tebuireng.online— Korupsi menjadi permasalahan bangsa yang tak kunjung ada kabar baiknya. Satu persatu tertangkap, tak membuat para pejabat takut, malah semakin menjadi-jadi. Itulah yang menjadi salah satu poin penting yang dibahas Pengasuh Pesantren Tebuireng Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid saat menyampaikan materi kepada para peserta Diklat Kader di Aula Gedung Diklat Kader Kader Pesantren Tebuireng, Jombok Ngoro Jombang, pagi tadi (21/09/2106).
Dalam kesempatan tersebut, Kiai yang sering disapa dengan Gus Sholah ini menyampaikan banyak hal, di antaranya adalah korupsi di Indonesia. Survey Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) 2014 yang diterbitkan oleh Transparency International menempatkan Indonesia dengan urutan nomer 117 dari 175 negara dengan skor 34 dari 100. Negara paling bersih dari korupsi adalah Denmark dengan penduduk 80% tidak percaya Tuhan.
Pemberantasan korupsi memang berlangsung, tetapi korupsi tidak kunjung terhenti. Menurut Gus Sholah ada empat faktor utama, kenapa korupsi susah diberantas dan pelakunya tidak jera. Keempatnya adalah tidak merasa bersalah, rakus, tidak merasa malu, dan tidak ada sanksi sosial.
Kepercayaan masyarakat tentang keharaman membeberkan aib orang lain, menurut Gus Sholah, menjadi penyebab koruptor masih dipilih oleh rakyat dan berkeliaran bebas di pemerintahan. Itu dibuktikan dengan banyaknya pejabat yang pernah tersandung kasus dan masih dipercaya oleh rakyat memimpin daerah. Tentunya, itu dapat mempengaruhi tinggi rendahnya sanksi sosial yang diberikan masyarakat kepada para koruptor.
Modal menjadi pejabat yang tidak sedikit menjadikan mereka ingin uang modal itu kembali dengan cara apapun, termasuk melakukan praktik KKN. Krisis kejujuran ini tidak hanya melanda mereka yang tidak paham agama dan hukum, justru banyak di antara pelaku korupsi merupakan tokoh agama, pakar dan penegak hukum.
Selain itu, rasa malu para koruptor bagi Gus Sholah masih sangat rendah. Hal itu ditambah dengan rasa tidak mau merasa bersalah. Untuk itu, Gus Sholah mengatakan seharusnya para pejabat itu diikutkan diklat kader seperti diklat kader yang dilakukan oleh Tebuireng. Dalam diklat tersebut, lanjut mantan Wakil Ketua Komnas HAM tersebut, akan diberikan sosialisasi tentang batasan mana yang diperbolehkan dan dilarang.
“Kalau hukuman mati memang tidak ada dalam undang-undang, sekarang yang ada maksimal hanya 20 tahun, seharusnya diadakan hukuman penjara seumur hidup,” ungkap Gus Sholah menjawab pertanyaan salah satu peserta. Terakhir Gus Sholah mendoakan agar para peserta menjadi pemuda-pemuda Islam yang bermanfaat dan berakhlak mulia. (Abror)