana perasaan kita, bukan hanya masalah sehari-hari.”
Lelaki bertubuh kekar itu meraih tangan istrinya, dan menggenggamnya erat. “Kita akan melewatinya bersama. Aku tidak ingin kehilangan apa yang kita miliki, terutama demi anak kita.”
Malam itu, meskipun tidak ada solusi instan, mereka merasa seolah telah memulai perjalanan baru menuju perbaikan. Mereka mulai mengatur waktu mereka dengan lebih baik, membuat komitmen untuk makan malam bersama secara teratur, dan mencari kesempatan untuk berbicara tentang perasaan mereka dengan lebih terbuka.
Seiring berjalannya waktu, perubahan kecil mulai terasa. Hendri lebih sering pulang untuk makan malam, dan mereka menghabiskan akhir pekan bersama sebagai keluarga. Mereka mulai merencanakan kegiatan-kegiatan kecil untuk putrinya, seperti piknik di taman atau kunjungan ke museum. Terkadang, mereka juga duduk bersama dan membicarakan rencana masa depan mereka, saling berbagi harapan dan kekhawatiran.
Gadiza dengan mata cerahnya, mulai melihat kembali tawa dan kebahagiaan di wajah orang tuanya. Dia senang melihat mereka duduk bersama dan berbagi cerita sebelum tidur. Baginya, perubahan ini tidak hanya berarti waktu yang lebih banyak dengan orang tuanya, tetapi juga rasa aman dan cinta yang kuat.
Di rumah mewah peninggalan Atma Wijaya itu, keluarga tersebut menemukan bahwa pertarungan untuk mempertahankan keluarga tidak selalu mudah, tetapi itu layak dilakukan. Dengan tekad dan komitmen, mereka membangun kembali ikatan yang sempat retak. Mereka belajar bahwa cinta dan perhatian adalah pondasi yang diperlukan untuk menjaga keutuhan keluarga, dan mereka terus berjuang demi kebahagiaan Gadiza—dan demi kebahagiaan mereka sendiri.
Penulis: Ummu Masruroh, MS
Santri An-Nuqayah Sumenep Madura