
Oleh: KH. Djunaidi Hidayat
اِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Melalui khutbah ini mari kita mantapkan komitmen dan kesungguhan kita dalam menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh Allah. Kita jalankan segala hal yang diperintah oleh Allah (المَأْمُوْرَاتُ ). Baik perintah-Nya berupa (الوَاجِبَاتُ) yakni hal-hal yang memang harus kita lakukan. Maupun perintah yang bersifat (المَنْدُوْبَات ) yakni yang perkara-perkara dianjurkan untuk mengerjakannya.
Serta kita tinggalkan segala hal yang dilarang oleh Allah (المَنْهْيَات). Baik larangan yang memang harus ditinggalkan, maupun hal-hal yang sebaiknya ditinggalkan, yakni al-makruhat (dimakruhkan). Hal tersebut menjadi modal bagi kita untuk mendapatkan kehidupan yang hakiki di dunia dan akhirat. Insya Allah, jika kita melakukannya, maka memperoleh kebahagiaan dalam dunia dan akhirat, seperti yang dijanjikan oleh Allah.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Manusia ini diciptakan dengan tugas sebagai abdullah (hamba Allah), bukan hamba harta, kekuasaan, atau nafsu. Tetapi semata-mata kita dijadikan agar menyembah kepada-Nya. Oleh karena itu, sesungguhnya apa saja yang kita lakukan di dunia ini bisa menjadikan bagian dari wujud kebaikan untuk mewujudkan tugas kita sebagai abdullah. Entah hal itu melalui ibadah yang ditentukan secara langsung oleh Allah, yakni ibadah mahdah. Atau dengan bentuk ibadah ghairu mahdah yang bersumber dari profesi, kebiasaan, dan potensi yang kita miliki serta kemudian dimaksudkan untuk menabdikan diri kepada Allah. Semua dalam kehidupan ini, baik berupa kemampuan, potensi, atau profesi apa pun bisa menjadi kebaikan. Di samping sebagai abdullah kita diberi mandat sebagai khalifatullah untuk mengelola alam semesta ini.
Untuk bisa mewujudkan ini, Allah memberikan petunjuk kepada manusia. Sebagaimana dalam surah Al-Fatihah; ihdina al-sirat al-mustaqim. Dalam tafsir Munir terdapat penafsiran mengenai hidayah. Disebutkan bahwa terdapat empat hidayah, pertama, hidayah ilahiyyah al-fitriyyah, yakni petunjuk yang melekat pada setiap penciptaan Allah. Fitrah ilahiah ini telah terwujud otomatis tanpa proses belajar, serta adanya stimulasi di luar diri.
Kedua, Hidayah al-Khawasi yakni petunjuk yang berupa panca indra. Penggunaan panca indra ini tidak membutuhkan proses edukasi dan pembelajaran. Bahkan khawasi seekor binatang jauh lebih sempurna ketimbang manusia. Binatang makan tanpa dimasak pun tidak akan jatuh sakit, sebab kesempurnaan khawasi-nya lebih kuat. Akan tetapi kesempurnaan khawasi pada manusia memerlukan hidayah ketiga, yakni hidayah al-‘aqli.
Hidayah al-‘Aqli ini hanya dimiliki oleh manusia saja. Kita memang terlahir kalah dengan ayam yang baru dilahirkan atau kalah dengan kucing dalam segi ketangkasan fisik. Tetapi ada proses dengan ilmu maka ilmu, sehingga menjadikan indra manusia matanya lebih tajam dari mata binatang apa pun, telinganya jauh bisa lebih kuat mendengar dari binatang apa pun. Di sinilah letaknya apakah manusia membangun potensi dirinya melebihi terhadap makhluk yang lain atau tidak itu berada dalam hidayah al-‘aqli.
Akan tetapi itu saja belum cukup untuk membangun manusia yang hebat. Sehingga di sini diperlukan petunjuk keempat, yakni hidayah al-din. Petunjuk agama ini hanya bisa diperoleh melalui Rasul. Rasul itulah yang mengabarkan sesuatu di luar jangkuan akal manusia. Itu pun belum berhenti di situ. Karena orang yang memahami agama dengan baik masih dipertanyakan mau dan mampu menggunakan ilmunya untuk kebaikan atau tidak? Hal ini hanya bisa ditentukan oleh hidayah al-taufiq wa al-ma’unah.
Sehingga kadang kita melihat seseorang pintar agama tetapi perilakunya tidak baik. Ini wajar meski dirinya tampak memiliki hidayah al-din, akan tetapi hidayah al-taufiq wa al-ma’unah dari Allah belum diturunkan. Hanya saja hidayah al-taufiq wa al-ma’unah menjadi hak prerogatif Allah secara mutlak. Untuk menentukan apakah orang yang berilmu dan memahami agama dengan baik, itu adalah hidayah al-taufiq wa al-ma’unah. Sehingga kita harus terus meminta pertolongan kepada Allah, ihdina al-sirat al-mustaqim …
Kita berharap Allah semoga Dia memberikan al-taufiq wa al-ma’unah-Nya.
بارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ
وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Pentranskip: Yuniar Indra Yahya