Ilustrasi: M. Najib

Tradegi Cimindi yang Tak Terduga

Hari itu, Sabtu 18 April 1953, sebuah mobil Chevrolet melaju dari arah Jakarta menuju Sumedang. Hujan tak kunjung redah, jalanan menjadi licin. Jarak pandang kabur. Mobil itu dikemudikan oleh seorang wartawan harian Pemandangan. Namun, bukan itu yang membuat istimewa, tapi siapa yang menjadi penumpang. Seorang pembaharu, tokoh nasional, putra pendiri NU, dan mantan Menteri Agama RI, KH. Abdul Wahid Hasyim bersama seorang anaknya dan seorang sahabatnya.

Mobil terus melaju, di bawah ancaman hujan. Sama seperti ketika ia dibawa sang ibu menghadap Syaikhona Kholil Demangan Bangkalan dengan diguyur hujan pula. Sepertinya hujan sudah ditugasi untuk mengiringi awal dan akhir kehidupan bapak bangsa perumus pancasila melalui BPUKPI itu.

Kala itu, Kiai Wahid bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Kiai Wahid ditemani tiga orang, yakni sopirnya dari harian Pemandangan, rekannya Argo Sutjipto, dan putera sulungnya Abdurrahman Ad Dakhil (Gus Dur). Kiai Wahid duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto. Daerah di sekitar Cimahi waktu itu diguyur hujan lebat sehingga jalan menjadi licin, tapi, lalu lintas cukup ramai.

Sekitar pukul 13.00 WIB, ketika memasuki Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, mobil yang ditumpangi Kiai Wahid selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakangnya banyak iringan-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan, sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan kerasnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ketika terjadi benturan, Kiai Wahid dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. Kiai Wahid terluka bagian kening, mata, pipi, dan bagian lehernya. Sedangkan sang sopir dan Gus Dur tidak cedera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula. Hujan terus turun, mengguyuri dua orang yang sedang terkapar di atas jalanan.

Kiai Wahid Wahid dan Argo Sutjipto kemudian dibawa ke Rumah Sakit Boromeus Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, keduanya tidak sadarkan diri. Keesokan harinya, Ahad, 19 April 1953 pukul 10.30, Sang Pembaharu itu dipanggil ke hadirat Allah SWT dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00 sang sahabat, Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khalik.

Jenazah Kiai Wahid kemudian dibawa ke Jakarta, lalu diterbangkan ke Surabaya, dan selanjutnya dibawa ke Jombang untuk disemayamkan di pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng. Sepanjang jalan, dari Surabaya sampai Tebuireng, rakyat berkumpul mengiringi sang Pahlawan Nasional, salah satu pendiri bangsa itu menuju tempat kelahirannya, sekaligus tempat ia dikebumikan. Di Tebuireng, lautan manusia ikut datang bertakziah, menshalati, dan mengantarkan jenazah.

Mengenang KH. A. Wahid Hasyim

Berita wafatnya Kiai Wahid sontak hampir tak ada yang percaya. Berita memilukan dan menyesakkan itu tersiarkan di radio-radio. Tak ada yang menyangka tokoh 39 tahun itu cepat meninggalkan keluaga, sahabat, NU, Islam, dan negara yang ia perjuangkan. Bahkan saking memilukannya, salah seorang sahabatnya yang merupakan anggota DPR RI, S. Abdullah Gathmyn dari Palembang yang mendengar berita itu melalui siaran RRI Jakarta sampai harus menunggu siaran ulang berita itu selama satu jam untuk sekedar percaya.

Gathmyn menyebut peristiwa wafatnya Kiai Wahid sebagai irreparable less di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), sebuah kehilangan yang tak dapat diganti. Sosok Kiai Wahid baginya tidak tergantikan, sebab jasa dan perjuangannya. Bagi Gathmyn, wafatnya Kiai Wahid adalah kali kedua NU mengalami irreparable less, setelah wafatnya KH. Mahfudz Shiddieq yang meninggal pada tahun 1944 dalam usia 37 tahun.

Banyaknya ucapan duka cita baik secara langsung maupun melalui surat kabar, telegram dan lain sebagainya, dari berbagai kalangan dan yang ikut takziah, menunjukkan ketokohan Kiai Wahid yang dihormati kawan maupun lawan, seorang pemimpin besar yang berjiwa besar, berakhlak mulia, lemah lembut, konseptor ulung, sosok yang luas pergaulannya, dan penuh toleransi.

Selain pancasila sebagai dasar negara yang ikut ia rumuskan, jasa Kiai Wahid yang paling terasa adalah perkembangan Kementerian Agama RI. Semula, hanya memiliki kantor kecil dan sederhana dengan beberapa carik kertas saja, atas keuletan dan perjuangan Kiai Wahid berhasil menjadi kementerian yang teratur. Bayangkan saja, kementerian-kementarian lain hadir sebagai warisan dari pemerintah Hindia Belanda, sedangkan Kementerian Agama muncul dari tidak ada menjadi ada. Di bawah kepemimpinannya, Kemenag memprakarsai adanya pendidikan Islam yang disetarakan nasional, seperti adanya madrasah dan perguruan tinggi Islam negeri, yaitu STAIN, yang sekarang berkembang menjadi IAIN dan UIN.

Sepak terjangnya juga bisa dirasakan oleh NU sendiri. Karirnya di NU dimulai dari nol, di mana ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Pengurus Ranting NU Cukir, lalu ketua PCNU Jombang, baru pada 1940 ia masuk dalam jajaran PBNU di Lembaga Pendidikan Ma’arif NU. Di situlah ia mulai melakukan pembaharuan pendidikan di kalangan NU yang mayoritas berbasis di pesantren. Ia memasukkan materi-materi pelajaran umum dalam kurikulum pendidikan pesantren.

Itu juga ia lakukan di Tebuireng ketika menjadi pengasuh dengan mendirikan Madrasah Nidzamiyah, sebuah lembaga pendidikan yang memadukan antara sistem klasikal ala pesantren dengan sistem tutorial ala  pendidikan modern. Sebesar 60 persen materi pelajaran di Madrasah Nidzamiyah  merupakan materi pelajaran umum. Perpustakaan juga dilengkapi dengan berbagai buku-buku non-agama, majalah, surat kabar, dan lain sebagainya.

Atas jasanya yang besar itu, tak berlebihan jika Kiai Wahid Hasyim bisa disebut sebagai Pendiri Bangsa, atas jasanya ikut merumuskan dasar negara dan negosiasinya untuk keatuan dan persatuan bangsa. Tak berlebihan juga jika Kiai Wahid disebut sebagai Bapak Pembaharu Pendidikan Islam Indonesia, karena jasanya yang besar dalam memadukan antara pendidikan Islam dan pendidikan nasional, terlebih hal itu bisa disebut sebagai usaha untuk memadukan Islam dan Indonesia.


Sumber:

Profil Pesantren Tebuireng karya A. Mubarok Yasin dkk, Pustaka Tebuireng

Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim karya Abu Bakar Atjeh, Pustaka Tebuireng