Sumber gambar: Republika

Oleh: Ustadzah Nailia Maghfirah dan Ustadz Moch. Idris*

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Mau tanya admin, jika seorang mayit meninggalkan tirkah begitu banyak dan mencapai batas-batas diwajibkan zakat. Apakah wajib dikeluarkan zakatnya sebagai zakat mal oleh ahli warisnya?

Hamba Allah- Jombang

Wa’laikumussalam Wr Wb. Terima kasih kepada penanya, semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan keberkahan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Adapun jawabannya sebagai berikut ini:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kata “warisan” diambil dari Bahasa Arab al-Mirats adalah bentuk masdar dari waritsa- yaritsu- irtsan wa miratsan yang berarti mewarisi. Ditinjau dari segi bahasa adalah perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain.

Adapun Harta Warisan yang dalam istilah faraid (fan ilmu khusus dalam Islam yang membahas tentang pembagian harta warisan)- dinamakan tirkah (harta peninggalan) adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik berupa uang atau materi lain yang dibenarkan oleh syari’at Islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.

Bentuk dan jumlah harta warisan bisa bermacam-macam, untuk bentuk bisa berupa pusaka, surat wasiat, dan harta. Adapun jumlah harta warisan juga sangat bermacam-macam, biasanya tergantung pada status sosial orang yang meninggal (si mayit) tersebut. Tidak jarang tirkah seseorang sudah habis untuk membayar hutang si mayit (lebih diutamakan terlebih dahulu), namun juga tidak jarang, mayit meninggalkan banyak sekali tirkah bagi ahli warisnya, sehingga meskipun sudah digunakan untuk membayar hutang, namun bagian harta warisan bagi sang anak masih sangat banyak.

Lantas, bagaimana fikih menyikapi pertanyaan di atas? Kewajiban zakat mal, tidak lain bertujuan untuk mensucikan harta seseorang, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat at-Taubah

خُذْ مِنْ أَمْوالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِها

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 9/103)

Maka ketika suatu harta telah sampai pada batas zakat maka secara otomatis diwajibkan mengeluarkan zakat, sebagai media penyucian hati dan harta yang dimiliki, termasuk di dalamnya harta warisan. Harta semacam ini disebut dengan “mal al-muustafad” yakni harta yang dimiliki oleh seseorang dan yang wajib dizakati pada pertengahan haul (genap satu tahun) dan harta itu bukan hasil dari hartanya sendiri.

Dalam kasus harta semacam ini ulama’ sepakat bahwa harta tersebut wajib dizakati, namun ulama berbeda pendapat tentang perlunya menunggu haul (genap satu tahun) atau tidak, sebagian ulama berpendapat perlu menunggu haul, namun sebagain ulama yang lain tidak. Hal ini sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Fatawa Yasalunaka berikut ini:

والنوع الثاني من المال المستفاد هو ما ملكه المكلف بالزكاة أثناء الحول وليس ناتجاً عن مال لديه، كما ذكر السائل أنه ورث مبلغاً كبيراً من المال من أبيه، ومثل ذلك من حصل على جائزة مالية أو هبة وكذا مكافأة نهاية الخدمة أو ما توفر من راتبه عند مشغله ونحو ذلك، وهذا النوع من المال المستفاد وقع فيه خلاف بين الفقهاء، فبعضهم أوجب فيه الزكاة عند قبضه وبدون اشتراط حولان الحول عليه، وأما جمهور الفقهاء فيرون أنه لا زكاة فيه حتى يحول عليه الحول وهذا القول هو الراجح والذي تؤيده الأدلة القوية

“Dan macam yang kedua yaitu harta yang dimiliki oleh seseorang dan yang wajib dizakati pada pertengahan haul dan harta itu bukan hasil dari hartanya sendiri, seperti yang telah disebutkan oleh penannya bahwa hartanya itu dari warisan yang mencapai harta yang banyak dari harta ayahnya, dan sama halnya seperti harta yang berasal dari hadiah atau pemberian, ini merupkan macam dari al- mal al-mustafad yang terjadi khilaf di antara ulama ahli fikih, sebagian dari mereka mewajibkan zakat ketika menerimanya dan tanpa mensyaratkan adanya haul atas al-mal al-mustafad, dan sedangkan kebanyakan ulama fiqih (jumhur Fuqoha) berpendapat bahwa tidak wajib zakat pada al-mal al-mustafad sehingga mencapai haul (setahun), ini merupakan pendapat yang unggul yang diperkuat dengan dalil-dalil yang kuat. (Fatawa Yasalunaka: 12/129)

Kewajiban zakat ini tidak lain disebabkan karena menjaga al mal al-mustafad itu sulit jika menunggu sampai haul menurut pandangan Hanafiyah, sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab al-Fiqhal-Islamy wa adillatuhu juz 3 halaman 1803 berikut: “mal al mustafad meskipun dari pemberian atau warisan di pertengahan (masa) haul itu dikumpulkan kepada asalnya harta, dan wajib zakat di dalamnya karena susah menjaganya dan batasan haul itu pada setiap al mal al mustafad.

Lain halnya, menurut pandangan Malikiyyah, adapun al mal al mustafad yang terdapat di pertengahan haul yang bukan dari hasil hewan ternak, jika harta itu hasil dari pemberian atau warisan atau jual-beli dan sebagainya, maka tidak wajib zakat sehingga mencapai haul (setahun).

Sedangkan menurut Syafi’iyyah, adapun al mal al mustafad yang hasil dalam pertengahan haul dengan cara jual beli, pemberian, warisan, dan selainnya dari harta yang bukan dihasilkan dari harta itu sendiri, maka nanti baginya dihitung sebagai haul baru yang terpisah dari harta miliknya (selain hasilnya dan laba perdagangan seperti yang dijelaskan), maka dimulai haul karena barunya kepemilikan, dan tidak dikumpulkan dengan harta yang ia miliki dalam setahun (haul).

Adapun jumlah harta yang wajib dizakatkan ialah 2,5%, sebagaimana keterangan berikut ini;


وقد أجمع المسلمون على وجوب الزكاة في النقود وعلى المقدار الواجب منها، ونصاب زكاة المال عشرون مثفالا من الذهب وزنها الآن (85 جراما) من الذهب الخالص – الى أن قال – والقدر الواجب إخراجه ربع العشر أي 2،5% في المائة.

Orang Islam bersepakat terhadap kewajiban zakat pada harta dan kadar yang wajib dikeluarkan darinya, dan nishab zakat mal yaitu dua puluh mitsqal dari emas, dan menurut ukuran sekarang sekitar (85 gram) dari emas murni….dan ukuran yang wajib dikeluarkan itu adalah 2,5%.” (Fatawa al Azhar: 1/165)

Sekian jawaban dari tim redaksi kami. semoga bermanfaat dan bisa dipahami dengan baik. Wallahu ‘alam bisshowab


*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari