ilustrasi wudhu

Kalau mau berkata, Islam itu memang agama yang paling sempurna. Perkataan tersebut memang bisa dibenarkan. Kenapa? Karena mulai dari hal dasar (pokok), misalnya keyakinan, hingga hal sederhana misalnya kebersihan, tidak luput dari perhatian Islam.

Dalam hal kebersihan, kita bisa membuktikan salah satunya dalam masalah bersuci sebelum pelaksanaan shalat. Setiap kali hendak shalat, seseorang diharuskan untuk bersuci terlebih dahulu. Kita bisa melihat, misalnya surah al-Maidah ayat enam mengenai keharusan tersebut.

Dari sini, kiranya kita bisa mengetahui beberapa hikmah di balik perhatian Islam terhadap kebersihan. Salah satunya, secara dasar, tabiat manusia memang condong terhadap hal-hal yang besifat kebersihan.

Terlebih, dalam konteks ibadah, posisi seorang hamba itu berhadapan langsung dengan Tuhan. Oleh karena itu, sudah selayaknya seorang hamba dalam keadaan suci, sehingga hubungan antara dia dan Tuhan bisa terjalin dengan indah.

Salah satu cara yang bisa ditempuh seseorang untuk menjadi hamba yang suci ketika hendak beribadah adalah dengan berwudlu. Sehingga, tak ayal ketika Islam benar-benar memberikan aturan tertentu mengenai wudlu. Tujuannya, sesuai dengan pernyataan sebelumnya, yakni tercapainya hubungan baik antara hamba dan Tuhan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sederhananya, wudlu berarti pekerjaan menggunakan air pada anggota-anggota tertentu disertai niat. Di dalam wudlu, ada istilah yang disebut dengan “fardlu wudlu.”

Singkatnya, “fardlu wudlu,” berarti komponen-komponen yang menyusun esensi dari wudlu. Ketika komponen-komponen tersebut tidak ada, meski hanya satu, jelas pekerjaan tersebut tidak bisa disebut dengan wudlu.

Jadi, fardlu wudlu memang harus dikerjakan oleh seseorang yang hendak bersuci dengan cara wudlu. Dalam hal ini, ulama mengklasifikasi fardlu wudlu itu menjadi enam.

Fardlu-fardlu Wudlu

Pertama, niat. Singkatnya, niat berarti menyengaja suatu pekerjaan disertai melakukan pekerjaan tersebut.

Pertanyaannya, kenapa di dalam wudlu itu harus ada niat? Sebagian ulama menjelaskan, karena secara dasar, wudlu itu termasuk kategori ibadah. Dalam hal ini, fungsi adanya niat adalah membedakan antara ibadah dan kebiasaan.

Jadi, adakalanya seseorang itu membasuh anggota badan tertentu, memang bertujuan untuk ibadah, juga adakalanya sekedar ingin membasuh saja, tidak ada motif beribadah. Nah, untuk membedakan antara dua konteks tersebut, dibutuhkanlah niat.

Konsep di atas didukung oleh adanya hadis Nabi yang mengatakan”

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Amalan-amalan itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu hanyalah akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan.”

Maksudnya, suatu ibadah hanya bisa dihukumi sah secara syariat, ketika dibarengi niat.

Untuk tata cara niat di dalam wudlu, misalnya kita bisa memakai cara sebagaimana di bawah ini:

نَوَيْتُ الوُضُوْءَ لِلِه تَعَالَيْ

Sedang untuk waktu niat itu di saat pertama kali membasuh bagian dari wajah. Karena bagian tersebut adalah awal dari pekerjaan wudhu.

Perlu diketahui, niat itu berada di hati. Jadi, sebenarnya untuk “pelafalan” niat itu tidak diharuskan. Yang menjadi kaharusan adalah menyegaja di dalam hati untuk berwudhu sesuai dengan tata cara di atas. Untuk “pelafalan” niat sendiri, sekedar anjuran untuk memudahkan hati di saat berniat.

Kedua, membasuh wajah. Dasar dari fardlu kedua ini adalah surah al-Maidah ayat enam.  Untuk batasan wajah yang harus dibasuh, mulai dari tempat tumbuhnya rambut hingga bagian bawah dagu. Ini dilihat dari segi panjang. Kalau dari luas, mulai dari batas telinga kiri hingga kanan.

Misalnya, pada wajah, terdapat rambut yang tebal (kumis misalnya), maka dalam hal pembasuhan dicukupkan dengan bagian luar saja, tidak sampai mengena bagian dalam.

Nah, batasan kumis dikatakan tebal itu bagaimana? Ketika kulit bagian dalamnya tidak terlihat ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain.   

Ketiga, membasuh kedua tangan besertaan kedua sikut. Dalil yang mendasari fardlu ketiga ini masih sama, yakni surah al-Maidah ayat enam.

Dalam praktiknya, seseorang diharuskan untuk membasuh secara merata batasan di atas. Sehingga, misalnya di bawah kuku terdapat kotoran yang bisa menahan air masuk ke kulit, maka hal tersebut harus dihilangkan. Dalam arti, misalnya kotoran tersebut masih ada, dan menahan air masuk ke kulit, jelas wudlu yang dilakukan tidak sah.

Keempat, mengusap sebagian kepala. Dalam hal ini, mengusap satu rambut, selagi masih berada di dalam batasan kepala, maka sudah dianggap cukup. Jadi, tidak harus mengusap secara merata semua bagian kepala.   

Kelima, membasuh kaki besertaan tumit. Konsep untuk  fardlu nomor empat ini sama dengan yang ada di tangan. Dalam arti, harus merata. Sehingga, misalnya ada kotoran yang ada di kuku kaki, maka harus dihilangkan terlebih dahulu.

Terakhir, keenam, tertib. Dalam arti, pelaksanaannya harus dimulai dari niat yang dibarengkan pada pembasuhan bagian wajah, lalu membasuh kedua tangan besertaan siku-siku, lalu mengusap sebagian kepala dan terakhir membasuh kedua kaki besertaan tumit.

Praktik secara berurutan ini adalah praktik yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Nabi. Terlebih, surah al-Maidah ayat enam jelas memberikan pemahaman akan “urutan” tersebut.

Semoga informasi sederhana perihal praktek fardlu wudhu di atas bisa memberikan wawasan pembaca sehingga harapannya bisa dipraktekkan ketika hendak bersuci dengan cara berwudlu.

Sekali lagi, Islam sangat memperhatikan perihal kebersihan umatnya. Salah satunya adalah masalah wudhu ini. Beruntunglah kita menjadi bagian dari umat Islam. Aturan dalam beragama sudah secara jelas diatur, sehingga kita tinggal melaksanakannya dengan cara yang sudah ditentukan.


*Sumber: Kitab al-Fiqh al-Manhaji (karangan Dr. Mustafa al-Khan dan Dr. Mustafa Bugho).


Ditulis oleh Moch. Vicky Shahrul H, Mahasantri Ma’had Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo Malang.