Oleh: M. Masnun*
Ada yang bilang bahwa pondok pesantren merupakan penjara suci. Bagi orang yang mempunyai kegigihan dalam menuntut ilmu, pesantren adalah lumbung yang begitu besar, lumbung yang dipenuhi segala ilmu. Mungkin sekilas, sebagian santri tak dapat menemukan keistimewaan di pesantren. Tak banyak orang yang bisa merasakan warna-warni kehidupan pesantren. Namun, ketika seseorang telah keluar dari pesantren, mereka baru merasakan betapa indahnya hidup di dalam pesantren. Di bulan Ramadan yang punya keberkahan luar biasa, ada beberapa hal yang hanya bisa dirasakan oleh santri-santri pesantren.
Drag/Sprint Khataman Al Quran
Semua orang berlomba-lomba dalam mengambil hikmah dari bulan Ramadan. Bagi santri-santri terutama yang nyantri di pesantren khusus Al Quran, banyak dari mereka bersaing dalam mengkhatamkan Al Quran. Setiap orang mempunyai target yang berebeda-beda. “Eh, kamu udah dapat berapa juz hari ini?”, tanya si A. “Aku udah dapat 10 Juz, lha kamu berapa?”, kata si B. Kemudian A menjawab, “Baru 5 juz, hehehe.”
Selain tadarusan di masjid atau mushalla, santri mempunyai target tersendiri dalam mengkhatamkan Al Quran. Ketika mengetahui orang yang telah melampaui di atas kemampuannya, maka dia akan merasa tersemangati untuk meningkatkan jumlah bacaannya. Berbeda dengan ketika di rumah, patokan yang ada hanya diri sendiri dan seringkali membaca Al Qurannya hanya di masjid atau mushalla. Sedikit sekali yang mempunyai target untuk mengkhatamkan Al Quran dalam jumlah banyak.
Maraton Ngaji Kitab Kuning (Kilatan)
Setiap pondok mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, ada yang lebih mengarah ke Al Quran dan ada juga yang ke kajian kitab kuning. Di Bulan Ramadan, pengajian kitab kuning lebih dimaksimalkan lagi. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi ada saja kitab kuning yang dibacakan. Waktu singkat setelah shalat maghrib pun tak luput dari pengajian kitab kuning.
Di Pesantren Tebuireng, kitab khas bulan Ramadan adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kitab tersebut merupakan kitab wajib. Pembacaannya menggunakan metode memaknai saja, dalam hal keterangan tidak terlalu diperhatikan. Metode seperti ini sering disebut dengan ngaji kilatan. Layaknya petir yang menyambar, hanya sekejap bisa menghatamkan kitab yang berjilid-jilid. Di rumah, boro-boro kita bisa ngaji kitab kilatan, mengaji Al Qur’an saja susah terkontrol.
Banjir Pedagang Dadakan
Bulan Ramadan memberikan banjir keberkahan untuk semua orang begitu pula bagi para pedagang. Mereka pada bulan Ramadan diperkenankan untuk masuk ke pesantren untuk menjual dagangannya. Akibatnya santri tidak perlu keluar jauh-jauh untuk mencari makanan yang diinginkan. Makanan yang ada pun bisa bervariasi setiap harinya. Dan harga yang dipakai pun ‘harga santri’, seperti es jus yang biasanya berharga Rp 8.000, saat masuk pondok bisa berharga Rp 3.500. Tak perlu mahal-mahal untuk menikmati nikmatnya jus buah segar maupun makanan dan minuman lainnya. Kalau yang satu ini, mungkin di lingkungan rumah bisa ditemukan, tapi untuk dapat harga semurah harga santri, sepertinya susah.
Rantai Antri Makan
Santri merupakan manusia yang dididik sabar dan disiplin. Setiap hari mereka rela mengantri untuk mengambil jatah makan. Di sini dilatih untuk sportif dan menghargai hak-hak orang lain. Pada Bulan Ramadan, panjang antrian jauh lebih panjang. Hal ini dikarenakan jam berbuka puasanya bersamaan. Berbeda dengan hari-hari normal yang waktu untuk makannya berbeda-beda. Ada santri yang membiasakan diri mengambil makan setelah makanan telah masak langsung ataupun yang mengambil makanan ketika dapur hampir ditutup. Jadinya antrian yang ada tidak terlalu panjang. Anggota keluarga yang sedikit di rumah, tidak sampai membuat antrian makan berjubel seperti itu. Semua tinggal bergantian mengambil nasi, dan sudah bisa menyantap hidangan berbuka maupun sahur.
Takjil Tak Diundang, Pulang pun Tak Diantar
Berbagi kepada sesama bisa dihitung ibadah sekaligus kebaikan sosial. Di pesantren, santri seringkali mendapatkan takjil gratis, entah itu dari wali santri ataupun dari warga sekitar. Paling sering diberi minuman berupa es ataupun susu, terkadang sudah terbungkus di dalam plastik-plastik kecil. Namun bila es tersebut ma
sih dalam wadah besar, santri perlu membawa wadah tersendiri. Karena tak punya banyak cangkir, maka mereka memotongi botol-botol air mineral. Kreatif bukan? Dikarenakan jumlah takjil gratisnya tidak mencukupi untuk seluruh santri, maka santri harus berebutan untuk mengambil takjil yang ada. Tak jarang gayung atau tong kecilpun jadi tempat untuk berburu takjil. Seru kan? Kalau di rumah, tak perlu sampai menunggu datangnya takjil, Ibu sudah menyiapkan kan?
Saling Membagi Rotasi Tidur
Setiap santri punya karakter tersediri, ada yang hobi tidur, jarang tidur ataupun nggak tidur-tidur. Penuh 24 jam sehari terasa begitu kurang di saat Bulan Ramadan karena keinginan untuk menambah ilmu ataupun pundi-pundi amal begitu tinggi. Namun, daripada itu juga perlu menjaga kesehatan diri. Jadwal istirahat dan makan pun harus diperhitungkan. Bila terlalu bersemangat di awal maka besoknya bisa-bisa tidak melakukan kegiatan apapun karena sakit. Karena karakter orang berbeda-beda, perlu saling bantu-membantu untuk menjadikan hidup lebih sempurna. Santri yang hobi begadang biasanya ditugaskan untuk membangunkan yang ngantu’an. Di kamar santri tak banyak alat elektronik, kalaupun ada barang tersebut tak menjamin seseorang bisa bangun dari tidurnya. Oleh karena itu tolong-menolong dalam membangunkan merupakan suatu keharusan bagi santri.
Ibadah Kuadrat
Puasa adalah salah satu ibadah. Lain dari pada itu bekerja merupakan ibadah pula. Dengan sedikit dalil dari hadis walaupun dhaif, tidur juga ibadah. Bagaimana kalau tidur di tempat ibadah saat puasa? Ibadah kuadrat dong. Sebenarnya yang ke 7 ini hanya untuk menggugurkan judul, karena dijudul sudah tertulis 7 hal, maka isinya harus 7. Ini merupakan guyonan atau alasan santri yang hobi tidur saat pengajian berlangsung. Tentunya, kalau tidur saja bisa bernilai ibadah, bagaimana dengan bekerja dan beraktifitas?
Di pesantren, santri dekat dengan tempat ibadah, atau gampang mendapatkan momen untuk beramal. Misalnya, mau iktikaf, masjid pun dekat, mau beramal tinggal memberi dan menolong teman sesame santri saja, mau khatam Al Quran, tinggal pilih tempat yang dianggap nyaman, mau di makam, masjid, atau kamar masing-masing. Asal tidak di kamar mandi ya! Kemudahan dan dekatnya fasilitas untuk beribadah inilah yang menjadikan Ramadan di pesantren penuh berkah.
Demikian tujuh hal yang menjadikan Ramadan di pesantren lebih asik dan seru dari pada di rumah atau tempat lainnya. Tentunya, keberkahan Ramadan dapat diperoleh dimana saja, tetapi pesantren menawarkan banyak hal agar Ramadan lebih bermakna. Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan, tak lupa harus saling menghormati orang lain.
*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng