
Oleh: Hilmi Abedillah*)
Segala amal kita tergantung pada shalat kita. Bila shalat kita baik, maka baik pula segala amal kita. Pernahkah dalam umur yang kian dewasa ini kita mengoreksi shalat kita, sudah benar atau belum?
Bila mengacu pada kitab Fathul Qorib al-Mujib, shalat secara bahasa artinya doa. Sedangkan secara istilah, shalat ialah ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. (Fathul Qorib al-Mujib, 45).
āSyarat-syarat tertentuā itu dijabarkan dalam fasal lain yang amat panjang sekali, sementara yang kita pelajari hanya sampai di permukaan saja. Oleh karena itu, tidak jarang jika lazim ditemukan orang-orang yang (sebenarnya) tidak sah shalatnya, tetapi ia merasa sah.
Hal ini pun sudah terjadi di zaman Rasulullah. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW masuk ke dalam masjid, lalu diikuti oleh seorang lelaki. Seusai menunaikan shalat, lelaki itu memberi salam pada Rasul dan Rasul menjawabnya. Tak disangka, Rasulullah berkata kepadanya, āKembalilah! Shalatlah! Sesungguhnya kau belum shalat.ā
Mendengar itu, sang lelaki kembali menunaikan shalat seperti yang telah dikerjakan tadi. Lalu ia datang pada Rasulullah. Memberi salam. Rasulullah mengatakan hal yang sama. āKembalilah! Shalatlah! Sesungguhnya kau belum shalat.ā Sampai tiga kali. Lelaki itupun menjawab, āDemi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tak bisa melakukan lebih baik dari ini. Maka beri tahulah aku.ā
Rasul pun menjawab, āJika kau mendirikan shalat, takbirlah, lalu baca sebagian surat Al Quran, lalu rukuk sampai thumaāninah, lalu berdiri sampai lurus, lalu sujudlah sampai thumaāninah, lalu duduk sampai thumaāninah. Dan lakukanlah di setiap shalatmu.ā
Dengan munculnya banyak sekte-sekte di masa ini, menambah banyaknya variasi dalam shalat. Berikut adalah kesalahpahaman kita tentang syarat dan rukun shalat, bahkan kesalahan yang lazim kita dilakukan tanpa kita sadari bahwa kesalahan itu membuat shalat kita tidak sah.
- Membaca āUsholliā
Berdasarkan definisi di atas, shalat dimulai dengan takbiratul ihram. Maka dari itu, selama kita belum mengucap takbiratul ihram, kita belum memasuki shalat. Misalnya, saat membaca āusholliā (melafalkan niat). Karena tempat niat ada pada hati, sementara mengucapkannya di lisan merupakan sunnah. Tidak masalah juga bila lisan tidak sesuai dengan hati. Yang dianggap tetap adalah yang ada di hati. (Asnal Mathalib, II, 329)
- Memutar tangan
Dalam takbiratul ihram, yang merupakan rukun shalat hanyalah mengucapkannya. Sementara mengangkat tangan dan sedekap merupakan bagian dari sunnah. Meskipun tergolong jarang, masih ada juga orang yang memutar tangan saat menurunkannya. Mungkin maksudnya ialah mendahulukan kanan saat turun dari angkat tangan, sedangkan posisi ketika sudah sampai di perut, tangan kanan harus di atas. Maka hal itu terlihat seperti memutar tangan. Namun, hal demikian tidak perlu, walaupun melakukannya juga tidak membatalkan. Karena disebutkan bahwa, āKesunnahan setelah takbiratul ihram adalah menurunkan tangan (dari angkat tangan, pen.) dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Telapak tangan kanan menggenggam pergelangan tangan kiri.ā (Raudlatut Thalibin wa āUmdatul Muftin, I, 85)
- Meninggalkan Thumaāninah
Kita mungkin sadar bahwa thumaāninah merupakan bagian dari rukun shalat. Walaupun sebagian ulama menyebut thumaāninah bukan sebagai rukun, tetapi keadaan (hai-ah) yang mengikuti rukun. Terutama untuk orang-orang yang buru-buru, atau memang tidak bisa menikmati shalat, mereka sering meninggalkan rukun yang satu ini. Thumaāninah ialah diam setelah bergerak, sampai seluruh anggota badan menetap di tempatnya (dalam posisi sempurna) kira-kira sebacaan subhanallah. Thumaāninah wajid di empat tempat: rukuk, iātidal, sujud, dan duduk antara dua sujud. Bila kewajiban thumaāninah tidak dipatuhi, maka tidak sah shalatnya sebagaimana yang tersebut dalam hadits di atas. (Matan Safinatun Naja, 6)
- Kaki menggantung
Kesalahan berikutnya ada dalam sujud. Ini justru yang paling lazim, yakni menggantungkan kaki saat sujud. Tujuh anggota sujud adalah kening, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua telapak kaki (bagian jari-jari). Ketujuh anggota tersebut harus menempel ke tanah, tidak boleh diangkat. Ketika salah satu dari anggota tersebut tidak menempel, maka shalatnya tidak sah. Kita sering melihat di masjid orang shalat yang menggantungkan kakinya saat sujud, atau tidak menempelkan telapak kakinya (bagian jari-jari) ke tanah. Sebaiknya kita tidak bermakmum pada orang tersebut. (al-Hawi fi Fiqhis Syafiāi, II, 127)
- Kening Tertutup
Sama dengan poin keempat, masih tentang ketidaksempurnaan sujud. Selain berkaitan dengan kaki, kesalahan sering terjadi pada kening. Khusus kening harus terbuka dan menempel secara langsung (mubasyaroh) ke tanah tempat sujud, tidak boleh dihalangi sesuatu. Apabila kening dihalangi oleh lingkaran serban, rambut, atau penghalang lain, maka shalatnya tidak sah. Kecukupan sahnya ialah apabila ada sebagian dari kening yang menempel di tanah, walaupun sedikit. Misalnya dihalangi selehai-dua helai rambut saja, pasti masih ada kening yang menempel. Namun jika tidak ada sama sekali, maka hukumnya batal. (al-Hawi fi Fiqhis Syafiāi, II, 127)
Kesalahan-kesalahan lazim dalam shalat kita masih banyak sekali dan akan dilanjutkan pada tulisan berikutnya.
*) mahasantri Maāhad āAly Hasyim Asyāari